NATO, sebenarnya adalah singkatan atau akronim dari nama suatu organisasi sejumlah negara yang berada di kawasan Atlantik Utara, yaitu North Atlantic Treaty Organization. Singkatan ini, secara luas kemudian dipelesetkan menjadi no action talk only. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maksud pelesetan itu kira-kira begini: kerja tidak mampu, bisanya cuma bicara saja. Atau orang Betawi bilang: “Kerja kagak, ngomong doang.”
Jika status NATO ini dilekatkan kepada seorang pemimpin, maka dia tak lebih dari hanya seorang pemimpin yang pintar berbicara namun ‘tidak berdaya’ jika diminta atau dituntut menerapkannya di dalam perbuatan nyata. Pemimpin semacam ini biasanya akan banyak muncul terutama menjelang bergulirnya pesta rakyat lima tahunan yang biasa disebut dengan pemilihan umum (pemilu). Atau ketika ada masalah, dia berusaha tampil menjadi juru selamat yang tampaknya ‘banyak tahu’, tapi tidak mampu memecahkan masalah. Mahluk yang satu ini biasanya mengumbar sejuta janji tetapi tidak pernah sanggup merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
Sangat banyak memang gugatan ditujukan kepada para pemimpin cap NATO yang biasanya hanya mau dan mampu meraup keuntungan materi dengan memanfaatkan jabatannya. Tetapi meski dikritik di sana-sini, dihujat dari segala penjuru, mereka kelihatannya tetap melangkah dengan santai, bahkan mungkin dalam hati berkata, “Emangnya gua pikirin?” Anjing menggonggong, kafilah berlalu, demikian falsafah pemimpin berkualitas NATO.
Memprihatinkan, sebab dalam situasi dan kondisi negara yang sangat mengkhawatirkan ini, kita butuh pemimpin-pemimpin yang benar-benar mau dan mampu mengangkat kehidupan rakyat yang selama ini tersisihkan. Tetapi, betapa susahnya menemukan pemimpin sejati yang benar-benar dapat menyuarakan suara rakyat.
Ternyata, bukan hanya bangsa dan negara ini yang kesulitan mencari pemimpin yang berwawasan nasional. Bahkan gereja sendiri pun dewasa ini amat sulit menemukan pemimpin yang ideal. Kalaupun gereja memiliki pemimpin, mereka-mereka itu hanya layak disebut sebagai ‘jago mimbar’ yang hanya pandai berkhotbah, tapi tak mau melibatkan diri terjun ke ladang sosial. Mereka-mereka ini termasuk contoh dari sekian banyak pemimpin yang berpredikat NATO tadi. Mereka ‘bahagia’ tapi jemaat ‘sengsara’.
Sifat seorang pemimpin yang hanya pintar berbicara, namun tidak mampu merealisasikannya dalam tindakan nyata, baru-baru ini telah diperlihatkan oleh seorang pemimpin daerah di Kabupaten Kampar,, Riau, nun jauh di sana. Sang kepala daerah yang bernama Jefri Noer ini berlagak baktuan tanah, mengancam akan memberhentikan atau mengganti sekitar 7.000 (tujuh ribu) guru yang selama ini bertugas di daerah kekuasannya. Nampaknya, ke-7000 manusia yang cari makan dengan menjadi guru di Kabupaten Kampar itu bukanlah apa-apa bagi Pak Bupati.
Ancaman pemberhentian itu ternyata menimbulkan badai protes yang sangat hebat. Dan ini kemungkinan besar di luar dugaannya. Sebagai respon atas ancamannya itu, para pahlawan tanpa tanda jasa di seluruh Kampar, serta-merta melakukan aksi mogok mengajar. Aksi mogok para guru ini didukung oleh seluruh murid, orangtua murid, bahkan para pemuka masyarakat atau pun ketua adat setempat. Bukan hanya masyarakat se Kabupaten Kampar yang berdiri di belakang ke-7000 guru itu, bahkan rekan-rekan mereka sesama pengajar se Provinsi Riau pun memberi dukungan. Mereka semua sehati dan sepikir untuk menuntut kepala daerah mereka, Bupati Jefri Noer yang dinilai arogan itu untuk secepatnya mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara, banyak pihak yang geleng-geleng kepala menyaksikan pejabat yang mestinya menjadi pengayom rakyat memainkan akting sebagai penguasa diktator. “Ini baru bupati. Bagaimana pula jadinya jika jabatannya lebih tinggi lagi?”
Sampai di sini jelaslah bahwa Bupati Kampar telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin bermental NATO, yang hanya mampu mengucapkan kata-kata, berupa ancaman pemberhentian terhadap para guru. Dia, sebagai seorang pemimpin masyarakat, sama sekali tidak tahu bahkan tidak mau tahu bagaimana menyejahterakan masyarakatnya. Sang Bupati bukan saja gagal dalam menjalankan tugas utamanya untuk menyejahterakan masyarakat di wilayah kekuasaannya, dia justru menjadi titik permasalahan, bahkan menjadi penghalang kesejahteraan bagi warganya sendiri. Sungguh mengherankan, mental tuan tanah yang tumbuh subur di jaman penjajahan masih hidup di masa kemerdekaan ini.
Di luar konteks itu, ada seorang teman yang menceritakan pengalaman barunya terjun ke lingkungan para (calon) pemimpin. Para pemimpin itu suatu hari mengadakan pertemuan yang sangat ‘serius’ guna membahas masa depan rakyat miskin serta rakyat tertindas yang selama ini terpinggirkan. Mereka juga sibuk memikirkan tentang pemimpin bangsa yang benar-benar sesuai dambaan masyarakat.
Usai diskusi yang topiknya benar-benar memikirkan kehidupan rakyat, mereka melanjutkan acara di sebuah night club. Tak jelas korelasi perjuangan dengan tempat pertemuan di night club. Tapi yang pasti sejuta kenikmatan dapat direngkuh di sini. Sangat kontras dengan rakyat yang tertindas.
Kemudiaan betapa kagetnya sang rekan ini, sebab di tempat hiburan malam itu bukan hanya minuman keras yang mereka nikmati tetapi juga wanita-wanita penghibur (bukan penghibur hati yang susah, lho). Ketika rekan ini mempertanyakan itu semua, salah seorang dari pemimpin itu menjawab dengan enteng, “Ah, jangan pikirkan lagi itu, nikmati saja yang ada ini.” Teman kita sangat bingung, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Namun ketika kepadanya disodorkan amplop (baca: uang), dia langsung terdiam seribu bahasa. Sejenak dia bimbang: menerima pemberian itu rasanya kurang enak, tetapi menolak, justru lebih tidak enak lagi. Di sini amplop berhasil membuktikan dirinya sebagai benda yang memiliki kekuatan dahsyat, yang bukan saja mampu membungkam mulut, tetapi juga membunuh hati nurani manusia. Begitu drastis memang perubahan yang terjadi. Beberapa waktu lalu mereka berkutat tentang kerakyatan, sekarang mereka berasyik-masyuk dengan kebejatan.
Lahirnya pemimpin yang berkaliber NATO, tentu tidak lepas dari peranan amplop ini. Sebab bukan cerita baru lagi jika dalam sebuah acara pemilihan pemimpin daerah, lagu yang terdengar menggema adalah tentang money politics. Para wakil rakyat yang mendapat kepercayaan memilih pemimpin, seakan kompak mendendangkan lagu ‘wajib’ berjudul Maju Tak Gentar Bersama yang Bayar.
Namun sebenarnya, di luar pemimpin produk NATO tadi, ada juga pemimpin yang benar-benar sesuai dambaan rakyat. Tetapi sayang, pemimpin-pemimpin seperti ini tidak mengeluarkan suara yang keras seperti para pemimpin berlabel NATO tadi. Meski demikian, kepada Anda, para pemimpin yang bukan NATO, tidak usah takut untuk bersuara lantang menyuarakan kebenaran. Percayalah, rakyat banyak yang selama ini sudah lama tertindas selalu siap sedia men-support Anda. Majulah terus, jangan gentar terhadap siapa saja. Tetapi gentarlah terhadap kebisuan anda. Jangan gentar terhadap ketidakbenaran, ketidakjujuran. Jangan berbicara tanpa bertindak. Dibutuhkan keberanian untuk membungkam pemimpin NATO. Hanya saja, Anda harus memastikan bahwa Anda bukanlah pemimpin yang NATO itu.
0 comments:
Post a Comment