Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Tuesday, October 8, 2013

IMAN YANG BENAR

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

DALAM Perjanjian Lama (PL), bahasa Ibrani untuk iman adalah “emunah” yang berarti kesetiaan, atau “batakh” yang berarti percaya. Sementara dalam Perjanjian Baru (PB), bahasa Yunani yang dipakai adalah “pisteuo” yang juga berarti kesetiaan. Muncul ratusan kali dalam bentuk kata benda, kata sifat dan kata kerja. Dari sudut bahasa, dengan segera akan tampak jelas semangat dari iman itu sendiri. Sebuah sikap percaya, tanpa sedikit pun keraguan kepada Allah pencipta semesta. Sementara kesetiaan melukiskan menyatunya kata dan sikap kepada Tuhan, setia tanpa limit. Kalimat “percayalah kepada Tuhan Allahmu”, sangat dominan dalam PL. Sementara hardikan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Berapa lama lagi kamu percaya, hai yang kurang percaya?”, mewarnai kitab Injil.

Iman yang benar hanya percaya kepada satu Allah, tak bercabang kepada illah-illah. Ketika Musa menerima 10 hukum Taurat, maka dengan segera tampak sangat menonjol nuansa beriman di sana. Dibuka dengan tekanan yang kuat Akulah TUHAN Allahmu (penggabungan nama Yahweh Elohim, menunjukkan kedaulatan Sang Pencipta, yang berjanji dan berkuasa), lalu diikuti dengan tuntutan yang serius. TUHAN tak rela jika umat membuat patung sebagai illah-illah bagi diri mereka (Keluaran 20: 3-7) . Jika ingin beriman sungguh, mereka digugat untuk taat dan beribadah hanya kepada TUHAN Allah saja. Separuh dari 10 hukum mengatur hubungan beriman yang benar, sikap umat kepada TUHAN Allah, apa yang tidak boleh tampak jelas dan sangat detil.

Lalu, jika mundur ke belakang, ke Taman Eden, juga akan tampak terang mengapa Adam jatuh ke dalam dosa. Tergiur oleh godaan kekuasaan untuk menjadi sama seperti Allah, Hawa tak berpikir panjang untuk membuat sebuah pilihan. Pilihan salah, sependapat dengan setan, untuk mencobai Tuhan yang mulai diragukan sebagai menyimpan rahasia terhadap diri. Tuhan dipandang sebagai tak patut untuk dipercaya sepenuhnya, Tuhan layak dicurigai. Sikap tak beriman itu menguat muncul ke permukaan. Seharusnya Hawa percaya sepenuhnya kepada TUHAN Allah, tak boleh meragukan-Nya, apalagi mengkhianati-Nya. Namun atas nama kekuasaan, persamaan hak, bahkan menyamai Allah sepenuhnya, Hawa meragukan Allah, tidak percaya dan tentu saja menjadi tidak setia. Di sisi lain, Adam setali tiga uang dengan Hawa. Pura-pura tak tahu, tidak mau tahu, Adam memanfaatkan tawaran Hawa. Seakan sekadar mengikuti tawaran Hawa, Adam sejatinya melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai pemimpin yang membuat keputusan. Adam juga meragukan Allah.

Tidak percaya, tidak setia, mendominasi pemberontakan di Eden. Tidak beriman kepada TUHAN Allah, itu yang terjadi, sehingga sukses pada pihak setan. Ya, beriman yang benar kepada Tuhan adalah kemenangan sejati, sementara meragukan-Nya adalah sebuah dosa yang mengerikan. Kurang percaya, tidak beriman, dan, tentu saja tidak setia kepada Allah, itulah tragedi Taman Eden yang harus dibayar mahal oleh Yesus Kristus. Manusia tak pernah mungkin untuk membayarnya. Ketidakberimanan telah menjadi malapetaka yang tidak terselesaikan, dan titik kehancuran kemanusiaan yang menjadi kerusakan tak terperbaiki.

Dari Taman Eden, kita meluncur ke Getsemani. Peristiwa terbalik akan segera tampak nyata, senyata mata memandang raga. Di sana, di pergumulan yang mencekam, di kesendirian karena yang lain terlalu sibuk dengan keasyikan diri. Keringat bagai darah yang mengalir kencang, padahal hawa malam terasa dingin, dan sangat menggoda tubuh untuk rebah dan lelap. Di situasi itulah Yesus Kristus bergumul atas pilihan: setia atau tidak setia, pada tugas yang diemban-Nya. Di atas, berbagai argumentasi yang kuat, Yesus tak membuat pilihan yang menguntungkan diri, melainkan sikap beriman sepenuhnya kepada Bapa di surga. DIA harus menyelesaikan semuanya, sekalipun nyawa tak bersalah, tak berdosa, yang menjadi taruhannya. Yesus setia, ekspresi iman yang luar biasa. Dalam keberiman yang benar, dikembalikannya segala keputusan pada ketetapan Allah Bapa. Iman yang benar membawa Yesus menyelesaikan semuanya di kayu salib.

“Sudah selesai”, itulah buah iman yang tampak nyata. Sebuah pengorbanan yang mungkin, hanya karena iman yang benar. Taman Getsemani adalah gema kemenangan, sementara Golgota, menjadi tempat pembuktian. Tapi Ttaman Eden menjadi bukti kegagalan, kehancuran, karena ketidakberimanan. Iman yang benar bukan sebuah kemustahilan, bahkan keharusan yang dimiliki umat yang percaya. Iman yang benar sudah seharusnya mendominasi setiap pilihan dan tindakan orang percaya. Taman Eden dan Getsemani adalah sebuah kontras dalam keberimanan. Di keseharian kehidupan dunia masa kini, yang semakin menggila dalam haus kekuasaan dan kepuasan yang tak bertepi, umat dituntut hati-hati. Keberanian bersikap, tak gila kuasa, apalagi dahaga kepuasaan diri, perlu diterapkan dalam disiplin yang tinggi.

Kuasa masih tetap menggoda, banyak orang terjebak di sana, termasuk petinggi agama. Demi kursi kekuasaan yang lebih empuk dan besar, kependetaan bahkan seringkali dikorbankan. Arena politik kini jadi trend keterlibatan para pendeta, dan batas batas pilihan etis semakin menipis. Sementara dari sisi aktivis, uang dipakai jadi alat “menguasai gereja”. Siapa yang banyak uang boleh banyak bicara, bahkan mengatur gereja. Belum lagi “nyanyian kepuasan diri” yang tak pernah usai. Kehidupan ala selebritis terus semakin menjadi atas nama berkat ilahi. Masihkah akan ditemui iman yang benar di muka bumi ini? Sebuah tanya serius yang sangat menggugat. Tapi satu yang pasti, iman yang benar pasti melahirkan buah yang benar. Buah yang mungkin dan mudah dikenali, terukur dan teruji. “Kamu adalah garam dan terang dunia,” itu kata Yesus. Semoga di penghujung jaman ini iman yang benar semakin muncul ke permukaan, mewarnai dunia. Semangat Taman Getsemani seharusnya subur di kehidupan umat. Semangat untuk percaya dan setia pada perintah-perintah Allah. Sehingga sekalipun tiupan godaan menerpa dengan keras, umat tetap bertahan.

Namun awas, jangan terjebak pada debat kusir yang miskin aksi. Tapi mari beraksi dengan iman yang sehat. Jika kemiskinan tak kunjung menurun, jika tangisan tak berkurang, jika iri hati meninggi, dan pertikaian semakin nyata. Jika kegilaan pada kekuasaan tak terkendali, jika intan permata jadi harga diri, jika kepongahan mewarnai hari-hari kehidupan, bisakah dikatakan iman yang benar itu hidup, dan terus menggeliat? Ahh……tampaknya umat harus selalu bercermin pada kenyataan, agar tak sekadar berteriak, “kami beriman”. Apalagi karena sekadar sebuah kesembuhan, dan menempatkan diri sebagai agen Tuhan. Ingat Matius 7: 21-23, melakukan kehendak Tuhan tak akan tertolak, melakukan mukjizat banyak yang tak diterima Tuhan Yesus, bahkan disebut penjahat.

Semoga Anda dan saya tak dihardik karena beriman salah, tapi sebaliknya, kita disambut dalam kehangatn kasih surga karena beriman yang benar. Selamat jujur menilai diri, selamat berani bercermin pada kebenaran ilahi. Anda adalah pemenang karena beriman yang benar.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer