Secara sederhana, TERORISME adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. Tindakan TEROR ini dilakukan secara kontiniu dan konsisten. Teroris atau si penebar teror itu mengharapkan agar masyarakat—pribadi atau kelompok—bahkan institusi merasa takut dan akhirnya memenuhi keinginan si penabur teror.
Teror itu bisa muncul dalam bentuk pembunuhan berantai secara sporadis. Juga bisa dengan pola dan sasaran tertentu. Si penabur teror bisa perorangan atau kelompok. Dan ini biasanya dilakukan sebagai ekspresi kekecewaan yang mendalam atas suatu hal atau kebijakan yang dianggap merugikan diri atau kelompoknya. Dia selalu punya hasrat untuk membalaskan sakit hatinya itu dengan segala cara tanpa peduli apakah tindakan balas dendamnya itu menimbulkan kerusakan atau kerugian bagi banyak pihak.
Namun, masa kini, terorisme kebanyakan berasal dari kelompok yang memiliki ideologi radikal, eksklusif, yang meyakini hanya kelompok mereka saja yang benar. Mereka juga berpendapat bahwa tujuan yang hendak diperjuangkan oleh kelompok ini adalah kebenaran satu-satunya. Indoktrinasi di dalam kelompok ini berlangsung ketat, sampai-sampai nalar sehat pun dimatikan atas nama tujuan mulia kelompok mereka. Semua hal, bahkan keluarga sekalipun harus dikesampingkan demi tujuan kelompok.
Kelompok yang dinamakan teroris ini tampil dalam warna keras dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Mereka yakin bahwa tujuan atau cita-cita mereka akan dapat dicapai dengan dan melalui teror. Dan cita-cita itu dicanangkan oleh pendirinya, yang diyakini oleh setiap pengikutnya. Si pendiri biasanya adalah orang yang memiliki kharisma dan wibawa besar dalam kelompoknya. Uniknya, kelompok yang nyata-nyata teroris ini malah menuduh balik pihak-pihak yang menghalangi mereka itu sebagai teroris.
Nah, para TERORIS ini menebar TEROR, yang mereka yakini sebagai cara berjuang yang paling efektif. Yang menjadi sangat menakutkan adalah model yang mereka pilih seperti BOM bunuh diri. Menakutkan, karena siapa saja bisa jadi korban: tua, muda, besar, kecil, kaya, miskin. Cara ini sesungguhnya tidak efektif, (terkesan frustrasi), karena sasarannya tidak jelas dan tidak tepat. Karena ulah mereka, deretan orang yang sakit hati pun semakin panjang karena nyawa anggota keluarganya direnggut oleh BOM bunuh diri.
Volunter (sukarelawan) yang meledakkan diri dengan BOM jumlahnya semakin banyak, sementara para pemimpinnya tetap saja berkeliaran bahkan sempat menikah dan merasakan kenikmatan di dalam pelariannya. Ini merupakan sisi paradoks yang seharusnya bisa menjadi pintu masuk untuk menyibak dan menyobek gerakan radikal ini. Dan ini tentu saja tugas berat aparat keamanan yang perlu mendapat dukungan dari setiap komponen bangsa. Aparat keamanan, khususnya polisi, dituntut mampu menampilkan diri dengan baik sebagai alat yang mampu memberi rasa aman pada rakyat, bukan sebaliknya. Kerja sama yang berkualitas kita butuhkan dalam menjaga keamanan bangsa yang besar ini.
Peran apa yang bisa dimainkan gereja di tengah situasi seperti ini? Pertanyaan ini penting, apalagi mengingat gereja seringkali menjadi sasaran pertama dan utama. Gereja harus sadar dan berbenah diri dalam mengaktualisasi kehadirannya di muka bumi sebagai pembawa damai, khususnya di bumi pertiwi, Indonesia yang kita cintai, yang sering diwarnai aneka gejolak manusia maupun alamnya. Gereja jangan berdiam diri di atas mercusuar, tapi perlu turun membumi, seperti Yesus Kristus yang membumi dengan meninggalkan surga yang mulia. Gereja tidak cukup hanya menyampaikan untaian kata sebagai khotbah atau himbauan, tetapi dituntut untuk merealisasikannya. Seperti Yesus Kristus yang mengasihi umat-NYA, dan untuk itu Dia datang di dalam kehidupan manusia, dan menghidupi kehidupan kita dengan menanggung segala kesalahan dan dosa kita. Kekerasan memang tidak akan pernah habis dari muka bumi yang semakin berdosa, namun panggilan tugas orang percaya juga tidak pernah selesai hingga kedatangan Yesus yang kedua kalinya.
Ketika aparat keamanan, mencoba membongkar jaringan kekerasan, bukankah itu waktu yang sangat tepat bagi gereja untuk menabur benih damai? Gereja tak usahlah membangun menara megah, tapi hadir dan berbagilah dengan rakyat kebanyakan yang terbilang sangat susah. Belajar mendengar keluh kesah rakyat, dan memberikan titipan yang Tuhan titipkan pada kita, dan jangan berdalih, “itu milikku semuanya”. Gereja, dituntut memberi pencerahan dalam bahasa surga yang membumi, yang dipahami seantero pertiwi, bukan bahasa “surga” ciptaan agama, yang seakan membuat gereja suci tak terjamah. Dibutuhkan sebuah kesadaran konkrit.
Ketika teroris—demi keyakinan akan tujuannya—berani meledakkan diri bersama bom, mengapa gereja justru bersembunyi (berkelit dan berdalih) untuk sebuah kebenaran yang Tuhan Yesus ajarkan? Ketika teroris bergerak tanpa henti dan berusaha kompak tak mengkhiananti kelompoknya, mengapa gereja justru terpecah, saling menunding dan mengklaim sebagai wakil surga? Padahal Yesus berkata, “hendaklah engkau saling mengasihi dan menjadi satu…” (Yohanes 17).
Ah, semoga masih ada waktu bagi gereja berbenah diri, menjadi seperti apa yang dikehendaki Yesus, kepala gereja. Ya, semoga.*
Teror itu bisa muncul dalam bentuk pembunuhan berantai secara sporadis. Juga bisa dengan pola dan sasaran tertentu. Si penabur teror bisa perorangan atau kelompok. Dan ini biasanya dilakukan sebagai ekspresi kekecewaan yang mendalam atas suatu hal atau kebijakan yang dianggap merugikan diri atau kelompoknya. Dia selalu punya hasrat untuk membalaskan sakit hatinya itu dengan segala cara tanpa peduli apakah tindakan balas dendamnya itu menimbulkan kerusakan atau kerugian bagi banyak pihak.
Namun, masa kini, terorisme kebanyakan berasal dari kelompok yang memiliki ideologi radikal, eksklusif, yang meyakini hanya kelompok mereka saja yang benar. Mereka juga berpendapat bahwa tujuan yang hendak diperjuangkan oleh kelompok ini adalah kebenaran satu-satunya. Indoktrinasi di dalam kelompok ini berlangsung ketat, sampai-sampai nalar sehat pun dimatikan atas nama tujuan mulia kelompok mereka. Semua hal, bahkan keluarga sekalipun harus dikesampingkan demi tujuan kelompok.
Kelompok yang dinamakan teroris ini tampil dalam warna keras dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Mereka yakin bahwa tujuan atau cita-cita mereka akan dapat dicapai dengan dan melalui teror. Dan cita-cita itu dicanangkan oleh pendirinya, yang diyakini oleh setiap pengikutnya. Si pendiri biasanya adalah orang yang memiliki kharisma dan wibawa besar dalam kelompoknya. Uniknya, kelompok yang nyata-nyata teroris ini malah menuduh balik pihak-pihak yang menghalangi mereka itu sebagai teroris.
Nah, para TERORIS ini menebar TEROR, yang mereka yakini sebagai cara berjuang yang paling efektif. Yang menjadi sangat menakutkan adalah model yang mereka pilih seperti BOM bunuh diri. Menakutkan, karena siapa saja bisa jadi korban: tua, muda, besar, kecil, kaya, miskin. Cara ini sesungguhnya tidak efektif, (terkesan frustrasi), karena sasarannya tidak jelas dan tidak tepat. Karena ulah mereka, deretan orang yang sakit hati pun semakin panjang karena nyawa anggota keluarganya direnggut oleh BOM bunuh diri.
Volunter (sukarelawan) yang meledakkan diri dengan BOM jumlahnya semakin banyak, sementara para pemimpinnya tetap saja berkeliaran bahkan sempat menikah dan merasakan kenikmatan di dalam pelariannya. Ini merupakan sisi paradoks yang seharusnya bisa menjadi pintu masuk untuk menyibak dan menyobek gerakan radikal ini. Dan ini tentu saja tugas berat aparat keamanan yang perlu mendapat dukungan dari setiap komponen bangsa. Aparat keamanan, khususnya polisi, dituntut mampu menampilkan diri dengan baik sebagai alat yang mampu memberi rasa aman pada rakyat, bukan sebaliknya. Kerja sama yang berkualitas kita butuhkan dalam menjaga keamanan bangsa yang besar ini.
Peran apa yang bisa dimainkan gereja di tengah situasi seperti ini? Pertanyaan ini penting, apalagi mengingat gereja seringkali menjadi sasaran pertama dan utama. Gereja harus sadar dan berbenah diri dalam mengaktualisasi kehadirannya di muka bumi sebagai pembawa damai, khususnya di bumi pertiwi, Indonesia yang kita cintai, yang sering diwarnai aneka gejolak manusia maupun alamnya. Gereja jangan berdiam diri di atas mercusuar, tapi perlu turun membumi, seperti Yesus Kristus yang membumi dengan meninggalkan surga yang mulia. Gereja tidak cukup hanya menyampaikan untaian kata sebagai khotbah atau himbauan, tetapi dituntut untuk merealisasikannya. Seperti Yesus Kristus yang mengasihi umat-NYA, dan untuk itu Dia datang di dalam kehidupan manusia, dan menghidupi kehidupan kita dengan menanggung segala kesalahan dan dosa kita. Kekerasan memang tidak akan pernah habis dari muka bumi yang semakin berdosa, namun panggilan tugas orang percaya juga tidak pernah selesai hingga kedatangan Yesus yang kedua kalinya.
Ketika aparat keamanan, mencoba membongkar jaringan kekerasan, bukankah itu waktu yang sangat tepat bagi gereja untuk menabur benih damai? Gereja tak usahlah membangun menara megah, tapi hadir dan berbagilah dengan rakyat kebanyakan yang terbilang sangat susah. Belajar mendengar keluh kesah rakyat, dan memberikan titipan yang Tuhan titipkan pada kita, dan jangan berdalih, “itu milikku semuanya”. Gereja, dituntut memberi pencerahan dalam bahasa surga yang membumi, yang dipahami seantero pertiwi, bukan bahasa “surga” ciptaan agama, yang seakan membuat gereja suci tak terjamah. Dibutuhkan sebuah kesadaran konkrit.
Ketika teroris—demi keyakinan akan tujuannya—berani meledakkan diri bersama bom, mengapa gereja justru bersembunyi (berkelit dan berdalih) untuk sebuah kebenaran yang Tuhan Yesus ajarkan? Ketika teroris bergerak tanpa henti dan berusaha kompak tak mengkhiananti kelompoknya, mengapa gereja justru terpecah, saling menunding dan mengklaim sebagai wakil surga? Padahal Yesus berkata, “hendaklah engkau saling mengasihi dan menjadi satu…” (Yohanes 17).
Ah, semoga masih ada waktu bagi gereja berbenah diri, menjadi seperti apa yang dikehendaki Yesus, kepala gereja. Ya, semoga.*
0 comments:
Post a Comment