HIDUP memang penuh misteri, terlalu sulit untuk menemukan hanya satu kesimpulan. Hidup terus bergerak dari sebuah titik ke titik lainnya, dan makna terus berubah, seturut jamannya. Tak ada yang abadi, tak ada yang pasti, itu kata anak manusia di kolong bumi ini untuk menggambarkan perubahan yang terus terjadi, yang seringkali terlambat diantisipasi.
Pengkhotbah dengan jeli menggambarkan, bahwa hidup manusia hanyalah sebuah kesia-siaan, usaha menjaring angin, katanya. Dalam Pengkhotbah 1: 14 dikatakan: “Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-sian dan usaha menjaring angin”. Jika demikian lukisan hidup, lalu untuk apa manusia hidup di kolong langit ini? Orang berusaha, tak terhindar dari masalah. Orang diam, sama saja. Semua tak bebas dalam kebebasan hidup yang ada. Bukankah manusia hidup bebas bergerak ke mana dia mau? Tetapi, saat yang sama, manusia yang hidup terikat pada kenyataan yang ada dalam kebebasan itu sendiri.
“Ah, ribet betul hidup ini,” keluh anak manusia yang masih muda. Sementara, yang sedikit tua berkata, “Kalau gak ribet ya bukan hidup.” Dia mulai sedikit berfilasafat, mengomentari keluhan si anak muda. Dan apa kata yang tua? Yang tua memandang tajam, dan berkata, “Hidup itu nikmat jika kamu bisa melewatinya.” Sayangnya, si tua yang coba bijak ternyata menyisakan ruang tanya yang sangat luas, karena dia tak bercerita bagaimana melewatinya. Padahal, yang menjadi masalah utama adalah bagaimana cara melewati hidup yang ribet itu. Jadi tidak heran, jika kita berdiskusi memasuki wilayah hidup, kita seperti terjebak dalam putaran tak berujung, tak ada kesimpulan yang final.
Hidup ini memang menjadi sederhana jika manusia tak mencoba memikirkannya, hanya menjalani saja, saat ini saja, bukan soal nanti, atau yang akan datang seperti apa. Tapi apakah manusia, jika manusia tak berpikir, tak berencana, tak mengantisipasi? Nah, seluruh gambaran di atas adalah sebuah lukisan dalam frame kehidupan. Di sini, di situasi ini, jika kita jujur maka kebebasan ternyata sangat semu. Kebebasan justru menghadirkan terlalu banyak keterikatan keterikatan yang tak terhindarkan, bahkan mengikuti secara otomatis. Dan, yang lebih tegas lagi, kebebasan ternyata hanya tampak nyata jika ada keterikatan. Tanpa kandang, kebebasan tak akan pernah bisa dipahami. Tanpa keterikatan bagaimana mungkin memahami keterlepasan?
Jadi, jika ingin menikmati kebebasan, Anda harus berani menikmati keterikatan. Ini fakta, dan patut jika Pengkhotbah berkata, bahwa hidup memang hanyalah usaha menjaring angin, kesia-sian, tak berwarna, tak bermakna. Pada akhirnya, hidup hanyalah usaha melelahkan tubuh, agar manusia bisa menghabiskan waktu, dan mengakhiri hidup yang justru selalu ingin dipertahankannya. Betapa kompleksnya?
“Betul juga,” kata si muda usia itu, hidup memang ribet. Namun, di sisi lain pengamatan sang Pengkhotbah terasa sangat mendalam dan up to date hingga jaman kini. Pandangannya sangat maju, atau memang itulah fakta hidup manusia sepanjang jaman yang ditemukan Pengkhotbah di waktu yang lampau. Sehingga sampai jaman kapan pun kenyatan ini tak akan berubah, sekalipun konteksnya akan terus berubah.
Sekarang, waktunya menelusuri nilai hidup yang luar biasa ini, lebih mendalam lagi, dan tentunya dengan bantuan sang Pengkhotbah. Hidup yang digambarkan Pengkhobah tampak menyatu antara kebebasan dan keterikatan, sehingga memunculkan usaha sia-sia. Jadi di mana nilai kesejatiaan hidup? Karena jika hidup hanyalah kenyataan dua sisi yang mengurung manusia, apa indahnya hidup ini? Atau lebih ironis lagi, buat apa hidup ini? Gambaran Pengkhotbah memang tepat, karena dia melukiskan nilai hidup manusia dalam keberdosaan. Tidak lagi tersisa kebahagian dalam pengertian yang sesungguhnya, atau tujuan hidup yang sejati.
Manusia yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, sejatinya adalah manusia yang sempurna (Kej 1: 26-28). Dalam kesempurnaan diri sebagai ciptaan, sempurna pula tujuan hidupnya, dan nilai hidupnya. Kejatuhan ke dalam dosa meluluhlantakan semuanya, mengacaukan sistem kehidupan dalam segala aspek. Mulai dari sistem relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, hingga manusia dengan alam. Juga menimbulkan kekacauan dalam nilai-nilai hidup.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika hidup manusia terjebak pada lingkaran kehampaan, yang mengakibatkan hidup hanyalah usaha menjaring angin. Kekacauan demi kekacauan datang silih berganti. Keberhasilan, ketenangan, kesenangan, tawa anak manusia, hanyalah sementara, palsu, tidak sejati, berakhir, tidak abadi. Kenyataan inilah yang dipulihkan, dikembalikan kehakekatnya, ketika Yesus datang ke dunia menebus dosa manusia. Sistem diperbaiki, nilai dikembalikan, makna hidup diberikan.
Ringkasnya, manusia yang percaya kepada Yesus dikembalikan pada jalur yang benar (Efesus 4: 23-32). Dengan penebusan telah terjadi pemulihan. Namun, dalam kenyataan, tak semua manusia rela percaya, bahkan sebaliknya, pemberontakan didemonstrasikan, dengan penyaliban Yesus Kristus. Jadi, dunia tetap saja masih dihuni oleh kekacauan akibat keberdosaan. Di sinilah terjadi titik pertempuran.
Karena itu, orang percaya dituntut agar bijak memahami dan menjalani hidup. Pemulihan yang sudah diterima orang percaya akan ditelikung oleh yang tidak percaya. Tawaran hidup yang salah, usaha mengalihkan perhatian dan munculnya berbagai kepalsuan akan mengganggu hidup orang percaya. Kadang kala, kesejatian hidup itu tampak kabur. Namun semakin orang percaya menyatu dalam iman kepada Kristus, maka akan tampak semakin nyata keindahan hidup yang sesungguhnya. Di sinilah kebebasan sejati ditemukan orang percaya, mereka bebas dalam keterikatan. Sementara yang tak percaya, malah terikat dalam kebebasannya, tanpa pernah berdaya untuk melepaskannya. Seharusnya hidup itu indah, indah karena Kristus yang memberikan kebebasan dalam keterikatan pada diri-NYA.
Pengkhotbah dengan jeli menggambarkan, bahwa hidup manusia hanyalah sebuah kesia-siaan, usaha menjaring angin, katanya. Dalam Pengkhotbah 1: 14 dikatakan: “Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-sian dan usaha menjaring angin”. Jika demikian lukisan hidup, lalu untuk apa manusia hidup di kolong langit ini? Orang berusaha, tak terhindar dari masalah. Orang diam, sama saja. Semua tak bebas dalam kebebasan hidup yang ada. Bukankah manusia hidup bebas bergerak ke mana dia mau? Tetapi, saat yang sama, manusia yang hidup terikat pada kenyataan yang ada dalam kebebasan itu sendiri.
“Ah, ribet betul hidup ini,” keluh anak manusia yang masih muda. Sementara, yang sedikit tua berkata, “Kalau gak ribet ya bukan hidup.” Dia mulai sedikit berfilasafat, mengomentari keluhan si anak muda. Dan apa kata yang tua? Yang tua memandang tajam, dan berkata, “Hidup itu nikmat jika kamu bisa melewatinya.” Sayangnya, si tua yang coba bijak ternyata menyisakan ruang tanya yang sangat luas, karena dia tak bercerita bagaimana melewatinya. Padahal, yang menjadi masalah utama adalah bagaimana cara melewati hidup yang ribet itu. Jadi tidak heran, jika kita berdiskusi memasuki wilayah hidup, kita seperti terjebak dalam putaran tak berujung, tak ada kesimpulan yang final.
Hidup ini memang menjadi sederhana jika manusia tak mencoba memikirkannya, hanya menjalani saja, saat ini saja, bukan soal nanti, atau yang akan datang seperti apa. Tapi apakah manusia, jika manusia tak berpikir, tak berencana, tak mengantisipasi? Nah, seluruh gambaran di atas adalah sebuah lukisan dalam frame kehidupan. Di sini, di situasi ini, jika kita jujur maka kebebasan ternyata sangat semu. Kebebasan justru menghadirkan terlalu banyak keterikatan keterikatan yang tak terhindarkan, bahkan mengikuti secara otomatis. Dan, yang lebih tegas lagi, kebebasan ternyata hanya tampak nyata jika ada keterikatan. Tanpa kandang, kebebasan tak akan pernah bisa dipahami. Tanpa keterikatan bagaimana mungkin memahami keterlepasan?
Jadi, jika ingin menikmati kebebasan, Anda harus berani menikmati keterikatan. Ini fakta, dan patut jika Pengkhotbah berkata, bahwa hidup memang hanyalah usaha menjaring angin, kesia-sian, tak berwarna, tak bermakna. Pada akhirnya, hidup hanyalah usaha melelahkan tubuh, agar manusia bisa menghabiskan waktu, dan mengakhiri hidup yang justru selalu ingin dipertahankannya. Betapa kompleksnya?
“Betul juga,” kata si muda usia itu, hidup memang ribet. Namun, di sisi lain pengamatan sang Pengkhotbah terasa sangat mendalam dan up to date hingga jaman kini. Pandangannya sangat maju, atau memang itulah fakta hidup manusia sepanjang jaman yang ditemukan Pengkhotbah di waktu yang lampau. Sehingga sampai jaman kapan pun kenyatan ini tak akan berubah, sekalipun konteksnya akan terus berubah.
Sekarang, waktunya menelusuri nilai hidup yang luar biasa ini, lebih mendalam lagi, dan tentunya dengan bantuan sang Pengkhotbah. Hidup yang digambarkan Pengkhobah tampak menyatu antara kebebasan dan keterikatan, sehingga memunculkan usaha sia-sia. Jadi di mana nilai kesejatiaan hidup? Karena jika hidup hanyalah kenyataan dua sisi yang mengurung manusia, apa indahnya hidup ini? Atau lebih ironis lagi, buat apa hidup ini? Gambaran Pengkhotbah memang tepat, karena dia melukiskan nilai hidup manusia dalam keberdosaan. Tidak lagi tersisa kebahagian dalam pengertian yang sesungguhnya, atau tujuan hidup yang sejati.
Manusia yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, sejatinya adalah manusia yang sempurna (Kej 1: 26-28). Dalam kesempurnaan diri sebagai ciptaan, sempurna pula tujuan hidupnya, dan nilai hidupnya. Kejatuhan ke dalam dosa meluluhlantakan semuanya, mengacaukan sistem kehidupan dalam segala aspek. Mulai dari sistem relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, hingga manusia dengan alam. Juga menimbulkan kekacauan dalam nilai-nilai hidup.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika hidup manusia terjebak pada lingkaran kehampaan, yang mengakibatkan hidup hanyalah usaha menjaring angin. Kekacauan demi kekacauan datang silih berganti. Keberhasilan, ketenangan, kesenangan, tawa anak manusia, hanyalah sementara, palsu, tidak sejati, berakhir, tidak abadi. Kenyataan inilah yang dipulihkan, dikembalikan kehakekatnya, ketika Yesus datang ke dunia menebus dosa manusia. Sistem diperbaiki, nilai dikembalikan, makna hidup diberikan.
Ringkasnya, manusia yang percaya kepada Yesus dikembalikan pada jalur yang benar (Efesus 4: 23-32). Dengan penebusan telah terjadi pemulihan. Namun, dalam kenyataan, tak semua manusia rela percaya, bahkan sebaliknya, pemberontakan didemonstrasikan, dengan penyaliban Yesus Kristus. Jadi, dunia tetap saja masih dihuni oleh kekacauan akibat keberdosaan. Di sinilah terjadi titik pertempuran.
Karena itu, orang percaya dituntut agar bijak memahami dan menjalani hidup. Pemulihan yang sudah diterima orang percaya akan ditelikung oleh yang tidak percaya. Tawaran hidup yang salah, usaha mengalihkan perhatian dan munculnya berbagai kepalsuan akan mengganggu hidup orang percaya. Kadang kala, kesejatian hidup itu tampak kabur. Namun semakin orang percaya menyatu dalam iman kepada Kristus, maka akan tampak semakin nyata keindahan hidup yang sesungguhnya. Di sinilah kebebasan sejati ditemukan orang percaya, mereka bebas dalam keterikatan. Sementara yang tak percaya, malah terikat dalam kebebasannya, tanpa pernah berdaya untuk melepaskannya. Seharusnya hidup itu indah, indah karena Kristus yang memberikan kebebasan dalam keterikatan pada diri-NYA.
0 comments:
Post a Comment