Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Tuesday, October 8, 2013

MAUMU ATAU MAUNYA TUHAN

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

SUDAH bukan rahasia lagi, bahwa trend masa kini adalah materi. Ya, segala sesuatu selalu diukur lewat yang satu ini. Dihormati atau tidak, diundang atau tidak, penting atau tidak, itu sangat bergantung Anda kaya atau tidak. Dalam peta kehidupan, di negeri kita dikenal istilah “tiga ta”: tahta, harta dan wanita. Tiga “ta” ini memiliki magnet yang terasa sangat dahsyat, luar biasa. Semua orang, besar atau kecil, pria atau wanita, di kota atau desa, sangat bernafsu untuk memilikinya. Kompetisi tercipta dengan segera untuk mencapai posisi nomor satu. Segala cara segera menjadi halal, tatakrama tak ada di sana, nilai-nilai luhur terpinggirkan. Kejujuran menjadi barang langka, sementara moral merosot tajam. Semua hanya berpikir, bagaimana menjadi yang berkuasa, atau terkaya.

Pada akhirnya, jangankan rasa kebangsaan, rasa kesukuan, bahkan rasa kekeluargaan pun sirna. Saudara sedarah, bisa jadi bersimbah darah, hanya karena perebutan harta warisan: harta yang tak pernah mereka cari, harta yang mereka miliki hanya karena mewarisi dari orang tua. Harta yang seharusnya dijaga dan dipakai bersama, malah berubah menjadi sumber malapetaka, dan nyawa taruhannya. Namun yang paling celaka adalah ketika agama pun segera berubah menjadi pintu masuk ke berhala harta dan kuasa. Atas nama berkat Tuhan, penumpukan harta segera menjadi sah. Ini membuat seorang Kristen atau bahkan pelayan sekalipun mampu berkata, “Tuhan memberkati saya”, namun mereka tak berbagi, sementara terhadap yang miskin dengan enteng mereka berujar, “kurang beriman”, atau bahkan dikutuk Tuhan. Mengerikan, tapi ini memang kenyataan. Iman Kristen telah digeser ke arah yang salah, dan tragisnya, umat justru menikmatinya.

Di situasi seperti ini, lahirlah berbagai ajaran dalam bentuk doa, atau pun persembahan. Ketika memberi persembahan, umat tak lagi menyadari bahwa dia hanya sekadar mengembalikan apa yang Tuhan berikan. Seperti apa yang diajarkan Alkitab, supaya umat belajar memberi dengan kerelaan (Mazmur 54: 8, 2 Korintus 9: 7). Yang memberi dengan kerelaan, di situlah letak nilai pemberian. Karena memberi dengan rela, itu berarti kesadaran yang penuh akan sumber berkat, dan kesadaran untuk memberi, bukan sekadar memiliki.

Nah, memberi sebagai ucapan syukur dan panggilan kristiani, dipelesetkan menjadi tindakan iman. Jika memberi banyak akan dapat banyak, dan tentu saja sebaliknya. Hal-hal yang bernilai rohani dengan serta-merta dijadikan sangat materi. Belum lagi persembahan akan diberkati 30, 60, atau bahkan 100 kali lipat. Yang jelas-jelas berbicara tentang buah (perbuatan atau tindakan iman yang bertumbuh), menjadi kelipatan harta benda (band Matius 13: 1-8). Apakah ini janji Tuhan, atau janji pengkhotbah? Jika Anda teliti menyelidiki Alkitab, dan tak sekadar mendengar dan mengaminkan, maka pasti Anda akan mengerti, bahwa itu mau-maunya manusia, bukan maunya Tuhan. Itu disebut sebagai orang beriman, sungguh menggelikan, karena lebih tepat disebut keserakahan yang dirohanikan. Betapa tidak, karena itu dengan segera mencerminkan ketidakpuasan atas berkat Tuhan. Lihat saja kisah janda miskin dalam Alkitab. Dia sudah memberikan yang terbaik, dan dalam jumlah yang memadai, tapi dia tak menjadi kaya, apalagi sampai berpuluh kali lipat. Tapi yang pasti, Tuhan Yesus memuji tindakannya dalam memberi yang didasarkan pada rasa syukur yang mendalam.

Orang yang tahu bersyukur atas kasih Allah, pasti bukan hanya mau memberi harta, nyawa pun siap dia berikan. Inilah nilai tertinggi dalam memberi, yaitu tak memperhitungkan, bahkan siap kehilangan. Mengapa? Karena orang percaya pasti mengetahui, bahwa yang terbaik, yang terbesar, Tuhan sudah berikan, yaitu hidup-Nya, untuk menebus dosa kita dalam kematian-Nya di kayu salib. Jadi sungguh tidak masuk akal, bahkan keterlaluan, ketika memberi hanya dalam rangka mengharapkan kembalian, bahkan berlipat kali ganda. Ini jelas bukan pemberian, melainkan “pemerasan” kepada Tuhan. Ironis bukan? Tuhan yang penuh kasih, yang rela berkorban, kok malah “diperas”. Akan semakin jelas dan tuntas, jika kita mau mendengarkan apa yang dikatakan penulis Amsal dalam doanya: Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kau tolak sebelum aku mati, yakni, jauhkanlah daripadaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa Tuhan itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku (Amsal 30: 7-9).

Doa ini dengan segera menggugurkan pemelintiran ayat-ayat suci untuk keuntungan diri. Setali tiga uang dengan Perjanjian Lama (PL). Dalam Perjanjian Baru (PB), Tuhan Yesus juga mengajarkan doa yang sangat terkenal, yaitu “Doa Bapa kami”. Bukankah ketika meminta, Yesus mengajar kita untuk berkata, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Ya secukupnya, seperti apa yang Bapa sediakan, bukan seperti apa yang aku minta. Maklum saja, manusia tak pernah puas, tak mengerti arti cukup. Jadi, harus jujur pada Tuhan agar diberi secukupnya. Mengapa? Karena Tuhan tahu apa yang cukup bagi kita, tak berlebihan, agar kita tak serakah.

Inilah yang Tuhan Yesus mau ajarkan, ketika dalam pembukaan “Doa Bapa kami” dikatakan “Jadilah kehendak-Mu di surga seperti di bumi”. Sudah seharusnya seluruh keinginan orang percaya tunduk pada kehendak Allah. Bukan malah sebaliknya, memengaruhi, apalagi mengatur Allah.

Tindakan yang disebut beriman adalah tindakan yang tunduk pada ketetapan Allah, dan menerima apa pun yang akan Allah lakukan atas hidup ini. Bukankah dalam pergumulan di Taman Getsemani Tuhan Yesus berkata kepada Bapa, “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu-lah yang jadi”.

Nah, awas! Jangan bilang doa yang meminta banyak, meminta berlipat-lipat kali, mengumbar seluruh keinginan untuk memiliki apa pun, adalah tanda doa orang yang beriman. Jelas Alkitab berkata sebaliknya, itu hanyalah maumu, nafsu kemanusiaan yang tak pernah cukup. Itu bukan maunya Tuhan, yang sangat menghendaki anak-Nya taat, sepenuhnya dan tentu saja pasrah sepenuhnya. Maumu, atau maunya Tuhan? Adalah pertanyaan yang perlu dipikirkan serius.

Marilah belajar mencintai Tuhan seperti Dia mencintai kita. Dia tak menyayangkan nyawa-Nya, mengapa kita menyayangkan harta? Dia memberi hidup-Nya untuk kita, mengapa kita justru meminta kekayaan ketika percaya pada-Nya? Marilah belajar memberi seperti Dia telah memberi, tanpa berhitung (band.Mazmur 32: 2, Roma 4: 8). Ya Tuhan, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga, jadilah kehendak-Mu bukan kehendak kami, dan ampunilah kami jika selama ini semua hanya maunya kami, bukan mau-Mu.
Selamat menemukan maunya Tuhan, dan melupakan maumu sendiri.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer