JUDUL ini bukanlah judul keputusasaan, atau ketidakmampuan untuk menikmati hidup, melainkan sebuah judul yang sangat realistis, yang terinspirasi dari kitab Pengkhotbah. Kitab yang memuat banyak kata “sia-sia” ini, seringkali disalah mengerti sebagai kitab yang pesimis. “Negative thinking,” kata penggemar kata positive thingking. Padahal, kitab ini sangat realistis dan selalu aktual.
Dalam Pengkhotbah 4: 2 dikatakan, “Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia daripada orang orang hidup yang sekarang masih hidup”. Di ayat 1, Pengkhotbah melukiskan kehidupan dalam dua sisi, yaitu, penindas dan yang ditindas. Pada yang ditindas tak ada penghiburan, namun itu tidak berarti sang penindas penuh kesukaan dan bebas dari kegelisahan. Suasana itu segera terlihat pada ayat 2, di mana Pengkhotbah mengatakan, “bahwa kematian ternyata lebih baik dari kehidupan”. Artinya, baik penindas maupun yang ditindas, sama “merindukan” kematian. Yang ditindas memang mengalami kesakitan, namun yang menindas juga memiliki ketakutan terhadap kemungkinan perlawanan dari yang ditindas.
Posisi hanyalah sebuah perbedaan semu, namun ketakutan mewarnai semuanya. Tak satu pun manusia di muka bumi ini yang bebas dari rasa takut. Semua manusia sama dilanda rasa takut, sedih, kecewa dan tertekan. Suasana hidup bagaikan babak demi babak berbeda yang harus dimainkan. Dan peran, tidak bisa dipilih sesuai selera sendiri. Jika babak kemiskinan yang diperankan, maka kelaparan jadi bagian yang dijalani. Sebaliknya, jika peran kaya yang dimainkan, maka stres, sebagai konsekuensi, datang tak terhindarkan. Sekali lagi, itu berarti, tiap peran yang berbeda kontras, sama memiliki risiko yang menakutkan.
Jika demikian, apa keunggulan kehidupan? Pengkhotbah dengan tegas mengatakan kesia-siaan. Ya, sia-sia, karena apa pun posisinya sama kepahitannya. Jika demikian untuk apa hidup? Pengkhotbah, dengan segera menjelaskan, tak ada yang bisa diharapkan. Karena pada akhirnya, setiap manusia membutuhkan kebahagiaan yang tidak pernah bisa dipenuhinya. Merindukan ketenangan yang tidak pernah seutuhnya didapatkan. Manusia coba berjuang, namun termakan waktu, dan, ujungnya hanyalah kematian. Entah kapan perjuangan dimulai, dan diakhiri, tapi yang pasti, tak terasa maut mendekati, dan sekejap, sepertinya sangat singkat, semua berakhir.
Jika demikian, sekali lagi, apa itu hidup? Tidak pasti, itulah kenyataannya. Yang pasti, hanyalah ketidakpastian belaka. Yang tidak berubah, hanyalah perubahan saja. Tidak ada yang abadi, tujuan hidup hanya semu, hasil imajinasi yang tidak pernah dicapai. Dokter yang menolong orang sakit hingga sembuh, ternyata mengalami sakit pada dirinya sendiri. Konsultan keuangan, ternyata bukan penghasil uang. Penceramah keluarga, tak lolos dari masalah keluarga.
Singkatnya, apa yang dilakukan manusia ternyata tak bisa dimiliki atau dinikmati pada waktu yang sama. Tragisnya, yang menikmati justru orang di luar dirinya. Sementara yang menikmati, hanyalah menikmati tanpa pernah memiliki, sesaat dan tidak abadi, karena memang bukan miliknya. Ironis, jika hidup diamati dengan cermat dan serius, karena bagaikan dagelan yang tidak lucu, musik klasik yang tidak agung dan anggun. Ya, semuanya tertelan misteri makna. Pada akhirnya, hidup manusia hanyalah sebuah kejar-kejaran, tanpa pernah jelas, siapa yang mengejar, dan siapa yang dikejar. Hidup menjadi sebuah aktivitas yang tak pernah berakhir. Dan kejar-mengejar yang tidak jelas, itulah yang disebut kehidupan.
Sungguh melelahkan, dan tidak menyenangkan. Apalagi di sisi lainnya, yakni saling menghabisi, saling meniadakan. Betapa mengerikan, tapi itu kenyataan. Siapa pun tidak ingin di sana, siapa pun ingin lepas dari sana, namun apa daya, semua harus menunggu, sampai maut menjemputnya. Namun, maut pun tidak bisa dipesan kapan akan datang. Maut datang sesukanya, karena itu, sejatinya orang yang dijemput maut adalah bahagia, karena lepas dari jepitan hidup yang tidak berujung. Kejar-mengejar segera usai, kelegaan tiba, karena lepas dari tarik-menarik hidup yang panjang.
Nah, dari lukisan sang Pengkhotbah, segera kita memahami, betapa betulnya pengamatan Pengkhotbah atas hidup manusia, bahwa lebih bahagia mati daripada hidup. Ini bukan sebuah pendapat pesimis, bahkan sebaliknya, sangat realistis. Hidup sudah pasti penuh dengan berbagai persoalan yang tidak kunjung usai, sementara mati, sudah pasti bebas, karena tak lagi merasakan apa pun. Namun, jangan buru-buru ingin mati dulu. Karena dalam kematian pun ternyata masih tersisa misteri: apa dan bagaimana?
Memang pasti, kematian adalah jalan kebebasan dari persoalan kehidupan. Pasti tak lagi ada kesusahan, tertindas, atau, tak lagi perlu menindas. Ini adalah sebuah common grace. Jika demikian, bagaimana solusi yang pas? Kematian memang adalah pintu kebebasan dari pertarungan kehidupan. Namun, kematian memerlukan jaminan kepastian, bahwa kematian itu sendiri jalan keluar abadi, dan bukan sekadar sebuah pengalihan atau pergantian persoalan. Tepat sekali, ketika Pengkhotbah menutup pengamatannya dengan mengatakan, bahwa, takut akan Tuhan adalah jaminan di dalam kematian (Pengkhotbah 12:13-14).
Lalu bagaimana hidup? Ya, hidup juga hanya bermakna jika di dalam DIA. Jika demikian, apakah lagi yang ditakutkan tentang kematian? Tak ada, itulah seharusnya. Karena kematian bukan saja kebebasan dari kehidupan, tapi jalan kekekalan yang membahagiakan. Namun, takutlah mati jika Anda tidak takut akan Tuhan. Semoga, Anda dan saya, adalah Kristen sejati yang tak lagi takut mati, tapi takut pada Tuhan. Yang tidak sekadar mencari apalagi mengumbar kesembuhan dari sakit, melainkan mencari Tuhan, dan menyerahkan diri. Selamat bercanda dengan kematian, selamat menempuh kebebasan di dalam Tuhan. Selamat tidak takut lagi mati.
Dalam Pengkhotbah 4: 2 dikatakan, “Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia daripada orang orang hidup yang sekarang masih hidup”. Di ayat 1, Pengkhotbah melukiskan kehidupan dalam dua sisi, yaitu, penindas dan yang ditindas. Pada yang ditindas tak ada penghiburan, namun itu tidak berarti sang penindas penuh kesukaan dan bebas dari kegelisahan. Suasana itu segera terlihat pada ayat 2, di mana Pengkhotbah mengatakan, “bahwa kematian ternyata lebih baik dari kehidupan”. Artinya, baik penindas maupun yang ditindas, sama “merindukan” kematian. Yang ditindas memang mengalami kesakitan, namun yang menindas juga memiliki ketakutan terhadap kemungkinan perlawanan dari yang ditindas.
Posisi hanyalah sebuah perbedaan semu, namun ketakutan mewarnai semuanya. Tak satu pun manusia di muka bumi ini yang bebas dari rasa takut. Semua manusia sama dilanda rasa takut, sedih, kecewa dan tertekan. Suasana hidup bagaikan babak demi babak berbeda yang harus dimainkan. Dan peran, tidak bisa dipilih sesuai selera sendiri. Jika babak kemiskinan yang diperankan, maka kelaparan jadi bagian yang dijalani. Sebaliknya, jika peran kaya yang dimainkan, maka stres, sebagai konsekuensi, datang tak terhindarkan. Sekali lagi, itu berarti, tiap peran yang berbeda kontras, sama memiliki risiko yang menakutkan.
Jika demikian, apa keunggulan kehidupan? Pengkhotbah dengan tegas mengatakan kesia-siaan. Ya, sia-sia, karena apa pun posisinya sama kepahitannya. Jika demikian untuk apa hidup? Pengkhotbah, dengan segera menjelaskan, tak ada yang bisa diharapkan. Karena pada akhirnya, setiap manusia membutuhkan kebahagiaan yang tidak pernah bisa dipenuhinya. Merindukan ketenangan yang tidak pernah seutuhnya didapatkan. Manusia coba berjuang, namun termakan waktu, dan, ujungnya hanyalah kematian. Entah kapan perjuangan dimulai, dan diakhiri, tapi yang pasti, tak terasa maut mendekati, dan sekejap, sepertinya sangat singkat, semua berakhir.
Jika demikian, sekali lagi, apa itu hidup? Tidak pasti, itulah kenyataannya. Yang pasti, hanyalah ketidakpastian belaka. Yang tidak berubah, hanyalah perubahan saja. Tidak ada yang abadi, tujuan hidup hanya semu, hasil imajinasi yang tidak pernah dicapai. Dokter yang menolong orang sakit hingga sembuh, ternyata mengalami sakit pada dirinya sendiri. Konsultan keuangan, ternyata bukan penghasil uang. Penceramah keluarga, tak lolos dari masalah keluarga.
Singkatnya, apa yang dilakukan manusia ternyata tak bisa dimiliki atau dinikmati pada waktu yang sama. Tragisnya, yang menikmati justru orang di luar dirinya. Sementara yang menikmati, hanyalah menikmati tanpa pernah memiliki, sesaat dan tidak abadi, karena memang bukan miliknya. Ironis, jika hidup diamati dengan cermat dan serius, karena bagaikan dagelan yang tidak lucu, musik klasik yang tidak agung dan anggun. Ya, semuanya tertelan misteri makna. Pada akhirnya, hidup manusia hanyalah sebuah kejar-kejaran, tanpa pernah jelas, siapa yang mengejar, dan siapa yang dikejar. Hidup menjadi sebuah aktivitas yang tak pernah berakhir. Dan kejar-mengejar yang tidak jelas, itulah yang disebut kehidupan.
Sungguh melelahkan, dan tidak menyenangkan. Apalagi di sisi lainnya, yakni saling menghabisi, saling meniadakan. Betapa mengerikan, tapi itu kenyataan. Siapa pun tidak ingin di sana, siapa pun ingin lepas dari sana, namun apa daya, semua harus menunggu, sampai maut menjemputnya. Namun, maut pun tidak bisa dipesan kapan akan datang. Maut datang sesukanya, karena itu, sejatinya orang yang dijemput maut adalah bahagia, karena lepas dari jepitan hidup yang tidak berujung. Kejar-mengejar segera usai, kelegaan tiba, karena lepas dari tarik-menarik hidup yang panjang.
Nah, dari lukisan sang Pengkhotbah, segera kita memahami, betapa betulnya pengamatan Pengkhotbah atas hidup manusia, bahwa lebih bahagia mati daripada hidup. Ini bukan sebuah pendapat pesimis, bahkan sebaliknya, sangat realistis. Hidup sudah pasti penuh dengan berbagai persoalan yang tidak kunjung usai, sementara mati, sudah pasti bebas, karena tak lagi merasakan apa pun. Namun, jangan buru-buru ingin mati dulu. Karena dalam kematian pun ternyata masih tersisa misteri: apa dan bagaimana?
Memang pasti, kematian adalah jalan kebebasan dari persoalan kehidupan. Pasti tak lagi ada kesusahan, tertindas, atau, tak lagi perlu menindas. Ini adalah sebuah common grace. Jika demikian, bagaimana solusi yang pas? Kematian memang adalah pintu kebebasan dari pertarungan kehidupan. Namun, kematian memerlukan jaminan kepastian, bahwa kematian itu sendiri jalan keluar abadi, dan bukan sekadar sebuah pengalihan atau pergantian persoalan. Tepat sekali, ketika Pengkhotbah menutup pengamatannya dengan mengatakan, bahwa, takut akan Tuhan adalah jaminan di dalam kematian (Pengkhotbah 12:13-14).
Lalu bagaimana hidup? Ya, hidup juga hanya bermakna jika di dalam DIA. Jika demikian, apakah lagi yang ditakutkan tentang kematian? Tak ada, itulah seharusnya. Karena kematian bukan saja kebebasan dari kehidupan, tapi jalan kekekalan yang membahagiakan. Namun, takutlah mati jika Anda tidak takut akan Tuhan. Semoga, Anda dan saya, adalah Kristen sejati yang tak lagi takut mati, tapi takut pada Tuhan. Yang tidak sekadar mencari apalagi mengumbar kesembuhan dari sakit, melainkan mencari Tuhan, dan menyerahkan diri. Selamat bercanda dengan kematian, selamat menempuh kebebasan di dalam Tuhan. Selamat tidak takut lagi mati.
0 comments:
Post a Comment