Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Tuesday, October 8, 2013

MANUSIA TAK BERIMAN, APA BISA?

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

SECARA umum, orang beriman selalu dikonotasikan sebagai orang beragama. Yang tak beriman itu tak beragama. Karena itu, mereka yang menyebut diri atau disebut sebagai atheis, atau orang yang tidak percaya adanya Allah sebagai orang tidak beriman. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut iman sebagai kepercayaan yang berkenaan dengan agama. Namun beriman juga disebut sebagai percaya kepada…..(sesuatu, yang bisa dewa, atau kekuatan, ataupun sebuah pemikiran). Jadi, secara filosofis, iman tidak bisa dikerangkeng dalam kurungan agama saja. Iman dengan jelas mewarnai berbagai isme-isme, dan banyak jumlahnya.

Nah, sekarang, mari kita selusuri pemahaman materialisme yang menjadi pijakan bagi mereka yang atheis, khususnya komunis. Dalam paham materialisme, segala sesuatu yang diyakini hanyalah sebagai materi. Apa pun itu, adalah materi, bisa dilihat, bisa diukur, bisa diamati. Tidak ada apa pun yang tak terlihat, karena semuanya hanyalah materi. Dalam paham materialisme, apa yang disebut roh, yang tidak terlihat, sebagai tidak ada. Ini dianggap sebagai omong kosong agama, sebagai pembodohan, karena mengajak manusia memikirkan yang tidak nyata. Materialisme memagari kehidupan hanyalah yang materi, yang kelihatan. Itu sebab dengan tegas penganut paham materialisme akan dengan segera menolak adanya Allah. Allah yang Roh, yang tidak terlihat, bagi materialisme tidak ada, karena tidak terlihat, bukan materi yang nyata.

Nah, materialisme inilah inti dari atheis, sekalipun orang bisa saja menjadi atheis tanpa menerima sepenuhnya pemahaman materialisme. Seseorang bisa saja menjadi atheis yang pasif, karena kekecewaan beragama yang mendalam, atau kecewa berat dengan perilaku pemuka agama yang seringkali berdasamuka. Materialisme tidak percaya Allah itu ada, ini atheis, namun apakah ini berarti tidak beriman. Penganut atheis tidak bisa menyebut diri tidak beriman, tidak percaya. Karena untuk menjadi seorang atheis diperlukan iman yang sangat kuat, beriman bahwa Allah memang tidak ada. Seorang atheis tidak mungkin seorang yang tidak beriman, ini memang sebuah paradoks. Atheis harus percaya bahwa dia percaya tidak ada Allah. Untuk meniadakan Allah, mereka menyebut Allah tidak ada, sebagai perlawanan terhadap agama. Karena jika Allah tidak ada, mengapa harus repot-repot membantah keberadaan Allah? Di sini yang terjadi adalah sebuah ajang adu argumentasi antar-kepercayaan tentang keberadaan Allah, tanpa menyentuh hakekat Allah itu sendiri. Jadi, seorang atheis pun ternyata adalah seorang yang sangat beriman bahwa Allah tidak ada. Artinya, setiap manusia adalah makhluk beriman, dan itu menjadi keunggulannya atas binatang.

Dalam Yohanes 3 dikisahkan pertemuan Yesus dengan seorang ahli Taurat bernama Nikodemus. Sangat menarik ketika Yesus berbicara dengan ilustrasi angin sebagai yang tidak terlihat tapi ada, tak jelas dari mana dan akan ke mana tapi nyata. Seperti itulah karya Allah yang nyata dalam kehidupan manusia. Angin sudah pasti bukan materi, penganut materialisme dengan jelas pasti menyadari hal ini. Seharusnya, kesimpulan segala sesuatu itu materi tak perlu ada. Ada yang bukan materi, bahwa itu sulit dipahami, tidak bisa diterima, namun itu tidak berarti bisa ditiadakan. Paling tidak contoh angin, yang sudah sejak lama ada di Alkitab, dan merupakan contoh yang tidak terbantah. Belum lagi jika membicarakan manusia itu sendiri. Secara fisik tentu saja itu materi yang nyata. Tapi jika berbicara tentang hakekat manusia, apakah hanya yang kelihatan? Bagimana dengan yang tidak kelihatan, seperti pikiran atau lebih jauh lagi perasaan yang bahkan dengan pikiran pun tak mudah untuk dipahami sepenuhnya.

Ketika seseorang jatuh cinta, apakah itu hanya pada yang kelihatan? Pada yang materi saja? Jelas tidak, maka jelas pula bahwa manusia bukan hanya sekadar materi yang kelihatan. Mau tidak mau, dengan kenyataan yang ada, kita harus menerima bahwa manusia itu ada bagian yang kelihatan, namun juga ada yang tidak terlihat. Yang terlihat hanyalah sebuah fenomena, sementara noumena sebagai hakekat terdalam tentu saja tidak terlihat, namun jangan diabaikan, apalagi ditiadakan. Untuk orang yang tidak percaya Allah ada, sejak dulu kala, sebelum lahirnya materialisme, sudah ada. Alkitab menyebut mereka sebagai orang yang bebal, yang busuk dan jijik perbuatannya (Mazmur 14: 1, 53: 2). Dengan percaya Allah tidak ada, maka tidak lagi ada rasa takut membunuh manusia, karena hanya sekadar materi. Toh tidak ada neraka sebagai pusat penghukuman semua dosa di dunia. Sebaliknya juga, dengan tidak percaya Allah ada, maka tidak akan ada jalan pengharapan akan kehidupan yang kekal, di mana surga menanti mereka yang hidup benar, yang beriman benar, kepada Sang Benar, yaitu Yesus Kristus, jalan, kebenaran dan hidup (Yohanes 14: 6).

Jadi, manusia tidak mungkin tidak beriman, semua manusia pasti beriman. Hanya saja, kembali lagi, kepada siapa dia beriman, apa yang menjadi subyek imannya? Apakah dia beriman Allah ada, atau sebaliknya beriman Allah tidak ada? Tapi apa pun itu, yang pasti dia beriman. Memang sulit percaya Allah itu ada, karena DIA mahabesar, tak terbatas, melintasi daya pikir manusia yang terbatas. Namun adalah jauh lebih sulit untuk percaya, bahwa Allah itu tidak ada. Bagaimana menjelaskan realita alam, keteraturan, dan siklus kehidupan. Evolusi ternyata dan terbukti bukan jawaban final. Evolusi hanya menangkap berbagai fenomena kehidupan di alam ini, tapi tak pernah mampu menangkap hakekat kehidupan itu sendiri. Di sisi lain teori evolusi bukan tanpa gugatan, karena adanya kontroversi di sana sini. Evolusi memang menarik karena rekayasa tentang teori kehidupan yang bisa diterima nalar, dan dijadikan agama oleh para kebanyakan saintis. Nalar yang dibentuik sejak awal, dan digiring di jalan evolusi, namun ternyata kegelisahan nurani tak terjawab oleh evolusi.

Sementara agama yang seharusnya juga memberikan penalaran yang baik, ternyata memahami Allah juga sarat dengan emosi mistis, sehingga tak menyumbangkan pemahaman nalar yang sehat. Lihatlah Alkitab, tak pernah gelap mata dalam mewartakan keberagamaan. Dalam Perjanjian Lama (PL), doa Musa di Mazmur 90 atau pergumulan Daud tentang hidup dalam Mazmur 8, merupakan penghayatan tentang misteri kehidupan dan relasi yang utuh antara Allah sang pencipta yang tidak terlihat dengan manusia ciptaannya, terasa sangat mendalam. Begitu juga dengan Paulus dalam apologetikanya di hadapan para rasional Yunani (Kisah Para Rasul 17:16-34). Paulus menggugat konsep beriman orang Yunani dengan penalaran yang kuat dan mengagumkan.

Sejatinya inilah panggilan setiap orang percaya, Allah akan memberikan hikmatnya untuk mempermalukan dunia. Sayangnya banyak orang bersembunyi di balik nama Roh Kudus dengan malas belajar, dan tak siap dikoreksi. Semua yang diucapkannya kata Roh, tak lagi bisa dibantah. Ini merupakan salah satu pemicu tumbuhnya sikap atheis, karena mereka melihat penalaran dalam agama tak nampak jelas. Dengarkanlah tiap kata-kata Yesus Kristus sangat jelas, tak terbantah oleh para ahli Taurat, yang bahkan menjadi jengkel dan menyalibkan Yesus. Bukankah semua Injil itu pengajaran? Dan pelayanan para rasul adalah pengajaran yang disertai berbagai tanda-tanda yang bukan cuma hanya mukjizat, tapi buah hidup yang tak terbantah.

Semua orang pasti beriman, tapi kepada siapa atau dengan kesimpulan apa? Sebuah tanggung jawab bagi orang percaya, untuk menolong umat manusia beriman kepada Allah yang benar, dengan cara yang benar, dalam hidup yang benar. Semoga Anda dan saya terpanggil dan terpakai oleh Allah pencita semesta.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer