Mata Hati kali ini mencoba menyoroti fenomena menarik seputar ‘pasaran caleg’ yang cukup ramai menjelang pemilu tahun 2004 ini. Situasinya ramai bakpasar kaget. Kaget, karena pasar ini ada sekali dalam lima tahun. Mungkin istilah ‘pasar kaget’ cukup mengagetkan bagi mereka yang suka ‘kaget-kagetan’, tapi pasti dimaklumi oleh mereka yang memahami betul makna caleg itu sendiri. Menjamurnya caleg di pasar caleg bisa jadi sebagai antisipasi terhadap keberadaan 24 partai politik (parpol) yang membutuhkan ribuan caleg. Di antara caleg ‘asli’ itu, ternyata banyak caleg ‘jamuran’ untuk menutupi kebutuhan mendesak dari parpol yang tidak terlalu siap, atau yang kaget kok bisa lolos verifikasi. Jadi, dalam kekagetannya mereka mencomot siapa saja yang bisa dicomot. Tanpa terhindari, terjadilah over supplay caleg jamuran. Belum jelas persentasi antara ‘caleg asli’ dan yang ‘jamuran’, tapi secara kasat mata cukup menggelisahkan mereka yang masih punya hati nurani.
Lolosnya parpol dalam proses verifikasi untuk menjadi peserta pemilu, disikapi dengan berbagai komentar. Ada yang bependapat bahwa lolosnya parpol dalam verifikasi kali ini, tentu karena kesiapan, kelihaian pengurus parpol yang bersangkutan. Ada pula yang mengatakan karena faktor uang, faktor kebetulan, keberuntungan atau bahkan keajaiban. Apa pun kata orang, yang jelas sudah muncul 24 parpol dengan labelisasinya masing-masing. Parpol-parpol ini tentu membutuhkan (banyak) caleg. Nah, tingginya kebutuhan akan caleg, khususnya bagi parpol baru, menjadi peluang lahirnya caleg jamuran. Caleg jamuran adalah caleg yang lolos bukan karena seleksi kualifikasi tetapi karena koneksi relasi. Lebih parah lagi apabila caleg yang bersangkutan dicomot hanya untuk memenuhi daftar nama-nama caleg yang akan disodorkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menjamurnya caleg bisa dipahami sebagai realita kebutuhan politis, tetapi keberadaan caleg jamuran adalah realita tragedi. Tragedi, karena jika sedang bernasib baik, para caleg jamuran akan melenggang ke gedung parlemen yang semakin megah itu. Kursi parlemen memang sangat menggiurkan dan menjanjikan, bak gula dikerubungi semut. Pebisnis yang menjadi anggota dewan, usahanya tentu akan semakin lancar. Jika dia pengacara, nada bicaranya makin lantang, dan merasa lebih berkuasa. Jabatan rangkap memang selalu membuat orang makin menggila.
Lalu, bagi caleg jamuran yang cuma ingin cari uang, status sebagai anggota dewan juga cukup menjanjikan. Sebab gaji pokok anggota dewan lumayan besar. Di luar gaji pokok, mereka masih berhak mendapat uang rapat, uang saku, uang dinas dan uang yang peruntukannya ‘aneh-aneh’ seperti uang untuk membeli peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Hanya uang tidur saja yang belum terdengar di sini. Padahal, kalau dipikir-pikir, uang tidur ini perlu juga. Sebab bukankah banyak dari mereka yang sering rapat sambil tiduran?
Uang yang melimpah serta wewenang yang semakin besar dan luarbiasa, adalah perpaduan yang sangat menggiurkan. Maka ‘berbahagialah’ para anggota dewan kita yang memiliki perpaduan itu: harta dan kuasa. Sementara rakyat yang memilih mereka tetap memelas, nestapa luar biasa. Rakyat telah bersusah payah mengantar anggota dewan ke kursinya, tetapi untuk itu rakyat harus kehilangan ‘kursi’nya (baca: hak untuk diperhatikan dan diperjuangkan nasibnya oleh anggota dewan). Sampai di sini rakyat hanya menjadi komoditi.
Tetapi, tentu tidak semua anggota legislatif bermental dan bermoral payah seperti digambarkan di atas. Masih ada anggota dewan yang memiliki hati nurani. Mereka vokal, ‘bernyanyi’ dengan nada murni, bukan kadar imitasi. Bagi yang bernasib sial, nyanyian mereka berakhir di pergantian nada (baca: PAW, pergantian antar waktu ). Di sisi lain, semakin hari semakin panjang pula barisan ‘maling teriak maling’ yang kita sebut sebagai caleg jamuran itu. Jadi, menjamurnya caleg jamuran ini sangat mengkhawatirkan. Sungguh sulit membayangkan perjalanan bangsa ini jika barisan caleg jamuran ini lebih panjang daripada caleg beneran.Tampilnya caleg jamuran, adalah salah satu dosa dari sekian banyak dosa parpol. Dosa itu sudah melekat sewaktu melewati jalan verifikasi, kongkalikong dalam memilih caleg, lalu melakukan kampanye terselubung, hingga komitmen setoran kalau dijadikan caleg. Tiadanya transparansi dalam keuangan juga dosa, lho. Lalu, lidah pun turut berlumur dosa karena dengan mudahnya mengucapkan seribu janji, yang tidak pernah ditepati. Visi mereka mudah berubah sesuai situasi dan kondisi.
Bagi caleg jamuran, janji memang bukan untuk ditepati, sebab itu hanya sekadar komoditi jual-beli. Janji-janji kosong memang masih ampuh, mengingat tingkat pendidikan rakyat terutama di pedesaan masih rendah. Mereka empuk untuk dikibuli. Memanfaatkan kebodohan rakyat sungguh sebuah tindakan pembodohan yang tidak bertanggungjawab, nahkan penyesetan yang tidak termaafkan.
Namun menipisnya kualitas idealisme, semangat nasionalisme dan profesionalisme, membuat mereka tidak menyadari hal itu. Bahkan caleg jamuran malah bisa bangga dengan apa yang mereka lakukan sekalipun itu salah, karena mereka tidak memiliki cukup kesadaran dan pengetahuan bahwa itu salah. Mereka hanya tahu bahwa mereka adalah caleg. Maklum, kesadaran membutuhkan idealisme, nasionalisme dan profesionalisme, dan itu tidak mereka miliki. Jadi caleg jamuran melakukan pembodohan bukan sebagai strategi karena mereka pintar, tetapi lebih karena kebodohan mereka yang tidak mereka sadari. Mereka yang sudah bodoh itu, memanipulasi kebodohan rakyat pula.
Caleg jamuran bermain di areal yang tidak dikenal dan tidak dikuasainya. Sungguh mengerikan ketika seorang caleg jamuran bangga atas kesalahan yang dilakukannya karena ketidaktahuannya dan ketidakmauannya untuk belajar atau minimal mendengar. Amsal 19:3 mengatakan: Kebodohan menyesatkan jalan orang, lalu gusarlah hatinya terhadap Tuhan. Dalam ayat 2, penulis Amsal bahkan berkata: Tanpa pengetahuan, kerajinan pun tidak baik. Coba Anda membayangkan seorang yang sudah tidak berpengetahuan juga tidak rajin. Faktor ketidakrajinan sangat mudah dimonitor dalam absensi para anggota dewan yang banyak bolos. Sedangkan soal berpengetahuan atau tidak, itu tampak pada nilai bicaranya yang cuma NATO (no action talk only). Butuh kejujuran dan keberanian untuk mengakuinya. Tapi soal pengakuan, bangsa kita ini sangat berbakat untuk berkelit. Oh, caleg jamuran, Anda hanya memperpanjang persoalan. Adalah bijak jika Anda menawarkan amanat yang sebenarnya tidak mampu Anda emban itu kepada orang yang mampu sehingga tepat guna, dan bermanfaat bagi rakyat banyak.
Bagaimana dengan tanggungjawab umat Kristen terhadap kenyataan ini, khususnya para caleg yang ada di berbagai partai politik? Kepada Anda yang merasa tersindir Mata Hati, ada baiknya merenung sejenak, melihat diri dan bertanya, “Apakah saya memang layak untuk jadi caleg?” Jika tidak, mundur adalah salah satu pilihan tepat. Atau jika Anda ingin maju terus, berbenah dirilah, agar layak jadi caleg. Karena jika tidak berbenah diri, anda sangat berpotensi menjadi batu sandungan yang mempermalukan ke Kristenan di bumi dimana diskriminasi agama masih terasa. Sementara bagi umat Kristen yang memilih, awas jangan sampai memilih caleg jamuran. Umat dituntut cermat, jangan sampai membuat parlemen kita menjadi jamuran karena terlalu banyak caleg jamuran yang nyasar ke sana. Akhirnya, selamat memilih yang bukan jamuran
0 comments:
Post a Comment