HUKUMAN mati terhadap Tibo dkk, yang dituduh sebagai dalang kasus Poso sudah dilaksanakan. Sikap pro dan kontra segera menggelinding, bahkan jauh sebelum eksekusi dilaksanakan. Ada banyak nada penyesalan, mengingat bukti yang diajukan dalam persidangan dianggap tidak terlalu kuat untuk sebuah vonis hukuman mati. Belum lagi nama yang diajukan Tibo dkk, yang ditengarai sebagai pemain utama, tidak diperiksa intensif. Bahkan Brigjen (Pol) Oegroseno, yang mencoba membuka kasus ini, akhirnya lengser dari kursi Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng).
Sekali lagi, muncul berbagai reaksi dan argumentasi. Namun seperti biasa, yang kuat selalu menang. Siapa yang kuat? Entahlah, karena seperti biasa pula selalu “tak terlihat” sekalipun selalu “terbaca”. Sementara, para pemain kakap, yang korup dan memiskinkan rakyat, tak tersentuh, bahkan sering kali bebas murni. Belum lagi rentetan kasus judi, narkoba, yang penuh hawa panas. Banyak orang mengeluh bahwa keadilan sangat mahal di negeri ini. Sementara aparat penegak hukum selalu yakin telah menegakkan supremasi hukum. Tapi kok kenyataannya lain?
Sekarang kembali ke hukuman mati. Apakah hukuman mati itu diperbolehkan? Dalam hal ini perlu sikap yang konsisten, artinya, kita tidak boleh setuju hanya karena si terpidana orang yang kita benci. Atau sebaliknya, kita menolak karena faktor kedekatan emosi. Lalu, apa kata Alkitab? Dalam Perjanjian Lama (PL), hukuman mati itu diatur dengan jelas, mulai dari yang teologis hingga teknis hukumnya. Secara teologis tampak jelas ada hukuman mati dari ucapan Tuhan kepada Adam, agar tidak memakan buah yang ada di tengah taman, karena jika dilanggar hukumannya mati (Kej 2:16-17).
Lalu dalam Kej 9: 6, juga tersirat dengan jelas, “darah ganti darah” (baca: nyawa ganti nyawa). Kemudian secara teknis hukum, juga diatur dalam Kel 21:12-36, yaitu hukuman mati bagi yang sengaja membunuh, dan bagi yang tidak sengaja membunuh diatur secara tersendiri dengan adanya kota perlindungan (Bil 35:10-34). Mengapa ada hukuman mati dalam PL? Yang pertama, adalah sebagai konsekuensi kejatuhan manusia ke dalam dosa, di mana kematian menjadi bagian yang tidak terhindarkan oleh manusia (Kej 3). Kedua, merupakan proteksi Allah terhadap manusia dari kesemena-menaan manusia lainnya.
Ketiga, menekankan bahwa kematian adalah hak Allah semata, bukan manusia. Hukuman mati dibuat agar manusia menghargai kehidupan, dan tidak menganggap rendah nilai kehidupan. Juga agar menjunjung tinggi kekudusan. Dalam PL bukan hanya kasus pembunuhan yang dihukum mati, tetapi juga kasus penyembahan arwah (berhala), perjinahan, dan lainnya (Im 20: 1-27). Sementara dalam Perjanjian Baru (PB), tidak ada pengaturan khusus tentang hukuman mati. Munculnya kata hukuman mati seperti dalam Mat 15:4, Rom 1:32, lebih mengacu pada apa yang diatur dalam PL, dan juga lebih sebagai sebuah pembanding, bukan pelaksanaan.
Dalam PB, Yesus dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan yang direkayasa (Mat 27: 11-26). Sebaliknya Yesus sendiri menolong seorang wanita yang hendak dihukum mati karena kasus jinah (Yoh 8: 4-5, band Im 20:10). Jika melihat PL secara bebas, maka ada banyak kasus mengapa seseorang dihukum mati. Dalam konteks kekinian, seseorang hanya dihukum mati karena kasus pembunuhan berencana dan sadis. Tidak ada orang dihukum mati karena menyembah arwah atau berjinah. Artinya, jika pelaksanaan hukuman mati dikaitkan dengan Alkitab, maka terasa dipaksakan (hanya yang tertentu), tidak menyeluruh sebagaimana diatur oleh PL itu sendiri. Di Amerika yang masih menerapkan hukuman mati atas kasus pembunuhan, di sisi lain memberi kebebasan warganya memilih agama, termasuk menyembah arwah. Begitu juga kumpul kebo, homoseks, termasuk aborsi.
Jadi, ditilik dari PL, terasa tidak konsisten, karena seharusnya kasus yang terakhir juga harus dijatuhi hukuman mati. Yesus datang memang bukan untuk meniadakan Taurat, sebaliknya justru menggenapinya (Mat 5:17). Dalam penggenapan ini Yesus berkata dalam Matius 5: 21-47: PL, siapa yang membunuh harus dibunuh (hukuman mati), tetapi dalam semangat PB justru yang ditekankan adalah pengampunan yang bertanggung jawab (bukan asal-asalan). Mengapa? Harus dipahami dalam PL hukuman mati diatur begitu tegas sebagai wujud akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, dan manusia adalah objek yang harus menanggung hukuman dosa itu. Keberdosaan yang mengakibatkan ketidakberdayaan manusia sebagai gambar yang rusak. Dalam PB, Yesus datang sebagai penebus dosa yang menanggung semua akibat dari dosa dengan kematian-Nya di kayu salib (I Kor 15: 21-22, Rom 5: 6-11, I Pet 2: 24, dll).
Yesus memulihkan gambar yang rusak itu (Ef 5: 21-24). Jadi, sebagai ciptaan yang baru, sudah seharusnya kita mengemban semangat yang baru, yaitu semangat yang menghidupkan, lewat pengampunan. Namun ini jangan disalahartikan sebagai kasih yang mengabaikan hukum. Hukum tanpa kasih itu kejam, namun kasih tanpa hukum adalah liar, tidak bertanggung jawab.
Nah, dalam penegakan hukum sudah seharusnya umat sepakat menolak hukuman mati. Argumentasi bahwa orang akan makin berani melanggar hukum jika tidak ada hukuman mati, tidaklah tepat. Orang berani melanggar hukum bukan karena tidak adanya hukum mati, melainkan lemahnya model hidup benar. Dunia yang semakin kacau dan korup merangsang bertumbuhnya kejahatan. Di sisi lain peran penjara sebagai lembaga pemasyarakatan, yang mendidik (iman, moral, ilmu), menyadarkan dan memasyarakatkan para napi agar menjadi masyarakat yang baik, ternyata sering kali menjadi tempat belajar kejahatan, transaksi kebebasan yang menciptakan keberanian untuk semakin jahat.
Jadi, bukan soal adanya hukuman mati atau tidak. Para penggeliat HAM merasa bahwa hukuman mati sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak hidup. Bagaimana mungkin hak berpendapat diperjuangkan, namun hak hidup justru terabaikan. Bahwa korban sudah jatuh, itu fakta, maka penjara adalah tempat penyesalan. Hukuman mati justru mempersingkat sekaligus mempermudah, dan meloloskan terdakwa dari hukuman rasa bersalah, dari gugatan hati nurani yang justru merupakan hukuman terberat. Kebebasan, yaitu hidup yang diberi Tuhan, dirampas manusia atas nama hukum. Mengapa tak tersedia ruang perenungan, untuk menyadari kesalahan dan menebusnya dari balik terali besi? Mengapa harus timah panas yang berbicara?
Kembali kepada Alkitab, maka sudah seharusnya ini menjadi perhatian dan tindakan yang tuntas, tak sekadar wacana diskusi yang tidak berujung. Apa yang terjadi dalam penjara harus lebih diperhatikan, dimanusiawikan, dan dijadikan tempat membangun kesempatan untuk sadar dan hidup benar. Kalaupun seorang terpidana harus mati, biarlah yang berhak mengambil nyawa mengesekusinya, yaitu Tuhan. Masak iya Tuhan kehilangan kendali atas hidup manusia, atau lalai menegakkan kebenaran dan keadilan. Semoga kita semakin dewasa memahami dan menghargai nilai hidup. Bagi yang mencabut nyawa, sadarlah, Anda tak berhak untuk itu dengan alasan apa pun. Mengatasnamakan hukum pun tak cukup untuk menghabisi hidup seseorang. Akhirnya selamat bebas yang bertanggung jawab, bukan yang kebablasan.
Sekali lagi, muncul berbagai reaksi dan argumentasi. Namun seperti biasa, yang kuat selalu menang. Siapa yang kuat? Entahlah, karena seperti biasa pula selalu “tak terlihat” sekalipun selalu “terbaca”. Sementara, para pemain kakap, yang korup dan memiskinkan rakyat, tak tersentuh, bahkan sering kali bebas murni. Belum lagi rentetan kasus judi, narkoba, yang penuh hawa panas. Banyak orang mengeluh bahwa keadilan sangat mahal di negeri ini. Sementara aparat penegak hukum selalu yakin telah menegakkan supremasi hukum. Tapi kok kenyataannya lain?
Sekarang kembali ke hukuman mati. Apakah hukuman mati itu diperbolehkan? Dalam hal ini perlu sikap yang konsisten, artinya, kita tidak boleh setuju hanya karena si terpidana orang yang kita benci. Atau sebaliknya, kita menolak karena faktor kedekatan emosi. Lalu, apa kata Alkitab? Dalam Perjanjian Lama (PL), hukuman mati itu diatur dengan jelas, mulai dari yang teologis hingga teknis hukumnya. Secara teologis tampak jelas ada hukuman mati dari ucapan Tuhan kepada Adam, agar tidak memakan buah yang ada di tengah taman, karena jika dilanggar hukumannya mati (Kej 2:16-17).
Lalu dalam Kej 9: 6, juga tersirat dengan jelas, “darah ganti darah” (baca: nyawa ganti nyawa). Kemudian secara teknis hukum, juga diatur dalam Kel 21:12-36, yaitu hukuman mati bagi yang sengaja membunuh, dan bagi yang tidak sengaja membunuh diatur secara tersendiri dengan adanya kota perlindungan (Bil 35:10-34). Mengapa ada hukuman mati dalam PL? Yang pertama, adalah sebagai konsekuensi kejatuhan manusia ke dalam dosa, di mana kematian menjadi bagian yang tidak terhindarkan oleh manusia (Kej 3). Kedua, merupakan proteksi Allah terhadap manusia dari kesemena-menaan manusia lainnya.
Ketiga, menekankan bahwa kematian adalah hak Allah semata, bukan manusia. Hukuman mati dibuat agar manusia menghargai kehidupan, dan tidak menganggap rendah nilai kehidupan. Juga agar menjunjung tinggi kekudusan. Dalam PL bukan hanya kasus pembunuhan yang dihukum mati, tetapi juga kasus penyembahan arwah (berhala), perjinahan, dan lainnya (Im 20: 1-27). Sementara dalam Perjanjian Baru (PB), tidak ada pengaturan khusus tentang hukuman mati. Munculnya kata hukuman mati seperti dalam Mat 15:4, Rom 1:32, lebih mengacu pada apa yang diatur dalam PL, dan juga lebih sebagai sebuah pembanding, bukan pelaksanaan.
Dalam PB, Yesus dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan yang direkayasa (Mat 27: 11-26). Sebaliknya Yesus sendiri menolong seorang wanita yang hendak dihukum mati karena kasus jinah (Yoh 8: 4-5, band Im 20:10). Jika melihat PL secara bebas, maka ada banyak kasus mengapa seseorang dihukum mati. Dalam konteks kekinian, seseorang hanya dihukum mati karena kasus pembunuhan berencana dan sadis. Tidak ada orang dihukum mati karena menyembah arwah atau berjinah. Artinya, jika pelaksanaan hukuman mati dikaitkan dengan Alkitab, maka terasa dipaksakan (hanya yang tertentu), tidak menyeluruh sebagaimana diatur oleh PL itu sendiri. Di Amerika yang masih menerapkan hukuman mati atas kasus pembunuhan, di sisi lain memberi kebebasan warganya memilih agama, termasuk menyembah arwah. Begitu juga kumpul kebo, homoseks, termasuk aborsi.
Jadi, ditilik dari PL, terasa tidak konsisten, karena seharusnya kasus yang terakhir juga harus dijatuhi hukuman mati. Yesus datang memang bukan untuk meniadakan Taurat, sebaliknya justru menggenapinya (Mat 5:17). Dalam penggenapan ini Yesus berkata dalam Matius 5: 21-47: PL, siapa yang membunuh harus dibunuh (hukuman mati), tetapi dalam semangat PB justru yang ditekankan adalah pengampunan yang bertanggung jawab (bukan asal-asalan). Mengapa? Harus dipahami dalam PL hukuman mati diatur begitu tegas sebagai wujud akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, dan manusia adalah objek yang harus menanggung hukuman dosa itu. Keberdosaan yang mengakibatkan ketidakberdayaan manusia sebagai gambar yang rusak. Dalam PB, Yesus datang sebagai penebus dosa yang menanggung semua akibat dari dosa dengan kematian-Nya di kayu salib (I Kor 15: 21-22, Rom 5: 6-11, I Pet 2: 24, dll).
Yesus memulihkan gambar yang rusak itu (Ef 5: 21-24). Jadi, sebagai ciptaan yang baru, sudah seharusnya kita mengemban semangat yang baru, yaitu semangat yang menghidupkan, lewat pengampunan. Namun ini jangan disalahartikan sebagai kasih yang mengabaikan hukum. Hukum tanpa kasih itu kejam, namun kasih tanpa hukum adalah liar, tidak bertanggung jawab.
Nah, dalam penegakan hukum sudah seharusnya umat sepakat menolak hukuman mati. Argumentasi bahwa orang akan makin berani melanggar hukum jika tidak ada hukuman mati, tidaklah tepat. Orang berani melanggar hukum bukan karena tidak adanya hukum mati, melainkan lemahnya model hidup benar. Dunia yang semakin kacau dan korup merangsang bertumbuhnya kejahatan. Di sisi lain peran penjara sebagai lembaga pemasyarakatan, yang mendidik (iman, moral, ilmu), menyadarkan dan memasyarakatkan para napi agar menjadi masyarakat yang baik, ternyata sering kali menjadi tempat belajar kejahatan, transaksi kebebasan yang menciptakan keberanian untuk semakin jahat.
Jadi, bukan soal adanya hukuman mati atau tidak. Para penggeliat HAM merasa bahwa hukuman mati sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak hidup. Bagaimana mungkin hak berpendapat diperjuangkan, namun hak hidup justru terabaikan. Bahwa korban sudah jatuh, itu fakta, maka penjara adalah tempat penyesalan. Hukuman mati justru mempersingkat sekaligus mempermudah, dan meloloskan terdakwa dari hukuman rasa bersalah, dari gugatan hati nurani yang justru merupakan hukuman terberat. Kebebasan, yaitu hidup yang diberi Tuhan, dirampas manusia atas nama hukum. Mengapa tak tersedia ruang perenungan, untuk menyadari kesalahan dan menebusnya dari balik terali besi? Mengapa harus timah panas yang berbicara?
Kembali kepada Alkitab, maka sudah seharusnya ini menjadi perhatian dan tindakan yang tuntas, tak sekadar wacana diskusi yang tidak berujung. Apa yang terjadi dalam penjara harus lebih diperhatikan, dimanusiawikan, dan dijadikan tempat membangun kesempatan untuk sadar dan hidup benar. Kalaupun seorang terpidana harus mati, biarlah yang berhak mengambil nyawa mengesekusinya, yaitu Tuhan. Masak iya Tuhan kehilangan kendali atas hidup manusia, atau lalai menegakkan kebenaran dan keadilan. Semoga kita semakin dewasa memahami dan menghargai nilai hidup. Bagi yang mencabut nyawa, sadarlah, Anda tak berhak untuk itu dengan alasan apa pun. Mengatasnamakan hukum pun tak cukup untuk menghabisi hidup seseorang. Akhirnya selamat bebas yang bertanggung jawab, bukan yang kebablasan.
0 comments:
Post a Comment