BAIT Suci disucikan? Sebuah pertanyaan sederhana yang sungguh tidak sederhana. Sederhana, jika itu adalah ritual penyucian, seperti didoakan, atau lainnya. Namun menjadi tidak sederhana, jika itu menyangkut kualitas, spritualitas, sehingga Bait Suci perlu disucikan. Apalagi jika Yesus, Anak Allah, Sang Suci, yang melakukannya. Bukankah Bait Suci itu tempat suci yang seharusnya tak perlu disucikan? Namun itulah kenyataannya, Bait Suci, disucikan. Dalam catatan Alkitab peristiwa itu jelas sekali. Keempat Injil mencatatnya (Yohanes 2: 13-25, Matius 21: 12-17, Markus 11: 15-19, Lukas 19: 45-48).
Bait Suci, tempat beribadah itu ternyata telah hiruk-pikuk dengan aneka kegiatan dagang. Di sana ada pedagang merpati, domba, kambing, bahkan lembu. Wow, betapa luasnya area yang mereka gunakan. Belum lagi bau yang ditimbulkan, pasti sangat mengganggu, terutama ketika angin bertiup. Di sebelah lain, tak kalah sibuknya adalah para penukar uang. Mereka bagaikan money changer di era modern yang siap menanti pembeli, khususnya yang datang dari kota lain untuk beribadah (orang Yahudi perantauan, atau yang lainnya).
Apa yang salah di sana? Praktek dagangnya atau yang lainnya? Yang pasti, kritik Yesus dalam Matius 21:13, “Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun”. Siapa yang menyamun alias merampok? Dalam prakteknya, ada berbagai informasi. Para pedagang binatang kurban, yang dagangannya dibutuhkan oleh umat, ternyata mencantumkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Mark up, istilah kerennya. Mengapa umat tak membeli di pasar? Sulit, karena bisa dipersulit oleh penilai, alias quality control, yang sering kali tidak meluluskan binatang yang dibawa sebagai kurban yang layak.
Ada ketentuan tentang kurban yang diatur dalam kitab Imamat. Nah, di sinilah para penilai bermain mata dengan pedangang di halaman Bait Suci. Karena seluruh kurban yang dibeli dari pedagang di Bait Suci pasti lolos dan dianggap layak. Sementara yang dibeli di pasar seringkali ditolak. Namun ada konsekuensinya, yakni umat harus membayar lebih mahal jika membeli di halaman Bait Suci. Terjadilah kolusi antara pedagang dengan para imam dan petugasnya. Harga lebih mahal, memang mempermudah pembelian dan kelayakan kurban, tapi, juga memeras umat yang berada pada posisi lemah.
Hal seperti ini sudah terjadi sejak dulu kala. Amos berteriak atas kecurangan para imam yang seharusnya menjadi penggembala domba, bukan pemerah domba. Begitu juga di bisnis money changer, kurs yang diberlakukan selalu merugikan umat. Dan, lagi-lagi menguntungkan pedagang dan juga imam. Kebanyakan imam sangat bergairah ke Bait Suci, bukan untuk pelayanan melainkan pemerasan, bukan juga untuk mencari kekudusan tapi kolusi dengan pedagang. Dengan topeng pelayanan, mereka meraup keuntungan. Aroma transaksi dagang di Bait Suci jauh lebih kental dibanding ibadah suci yang menyenangkan hati Tuhan. Jadi, tidaklah mengherankan jika Yesus bertindak radikal, dengan menjungkirbalikkan meja dan bangku para pedagang. Tentu saja ini sangat menjengkelkan para imam dan pedagang. Jadi, tidaklah juga mengherankan jika mereka sangat berambisi untuk menghabisi Yesus. Walaupun kebanyakan umat merasa terbela, namun, tidak serta-merta mereka menjadi pengikut Yesus yang setia. Karena tak sedikit pula umat yang oportunis.
Ya, Yesus telah mengganggu arus pundi-pundi para imam dan pedagang, yaitu uang haram yang selama ini lancar dan “suci”, karena “disucikan” lewat pelayanan berkedok. Imam yang tak “beriman” melainkan mata duitan, pelayan yang tak “melayani” melainkan membebani, gembala yang tak “menjaga” melainkan memerah, pemimpin yang tak “memimpin” melainkan mempermainkan. Ibadah menjadi penuh kepalsuan. Asal membayar lebih, asal mengikuti ketentuan yang dibuat para imam, pengampunan dosa diperjualbelikan. Dan, celakanya, ternyata umat bisa jadi pembeli yang tak selektif. Mungkin merasa sama-sama diuntungkan. Yang satu untung uang, yang lain untung pengakuan, dan tak dikucilkan, belum lagi bisa lolos dari hukuman dosa (hukuman fisik).
Jadi, tidaklah mengherankan jika praktek seperti ini berjalan cukup lancar. Dan, posisi Yesus terasa sulit, berhadapan dengan para imam atas nama agama, pedagang atas nama usaha, dan umat atas nama rakyat banyak. Apalagi jika banyak diidentikkan dengan kebenaran, maka Yesus adalah pesakitan. Ngerinya, sosok kepalsuan yang bisa memutarbalikkan fakta, menjadi lebih mengerikan lagi karena hal ini sering sukses. Lihat saja, “sukses besar” mereka menyalibkan Yesus Kristus dengan memengaruhi orang banyak, membayar Yudas dengan 30 keping perak, bahkan menekan Pilatus memenuhi “order hukuman”.
Ya, uang yang terkumpul dari transaksi jual-beli ibadah ternyata tidak kecil, bahkan sangat besar, bisa membiayai sebuah gerakan besar. Hebat sekali! Apakah Allah sudah tak berdaya membongkar semuanya? Apalagi yang menjadi korban adalah Yesus? Jelas tidak! Bahkan sebaliknya, Allah menghukum dengan membiarkan mereka hangus oleh “kesuksesan dosanya” (band, 2 Petrus 2: 4-16). Jadi, jangan heran jika melihat banyak kelicikan, kepalsuan meraih kesuksesan besar. Alkitab sudah menjelaskan, pada akhir jaman, guru-guru, nabi-nabi palsu, akan sukses merekrut pengikutnya dalam jumlah banyak. Bukankah banyak yang dipanggil, namun hanya sedikit yang terpilih?
Realita Bait Suci yang harus disucikan karena telah menjadi tempat bisnis ternyata tak berhenti. Situasi tetap berlanjut hingga kini. Banyak isu sinis tentang gereja berbisnis, gembala berbisnis. Banyak pelayanan khotbah yang juga dibisniskan. Serba uang, serba tarif, serba fasilitas, dan, ah, panjang sekali daftarnya. Semuanya disembunyikan dalam kata berkat Allah yang melimpah. Apa pun yang serba mewah, dari rumah, mobil hingga penampilan mewah, itu adalah simbol hamba Allah yang sukses. Buah tak lagi diperhatikan, melainkan popularitas. Perbuatan tak lagi diperhitungkan melainkan retorika belaka, sekalipun Yesus sendiri berkata, “Pohon dikenal dari buahnya” (Matius 7:15-20).
Mengapa? Rupanya situasi yang sama berulang kembali, pengkhotbah maupun pendengar sama-sama “diuntungkan”. Pengkhotbah mengkhotbahkan yang ingin didengar umat (uang, sukses, kesembuhan, kelancaran hidup, dll), tanpa menyinggung apalagi membongkar dosa. Umat tak perlu merasa “tertampar”, asal berani “membayar”. Bayaran yang berkedok persembahan untuk Allah, ternyata tak pernah sampai “ke surga”, melainkan berhenti dan menjadi keuntungan pengelola yang sekaligus pemilik. Gereja yang seharusnya menjadi aliran berkat, diberkati untuk memberkati, ternyata menjadi putaran berkat, berputar di tempat yang sama, dan tak pernah mengubah lingkungan, apalagi dalam konteks kebangsaan.
Di Amerika, majalah Economic yang terkenal, bahkan memuat gurita bisnis gereja, termasuk peredaran uang yang ternyata mencengangkan. Menjajakan kebenaran ternyata memang sangat mengguntungkan, dulu, sekarang, bahkan hingga Yesus datang kembali. Sangat potensial untuk meraup sukses materi. Namun, ingatlah, Yesus akan menjungkirbalikkan semuanya, di sana di kekalan. Awas, jangan sampai hangus oleh kesusksesan dosa menjajakan kebenaran. Umat harus berani belajar menjadi pelaku kebenaran yang sejati. Ya, semoga bukan pula sekadar cita-cita. Selamat peka.
Bait Suci, tempat beribadah itu ternyata telah hiruk-pikuk dengan aneka kegiatan dagang. Di sana ada pedagang merpati, domba, kambing, bahkan lembu. Wow, betapa luasnya area yang mereka gunakan. Belum lagi bau yang ditimbulkan, pasti sangat mengganggu, terutama ketika angin bertiup. Di sebelah lain, tak kalah sibuknya adalah para penukar uang. Mereka bagaikan money changer di era modern yang siap menanti pembeli, khususnya yang datang dari kota lain untuk beribadah (orang Yahudi perantauan, atau yang lainnya).
Apa yang salah di sana? Praktek dagangnya atau yang lainnya? Yang pasti, kritik Yesus dalam Matius 21:13, “Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun”. Siapa yang menyamun alias merampok? Dalam prakteknya, ada berbagai informasi. Para pedagang binatang kurban, yang dagangannya dibutuhkan oleh umat, ternyata mencantumkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Mark up, istilah kerennya. Mengapa umat tak membeli di pasar? Sulit, karena bisa dipersulit oleh penilai, alias quality control, yang sering kali tidak meluluskan binatang yang dibawa sebagai kurban yang layak.
Ada ketentuan tentang kurban yang diatur dalam kitab Imamat. Nah, di sinilah para penilai bermain mata dengan pedangang di halaman Bait Suci. Karena seluruh kurban yang dibeli dari pedagang di Bait Suci pasti lolos dan dianggap layak. Sementara yang dibeli di pasar seringkali ditolak. Namun ada konsekuensinya, yakni umat harus membayar lebih mahal jika membeli di halaman Bait Suci. Terjadilah kolusi antara pedagang dengan para imam dan petugasnya. Harga lebih mahal, memang mempermudah pembelian dan kelayakan kurban, tapi, juga memeras umat yang berada pada posisi lemah.
Hal seperti ini sudah terjadi sejak dulu kala. Amos berteriak atas kecurangan para imam yang seharusnya menjadi penggembala domba, bukan pemerah domba. Begitu juga di bisnis money changer, kurs yang diberlakukan selalu merugikan umat. Dan, lagi-lagi menguntungkan pedagang dan juga imam. Kebanyakan imam sangat bergairah ke Bait Suci, bukan untuk pelayanan melainkan pemerasan, bukan juga untuk mencari kekudusan tapi kolusi dengan pedagang. Dengan topeng pelayanan, mereka meraup keuntungan. Aroma transaksi dagang di Bait Suci jauh lebih kental dibanding ibadah suci yang menyenangkan hati Tuhan. Jadi, tidaklah mengherankan jika Yesus bertindak radikal, dengan menjungkirbalikkan meja dan bangku para pedagang. Tentu saja ini sangat menjengkelkan para imam dan pedagang. Jadi, tidaklah juga mengherankan jika mereka sangat berambisi untuk menghabisi Yesus. Walaupun kebanyakan umat merasa terbela, namun, tidak serta-merta mereka menjadi pengikut Yesus yang setia. Karena tak sedikit pula umat yang oportunis.
Ya, Yesus telah mengganggu arus pundi-pundi para imam dan pedagang, yaitu uang haram yang selama ini lancar dan “suci”, karena “disucikan” lewat pelayanan berkedok. Imam yang tak “beriman” melainkan mata duitan, pelayan yang tak “melayani” melainkan membebani, gembala yang tak “menjaga” melainkan memerah, pemimpin yang tak “memimpin” melainkan mempermainkan. Ibadah menjadi penuh kepalsuan. Asal membayar lebih, asal mengikuti ketentuan yang dibuat para imam, pengampunan dosa diperjualbelikan. Dan, celakanya, ternyata umat bisa jadi pembeli yang tak selektif. Mungkin merasa sama-sama diuntungkan. Yang satu untung uang, yang lain untung pengakuan, dan tak dikucilkan, belum lagi bisa lolos dari hukuman dosa (hukuman fisik).
Jadi, tidaklah mengherankan jika praktek seperti ini berjalan cukup lancar. Dan, posisi Yesus terasa sulit, berhadapan dengan para imam atas nama agama, pedagang atas nama usaha, dan umat atas nama rakyat banyak. Apalagi jika banyak diidentikkan dengan kebenaran, maka Yesus adalah pesakitan. Ngerinya, sosok kepalsuan yang bisa memutarbalikkan fakta, menjadi lebih mengerikan lagi karena hal ini sering sukses. Lihat saja, “sukses besar” mereka menyalibkan Yesus Kristus dengan memengaruhi orang banyak, membayar Yudas dengan 30 keping perak, bahkan menekan Pilatus memenuhi “order hukuman”.
Ya, uang yang terkumpul dari transaksi jual-beli ibadah ternyata tidak kecil, bahkan sangat besar, bisa membiayai sebuah gerakan besar. Hebat sekali! Apakah Allah sudah tak berdaya membongkar semuanya? Apalagi yang menjadi korban adalah Yesus? Jelas tidak! Bahkan sebaliknya, Allah menghukum dengan membiarkan mereka hangus oleh “kesuksesan dosanya” (band, 2 Petrus 2: 4-16). Jadi, jangan heran jika melihat banyak kelicikan, kepalsuan meraih kesuksesan besar. Alkitab sudah menjelaskan, pada akhir jaman, guru-guru, nabi-nabi palsu, akan sukses merekrut pengikutnya dalam jumlah banyak. Bukankah banyak yang dipanggil, namun hanya sedikit yang terpilih?
Realita Bait Suci yang harus disucikan karena telah menjadi tempat bisnis ternyata tak berhenti. Situasi tetap berlanjut hingga kini. Banyak isu sinis tentang gereja berbisnis, gembala berbisnis. Banyak pelayanan khotbah yang juga dibisniskan. Serba uang, serba tarif, serba fasilitas, dan, ah, panjang sekali daftarnya. Semuanya disembunyikan dalam kata berkat Allah yang melimpah. Apa pun yang serba mewah, dari rumah, mobil hingga penampilan mewah, itu adalah simbol hamba Allah yang sukses. Buah tak lagi diperhatikan, melainkan popularitas. Perbuatan tak lagi diperhitungkan melainkan retorika belaka, sekalipun Yesus sendiri berkata, “Pohon dikenal dari buahnya” (Matius 7:15-20).
Mengapa? Rupanya situasi yang sama berulang kembali, pengkhotbah maupun pendengar sama-sama “diuntungkan”. Pengkhotbah mengkhotbahkan yang ingin didengar umat (uang, sukses, kesembuhan, kelancaran hidup, dll), tanpa menyinggung apalagi membongkar dosa. Umat tak perlu merasa “tertampar”, asal berani “membayar”. Bayaran yang berkedok persembahan untuk Allah, ternyata tak pernah sampai “ke surga”, melainkan berhenti dan menjadi keuntungan pengelola yang sekaligus pemilik. Gereja yang seharusnya menjadi aliran berkat, diberkati untuk memberkati, ternyata menjadi putaran berkat, berputar di tempat yang sama, dan tak pernah mengubah lingkungan, apalagi dalam konteks kebangsaan.
Di Amerika, majalah Economic yang terkenal, bahkan memuat gurita bisnis gereja, termasuk peredaran uang yang ternyata mencengangkan. Menjajakan kebenaran ternyata memang sangat mengguntungkan, dulu, sekarang, bahkan hingga Yesus datang kembali. Sangat potensial untuk meraup sukses materi. Namun, ingatlah, Yesus akan menjungkirbalikkan semuanya, di sana di kekalan. Awas, jangan sampai hangus oleh kesusksesan dosa menjajakan kebenaran. Umat harus berani belajar menjadi pelaku kebenaran yang sejati. Ya, semoga bukan pula sekadar cita-cita. Selamat peka.
0 comments:
Post a Comment