AKHIR-akhir ini fenomena perdukunan dalam keagamaan semakin mencolok. Dengan mudah kita akan menemukannya di berbagai media, cetak dan elektronik. John Naisbith, penulis Megatrend Asia, dalam bukunya mengatakan bahwa milenium ketiga ini akan diwarnai oleh kebangkitan agama. Itu betul, namun bukan hal yang baru. Fenomena ini bergerak bagaikan pendulum yang berbalik arah. Modernisme yang menawarkan keagungan rasio ternyata telah tiba pada titik buntu. Berbagai ketegangan dengan tekanan yang kuat, sangat terasa mendominasi berbagai aspek kehidupan. Bayangkan saja, jika di tahun 80-an di Amerika, satu dari lima belas orang berurusan dengan psikolog hingga psikiater.
Tekanan hidup begitu berat. Rasio ternyata tak mampu menolong. Bergerak dari kenyataan ini, posmodernisme yang sudah lama mengintip (awal abad 19), semakin tampak nyata muncul ke permukaan. Sungguh tak mudah membicarakan pergerakan ini, karena memang ada banyak pendapat tentang hal ini. Namun yang pasti, cara dan orientasi berpikir bergerak dalam perubahan. Di dunia perfilman hal ini tampak nyata. Jika film modern selalu berakhir happy ending, di mana pemeran utama adalah simbol manusia sukses yang tidak pernah gagal, maka di film postmodern yang ditawarkan adalah ketidakpastian. Never ending, itu semangatnya. Lihat saja film Jurassik Park atau Godzilla, binatangnya sudah mati, tapi film diakhiri dengan pesan yang jelas bahwa “ada telur yang tersisa lalu menetas”. Film diakhiri dengan tAnda tanya besar.
Jika dalam modernisme, relativisme menjadi tuan besar, di mana Tuhan digugat dan manusia diangkat sejajar dengan Tuhan, maka di era postmo, nihilisme yang menjadi tuan besar, dan Tuhan malah dikudeta. Semangatnya, bukan saja manusia sejajar, bahkan menggantikan Tuhan. Dalam konteks keagamaan disebut new age movement. Di era ini terjadi sinkretisme besar-besaran dalam berbagai agama. Dalam kekristenan, disusupi oleh berbagai teori motivasi dan juga perdukunan ala Asia. Namun, di kesempatan ini sugesti (teori motivasi) yang akan menjadi perhatian.
Coba perhatikan buku Positive Thinking yang ditulis Norman Vincent. Dengan mudah Anda akan menemukan pembangunan keyakinan diri yang sangat luar biasa. Pertama, percaya diri menjadi tekanan utama. Anda harus percaya pada diri sendiri, bahwa Anda memiliki kemampuan apa pun yang diperlukan. Di sini, percaya dan bergantung kepada Tuhan tidak mempunyai ruang. Namun ini dapat dikamuflase dengan mengatakan bahwa kuasa Allah ada pada diri, sehingga apa pun yang Anda inginkan pasti terwujud. Lalu yang kedua adalah energi. Mirip dengan dunia paranormal, diyakini bahwa tiap orang bisa mendapat energi dengan cara mengulang-ulang kata yang dibutuhkannya. Sebagai orang Kristen Anda akan diminta mengulang-ulang ayat yang menguatkan, maka Anda akan mendapatkan energi itu. Dengan mudah Anda akan melihat hal seperti ini dalam film, di mana mereka yang terkurung dalam ruang yang tak berpintu, akan terus meyakinkan diri bahwa ada jalan keluar. Atau orang yang kebingungan akan berkata, “berpikir, ayo berpikir”, untuk menenangkan dirinya. Ya, tidak sedikit mereka yang membangun keyakinan seperti ini akan mendapatkan kekuatannya. Namun jangan lupa, bahwa Tuhan sangat membenci orang yang berdoa bertele-tele, dan menjadikan doa itu mantera, dengan mengulang-ulang seperti kebiasaan orang kafir (Matius 6: 7).
Kemudian hal ketiga yang diajarkan adalah memvisualisasikan iman. Artinya, Anda harus membayangkan apa yang Anda minta, meyakininya bahwa Anda telah menerimanya. Ayat Alkitab yang mengatakan “jadilah seperti imanmu”, dipelintir. Sehingga tak ada catatan sedikit pun, bahwa yang jadi adalah yang sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendak diri. Dengan jelas Yakobus berkata, “mungkin kamu sudah meminta, namun tidak memperolehnya, karena kamu meminta hanya untuk memuaskan diri sendiri”.
Visualisasi, tak lebih dan tak kurang, hanya sebuah cara memperkuat keinginan dan menciptakan fokus yang menjadi kehendak diri. Mendapatkan, karena hanya itu yang ada di benaknya, yang akan digapainya dengan segala usaha. Untuk ini kita biasa mendengar para pengusaha sukses, yang bukan Kristen, berkata, “Mimpikanlah apa yang kau inginkan, dan gapailah dengan segenap kekuatan, maka kamu akan memperolehnya”. Lalu yang berikutnya adalah mendapatkan pikiran baru. Pikiran baru ini mencuri ayat suci yang berkata, “kita adalah ciptaan baru dengan pikiran yang baru”. Maka tiap orang dianjurkan untuk mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang dinilai negatif. Anda tak boleh berpikir bahwa membuka usaha bisa gagal. Anda harus yakin bahwa ini pasti berhasil. Padahal, kenyataan berusaha itu bisa berhasil, tapi juga bisa gagal. Siapalah di kolong langit ini yang tidak pernah gagal. Dan ternyata, orang yang paling banyak berhasil secara kuantitas justru bukan orang yang beriman sungguh. Yang pasti, mereka yang sukses besar adalah para pekerja keras, yang sudah mengalami jatuh bangun dalam berusaha.
Lalu ada juga doa positif dan yang lainnya. Hakekatnya, ini semua tak lebih dari membangun sebuah sugesti. Berpikir positif menjadi alat mensugesti diri. Untuk itu percaya diri menjadi modal utama. Sementara iman, atau kuasa Tuhan, dijadikan bumbu atau mantera pemanis. Berpikir positif jika rumah atau gereja terbakar. Yaitu, berpikirlah bahwa Tuhan akan membangun yang lebih besar lagi. Padahal dalam kenyataan tak selalu begitu bukan? Bisa saja membangun kembali, namun juga bisa tidak akan terbangun. Dan tidak ada yang salah di sana. Dalam sejarah gereja, ternyata gereja berkembang justru saat tertekan berat. Andaikan saja, setiap orang Kristen mencintai Allah lebih dari segalanya pasti mereka akan menaklukkan diri pada kehendak Allah. Sayang manusia sangat mencintai dirinya, sehingga memanipulasi ayat suci hanya untuk kepentingan diri.
Yesus dengan jelas dan tegas mengatakan, “Sangkal dirimu, pikul salibmu, dan ikutlah Aku”. Jelas di sana bukan tentang diri sendiri, bahkan meniadakan diri (Luk 9: 23, band Gal 2: 20). Inilah Kristen sejati. Sugesti yang terdapat dalam ajaran non-Kristen, khususnya dalam dunia dagang, telah merasuk kepada banyak pola berimanan umat. Lihat saja, dengan mudah kita akan mendengar iklan: “Anda bisa”, atau “Apa pun yang kamu mau kamu bisa”. Mengapa beberapa orang bisa? Jawabannya sederhana saja, karena mereka fokus dan kerja keras. Tapi yang lebih penting, berapa banyak yang tidak bisa? Sayang tak ada kejujuran dalam kegagalan ini, maklum membicarakan itu dipandang negatif, sekalipun sangat benar dan realistis. Andai saja semudah itu sukses, maka pasti semua orang akan sukses. Ternyata sugesti tak mengubah apa pun, tapi yang pasti membuat banyak orang menjadi pemimpi, yang tidak lagi realistis menghadapi hidup. Semua hanya menang dalam angan-angan. Seperti dalam dunia motivator. Yang hebat sang motivator dalam memotivasi orang menjual barang, padahal dia sendiri tak terbukti sebagai penjual hebat, kecuali menjual kata-katanya. Artinya yang sukses karena memang pekerja andal. Motivasi hanyalah pemicu belaka, bukan kekuatan utama.
Akankah orang Kristen memakai nama Yesus untuk kepentingan diri saja? Ingatlah apa kata Matius 7: 21-23 “Tidak setiap orang yang menyebut Tuhan-Tuhan akan masuk surga, melainkan mereka yang melakukan kehendak Bapa. Bahkan yang bernubuat, mengusir setan dan membuat mujijat dalam nama Yesus, disebut penjahat oleh Yesus”. Mengapa? Karena mereka telah memanipulasi iman yang sejati untuk kepentingan diri sendiri, bahkan dengan menjual nama Yesus. Ah, sugesti.
Tekanan hidup begitu berat. Rasio ternyata tak mampu menolong. Bergerak dari kenyataan ini, posmodernisme yang sudah lama mengintip (awal abad 19), semakin tampak nyata muncul ke permukaan. Sungguh tak mudah membicarakan pergerakan ini, karena memang ada banyak pendapat tentang hal ini. Namun yang pasti, cara dan orientasi berpikir bergerak dalam perubahan. Di dunia perfilman hal ini tampak nyata. Jika film modern selalu berakhir happy ending, di mana pemeran utama adalah simbol manusia sukses yang tidak pernah gagal, maka di film postmodern yang ditawarkan adalah ketidakpastian. Never ending, itu semangatnya. Lihat saja film Jurassik Park atau Godzilla, binatangnya sudah mati, tapi film diakhiri dengan pesan yang jelas bahwa “ada telur yang tersisa lalu menetas”. Film diakhiri dengan tAnda tanya besar.
Jika dalam modernisme, relativisme menjadi tuan besar, di mana Tuhan digugat dan manusia diangkat sejajar dengan Tuhan, maka di era postmo, nihilisme yang menjadi tuan besar, dan Tuhan malah dikudeta. Semangatnya, bukan saja manusia sejajar, bahkan menggantikan Tuhan. Dalam konteks keagamaan disebut new age movement. Di era ini terjadi sinkretisme besar-besaran dalam berbagai agama. Dalam kekristenan, disusupi oleh berbagai teori motivasi dan juga perdukunan ala Asia. Namun, di kesempatan ini sugesti (teori motivasi) yang akan menjadi perhatian.
Coba perhatikan buku Positive Thinking yang ditulis Norman Vincent. Dengan mudah Anda akan menemukan pembangunan keyakinan diri yang sangat luar biasa. Pertama, percaya diri menjadi tekanan utama. Anda harus percaya pada diri sendiri, bahwa Anda memiliki kemampuan apa pun yang diperlukan. Di sini, percaya dan bergantung kepada Tuhan tidak mempunyai ruang. Namun ini dapat dikamuflase dengan mengatakan bahwa kuasa Allah ada pada diri, sehingga apa pun yang Anda inginkan pasti terwujud. Lalu yang kedua adalah energi. Mirip dengan dunia paranormal, diyakini bahwa tiap orang bisa mendapat energi dengan cara mengulang-ulang kata yang dibutuhkannya. Sebagai orang Kristen Anda akan diminta mengulang-ulang ayat yang menguatkan, maka Anda akan mendapatkan energi itu. Dengan mudah Anda akan melihat hal seperti ini dalam film, di mana mereka yang terkurung dalam ruang yang tak berpintu, akan terus meyakinkan diri bahwa ada jalan keluar. Atau orang yang kebingungan akan berkata, “berpikir, ayo berpikir”, untuk menenangkan dirinya. Ya, tidak sedikit mereka yang membangun keyakinan seperti ini akan mendapatkan kekuatannya. Namun jangan lupa, bahwa Tuhan sangat membenci orang yang berdoa bertele-tele, dan menjadikan doa itu mantera, dengan mengulang-ulang seperti kebiasaan orang kafir (Matius 6: 7).
Kemudian hal ketiga yang diajarkan adalah memvisualisasikan iman. Artinya, Anda harus membayangkan apa yang Anda minta, meyakininya bahwa Anda telah menerimanya. Ayat Alkitab yang mengatakan “jadilah seperti imanmu”, dipelintir. Sehingga tak ada catatan sedikit pun, bahwa yang jadi adalah yang sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendak diri. Dengan jelas Yakobus berkata, “mungkin kamu sudah meminta, namun tidak memperolehnya, karena kamu meminta hanya untuk memuaskan diri sendiri”.
Visualisasi, tak lebih dan tak kurang, hanya sebuah cara memperkuat keinginan dan menciptakan fokus yang menjadi kehendak diri. Mendapatkan, karena hanya itu yang ada di benaknya, yang akan digapainya dengan segala usaha. Untuk ini kita biasa mendengar para pengusaha sukses, yang bukan Kristen, berkata, “Mimpikanlah apa yang kau inginkan, dan gapailah dengan segenap kekuatan, maka kamu akan memperolehnya”. Lalu yang berikutnya adalah mendapatkan pikiran baru. Pikiran baru ini mencuri ayat suci yang berkata, “kita adalah ciptaan baru dengan pikiran yang baru”. Maka tiap orang dianjurkan untuk mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang dinilai negatif. Anda tak boleh berpikir bahwa membuka usaha bisa gagal. Anda harus yakin bahwa ini pasti berhasil. Padahal, kenyataan berusaha itu bisa berhasil, tapi juga bisa gagal. Siapalah di kolong langit ini yang tidak pernah gagal. Dan ternyata, orang yang paling banyak berhasil secara kuantitas justru bukan orang yang beriman sungguh. Yang pasti, mereka yang sukses besar adalah para pekerja keras, yang sudah mengalami jatuh bangun dalam berusaha.
Lalu ada juga doa positif dan yang lainnya. Hakekatnya, ini semua tak lebih dari membangun sebuah sugesti. Berpikir positif menjadi alat mensugesti diri. Untuk itu percaya diri menjadi modal utama. Sementara iman, atau kuasa Tuhan, dijadikan bumbu atau mantera pemanis. Berpikir positif jika rumah atau gereja terbakar. Yaitu, berpikirlah bahwa Tuhan akan membangun yang lebih besar lagi. Padahal dalam kenyataan tak selalu begitu bukan? Bisa saja membangun kembali, namun juga bisa tidak akan terbangun. Dan tidak ada yang salah di sana. Dalam sejarah gereja, ternyata gereja berkembang justru saat tertekan berat. Andaikan saja, setiap orang Kristen mencintai Allah lebih dari segalanya pasti mereka akan menaklukkan diri pada kehendak Allah. Sayang manusia sangat mencintai dirinya, sehingga memanipulasi ayat suci hanya untuk kepentingan diri.
Yesus dengan jelas dan tegas mengatakan, “Sangkal dirimu, pikul salibmu, dan ikutlah Aku”. Jelas di sana bukan tentang diri sendiri, bahkan meniadakan diri (Luk 9: 23, band Gal 2: 20). Inilah Kristen sejati. Sugesti yang terdapat dalam ajaran non-Kristen, khususnya dalam dunia dagang, telah merasuk kepada banyak pola berimanan umat. Lihat saja, dengan mudah kita akan mendengar iklan: “Anda bisa”, atau “Apa pun yang kamu mau kamu bisa”. Mengapa beberapa orang bisa? Jawabannya sederhana saja, karena mereka fokus dan kerja keras. Tapi yang lebih penting, berapa banyak yang tidak bisa? Sayang tak ada kejujuran dalam kegagalan ini, maklum membicarakan itu dipandang negatif, sekalipun sangat benar dan realistis. Andai saja semudah itu sukses, maka pasti semua orang akan sukses. Ternyata sugesti tak mengubah apa pun, tapi yang pasti membuat banyak orang menjadi pemimpi, yang tidak lagi realistis menghadapi hidup. Semua hanya menang dalam angan-angan. Seperti dalam dunia motivator. Yang hebat sang motivator dalam memotivasi orang menjual barang, padahal dia sendiri tak terbukti sebagai penjual hebat, kecuali menjual kata-katanya. Artinya yang sukses karena memang pekerja andal. Motivasi hanyalah pemicu belaka, bukan kekuatan utama.
Akankah orang Kristen memakai nama Yesus untuk kepentingan diri saja? Ingatlah apa kata Matius 7: 21-23 “Tidak setiap orang yang menyebut Tuhan-Tuhan akan masuk surga, melainkan mereka yang melakukan kehendak Bapa. Bahkan yang bernubuat, mengusir setan dan membuat mujijat dalam nama Yesus, disebut penjahat oleh Yesus”. Mengapa? Karena mereka telah memanipulasi iman yang sejati untuk kepentingan diri sendiri, bahkan dengan menjual nama Yesus. Ah, sugesti.
0 comments:
Post a Comment