ADA banyak khotbah provokasi agar umat tak lagi menggunakan otak dalam memahami Alkitab. “Rasio itu membunuh iman,” kilah mereka. Tak jelas apa dan bagaimana bisa terjadi pembunuhan. Tapi yang pasti, itu sangat merendahkan iman, sehingga bisa menjadi korban dari rasio. Ada banyak kesaksian Alkitab tentang pentingnya pengetahuan dalam kehidupan umat. Hanya saja, dalam konteks seperti ini jangan dicampur aduk, antara pengetahuan yang bersifat final dengan teori-teori yang masih menyisakan ruang debat. Alkitab sendiri mengatakan, “Takut akan akan Tuhan adalah permulaan dari pengetahuan” (Amsal 1: 7).
Ternyata, sangat jelas korelasi antara takut akan Tuhan (iman), dengan pengetahuan. Alkitab juga berkata, “Karena iman, kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibrani 11: 3). Dengan terang terlihat, pengetahuan adalah buah dari iman, dan iman adalah sumber dari ilmu. Suka atau tidak, manusia memang harus beriman. Paling tidak, untuk berteori pun seseorang harus percaya bahwa teorinya itu benar (walaupun mungkin salah).
Nah, iman memang menjadi dasar dari segala yang dipercaya, yang dikatakan. Masalah yang mungkin muncul adalah, apakah iman itu benar, sehingga pengetahuan akan berakar pada iman yang benar. Di sinilah muncul perselisihan prasouposisi antara teistik dan ateistik. Namun tulisan ini tak menjelajah ke arena itu, mengingat konsentrasinya pada iman dan pengetahuan dalam konteks Alkitab. Dalam Kejadian 1: 26, dengan jelas Tuhan memberikan mandat pada manusia untuk berkembang biak, dan menguasai Bumi. Apakah manusia bisa menguasai dan mengelola Bumi jika tak berpengetahuan tentang Bumi? Sungguh tidak bisa dinalar, jika Tuhan yang mahatahu memberi mandat yang salah pada manusia, tentang Bumi.
Mandat diberi Tuhan, karena memang Dia menciptakan manusia dengan kemampuan itu. Kenyataan hidup masa kini adalah bukti konkrit yang tak terbantah, bahwa Tuhan yang mahatahu, memberi pengetahuan dan kemampuan mengelola alam semesta kepada manusia. Dari pemberian mandat itu, dengan segera terlihat kapasitas manusia sebagai yang berpengetahuan. Dalam pengetahuannya akan alam semesta, keunikan, keajaiban sistemnya, dan besarnya, membuat manusia selalu teringat akan Sang Penciptanya. Pengetahuan yang benar, akan terus secara kontiniu menolong manusia mensyukuri karya Allah yang besar. Ingat, pengetahuan yang benar, berakar pada iman yang benar. Itu sebab, Amsal mencatat, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan”, mengetahui yang benar, yakni, Allah dan karya-Nya yang ada di dalam kehidupan manusia. Pengetahuan yang tak beroposisi dengan Alkitab, karena memang tak ada yang bertentangan di sana. Yang bertentangan adalah praduga-praduga antara para saintik dan teolog, yang terus perlu diuji dalam perjalanan waktu.
Jadi, dalam keutuhan Alkitab, pengetahuan bukan lawan iman, bahkan sebaliknya, iman akan tuntas dijelaskan dalam pengetahuan. Dalam keberdosaan manusia memang perlu pembersihan terus-menerus, tapi bukan peniadaan, baik pada iman maupun pengetahuan. Dalam konteks Alkitab sendiri, Petrus berkata (2 Petrus 1: 5), “Hendaklah engkau menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan”. Yakobus mengatakan, “Iman tanpa perbuatan mati.” Karena itu iman harus nyata dalam perbuatan bajik. Namun kebajikan tanpa pengetahuan, bisa tersesat, kehilangan arah. Karena itu umat harus menggali pengetahuan akan Firman, sehingga umat tahu mengapa baik, dan bagaimana baik. Di sini pengetahuan akan Firman menjadi terang bagi umat dalam bertindak bijak. Umat akan bertumbuh dalam relasi rohaninya dengan Tuhan dan sesama. Sementara pengetahuan umum, menolong umat mampu mengelola alam semesta sesuai mandat yang diterimanya. Bukan saja soal alam semesta, tapi juga relasi dengan sesama sebagai makhluk sosial.
Dalam memahami diri dan perilaku, umat akan ditolong oleh pengetahuan, psikologi. Psikologi dan sosiologi sebagai sebuah fakta sudah ada sejak manusia ada, namun sebagai ilmu dikembangkan kemudian. Dan kekayaan pengetahuan lainnya, menolong manusia melihat kekayaan karya Allah yang tak bertepi. Pada akhirnya, pengetahuan akan menolong manusia menyadari keterbatasannya akan pengetahuan, karena setiap penemuan justru menyisakan pencarian. Setiap kemajuan teknologi tak pernah final, karena selalu ada dampak yang ditimbulkannya. Pencarian dilanjutkan tanpa mengenal henti, itulah manusia dalam berkarya. Pasti semua akan indah jika manusia berpengetahuan dengan beriman benar, pada Allah sumber kebenaran, yang akan mengajarkan hidup benar, dengan pengetahuan yang benar (bukan saja secara teori tapi esensinya).
Dan tentu saja tak kalah indahnya jika manusia beriman, juga terpanggil berilmu tinggi, dan jeli mengaplikasi imannya ke dalam kenyataan kehidupan yang berpengetahuan. Pertemuan iman dan ilmu adalah sebuah pernikahan akbar, yang indah, dan menyenangkan. Untuk itu, gereja, khususnya para pengkhotbah, digugat agar tak sekadar berkhotbah, asal bicara, tanpa argumentasi yang sehat. Tak bersembunyi di balik kata Tuhan, padahal tak jelas apakah betul Tuhan berkata seperti itu. Atau, ini hanyalah sebuah trik karena malas belajar memahami kehendak Allah secara utuh, sehingga selalu hadir dalam konteks kekinian, dan mampu memberi jawab. “Firman Tuhan pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”, adalah gambaran jelas keunggulan Firman dalam kehidupan manusia, namun para pengkhotbah banyak yang gagal menghadirkannya, atau bahkan membuatnya makin gelap, dan disalahpahami jaman.
Betapa cerdasnya kekristenan karena senantiasa mampu menjawab jaman. Betapa hebat dan menyenangkannya beriman, karena selalu mampu hadir di kenyataan. Betapa terhormatnya orang beriman, karena hadir menyumbangkan pikiran, membantu membereskan persoalan jaman. Dan, itu berarti betapa penting kehadiran orang Kristen di kehidupan ini. Berilmu bukan dosa, bahkan harus. Beriman bukan berarti tak menginjak bumi, bahkan mesti. Beriman sekaligus berilmu itulah Kristen yang sejati. Tentu Anda tak rela jika Yesus disebut bodoh bukan? Lihat saja bagaimana Yesus menjawab jebakan tentang apakah boleh membayar pajak atau tidak. Jawaban-Nya sangat jenius, dan Yesus mampu melepaskan diri dari pertanyaan yang sangat politis itu.
Bagaimana mungkin para pengkhotbah menafikan ilmu? Mari hadir di pernikahan iman dan ilmu, dalam kehidupan dunia, di keseharian kita. Mari menghadirkan iman dalam keilmuan. Yusuf adalah orang beriman, yang berilmu tinggi. Imannya membuat dia selalu menjaga kesucian diri, sementara ilmu menolong dia mampu mengatur logistik hasil panen 7 tahun, untuk mengantisipasi kelaparan 7 tahun kemudian. Musa juga orang beriman yang berilmu tinggi, dan dia dipakai Tuhan memimpin bangsa Israel yang terbilang bebal. Begitu pula Daniel, di pembuangan di Babel, terpakai karena keilmuannya. Paulus menulis surat lebih banyak dari rasul lainnya, sekalipun dia rasul terakhir. Mengapa? Sederhana saja, karena dia yang paling berilmu, sarjana Perjanjian Lama (PL), yang berguru pada guru terkenal, Gamaliel. Ilmunya tak dinafikan, melainkan dikaryakan untuk puji hormat bagi nama Tuhan. Bukankah takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan? Bukankan semua ilmu bersumber dari Tuhan sang pencipta alam semesta berikut sistemnya?
Ternyata, sangat jelas korelasi antara takut akan Tuhan (iman), dengan pengetahuan. Alkitab juga berkata, “Karena iman, kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibrani 11: 3). Dengan terang terlihat, pengetahuan adalah buah dari iman, dan iman adalah sumber dari ilmu. Suka atau tidak, manusia memang harus beriman. Paling tidak, untuk berteori pun seseorang harus percaya bahwa teorinya itu benar (walaupun mungkin salah).
Nah, iman memang menjadi dasar dari segala yang dipercaya, yang dikatakan. Masalah yang mungkin muncul adalah, apakah iman itu benar, sehingga pengetahuan akan berakar pada iman yang benar. Di sinilah muncul perselisihan prasouposisi antara teistik dan ateistik. Namun tulisan ini tak menjelajah ke arena itu, mengingat konsentrasinya pada iman dan pengetahuan dalam konteks Alkitab. Dalam Kejadian 1: 26, dengan jelas Tuhan memberikan mandat pada manusia untuk berkembang biak, dan menguasai Bumi. Apakah manusia bisa menguasai dan mengelola Bumi jika tak berpengetahuan tentang Bumi? Sungguh tidak bisa dinalar, jika Tuhan yang mahatahu memberi mandat yang salah pada manusia, tentang Bumi.
Mandat diberi Tuhan, karena memang Dia menciptakan manusia dengan kemampuan itu. Kenyataan hidup masa kini adalah bukti konkrit yang tak terbantah, bahwa Tuhan yang mahatahu, memberi pengetahuan dan kemampuan mengelola alam semesta kepada manusia. Dari pemberian mandat itu, dengan segera terlihat kapasitas manusia sebagai yang berpengetahuan. Dalam pengetahuannya akan alam semesta, keunikan, keajaiban sistemnya, dan besarnya, membuat manusia selalu teringat akan Sang Penciptanya. Pengetahuan yang benar, akan terus secara kontiniu menolong manusia mensyukuri karya Allah yang besar. Ingat, pengetahuan yang benar, berakar pada iman yang benar. Itu sebab, Amsal mencatat, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan”, mengetahui yang benar, yakni, Allah dan karya-Nya yang ada di dalam kehidupan manusia. Pengetahuan yang tak beroposisi dengan Alkitab, karena memang tak ada yang bertentangan di sana. Yang bertentangan adalah praduga-praduga antara para saintik dan teolog, yang terus perlu diuji dalam perjalanan waktu.
Jadi, dalam keutuhan Alkitab, pengetahuan bukan lawan iman, bahkan sebaliknya, iman akan tuntas dijelaskan dalam pengetahuan. Dalam keberdosaan manusia memang perlu pembersihan terus-menerus, tapi bukan peniadaan, baik pada iman maupun pengetahuan. Dalam konteks Alkitab sendiri, Petrus berkata (2 Petrus 1: 5), “Hendaklah engkau menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan”. Yakobus mengatakan, “Iman tanpa perbuatan mati.” Karena itu iman harus nyata dalam perbuatan bajik. Namun kebajikan tanpa pengetahuan, bisa tersesat, kehilangan arah. Karena itu umat harus menggali pengetahuan akan Firman, sehingga umat tahu mengapa baik, dan bagaimana baik. Di sini pengetahuan akan Firman menjadi terang bagi umat dalam bertindak bijak. Umat akan bertumbuh dalam relasi rohaninya dengan Tuhan dan sesama. Sementara pengetahuan umum, menolong umat mampu mengelola alam semesta sesuai mandat yang diterimanya. Bukan saja soal alam semesta, tapi juga relasi dengan sesama sebagai makhluk sosial.
Dalam memahami diri dan perilaku, umat akan ditolong oleh pengetahuan, psikologi. Psikologi dan sosiologi sebagai sebuah fakta sudah ada sejak manusia ada, namun sebagai ilmu dikembangkan kemudian. Dan kekayaan pengetahuan lainnya, menolong manusia melihat kekayaan karya Allah yang tak bertepi. Pada akhirnya, pengetahuan akan menolong manusia menyadari keterbatasannya akan pengetahuan, karena setiap penemuan justru menyisakan pencarian. Setiap kemajuan teknologi tak pernah final, karena selalu ada dampak yang ditimbulkannya. Pencarian dilanjutkan tanpa mengenal henti, itulah manusia dalam berkarya. Pasti semua akan indah jika manusia berpengetahuan dengan beriman benar, pada Allah sumber kebenaran, yang akan mengajarkan hidup benar, dengan pengetahuan yang benar (bukan saja secara teori tapi esensinya).
Dan tentu saja tak kalah indahnya jika manusia beriman, juga terpanggil berilmu tinggi, dan jeli mengaplikasi imannya ke dalam kenyataan kehidupan yang berpengetahuan. Pertemuan iman dan ilmu adalah sebuah pernikahan akbar, yang indah, dan menyenangkan. Untuk itu, gereja, khususnya para pengkhotbah, digugat agar tak sekadar berkhotbah, asal bicara, tanpa argumentasi yang sehat. Tak bersembunyi di balik kata Tuhan, padahal tak jelas apakah betul Tuhan berkata seperti itu. Atau, ini hanyalah sebuah trik karena malas belajar memahami kehendak Allah secara utuh, sehingga selalu hadir dalam konteks kekinian, dan mampu memberi jawab. “Firman Tuhan pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”, adalah gambaran jelas keunggulan Firman dalam kehidupan manusia, namun para pengkhotbah banyak yang gagal menghadirkannya, atau bahkan membuatnya makin gelap, dan disalahpahami jaman.
Betapa cerdasnya kekristenan karena senantiasa mampu menjawab jaman. Betapa hebat dan menyenangkannya beriman, karena selalu mampu hadir di kenyataan. Betapa terhormatnya orang beriman, karena hadir menyumbangkan pikiran, membantu membereskan persoalan jaman. Dan, itu berarti betapa penting kehadiran orang Kristen di kehidupan ini. Berilmu bukan dosa, bahkan harus. Beriman bukan berarti tak menginjak bumi, bahkan mesti. Beriman sekaligus berilmu itulah Kristen yang sejati. Tentu Anda tak rela jika Yesus disebut bodoh bukan? Lihat saja bagaimana Yesus menjawab jebakan tentang apakah boleh membayar pajak atau tidak. Jawaban-Nya sangat jenius, dan Yesus mampu melepaskan diri dari pertanyaan yang sangat politis itu.
Bagaimana mungkin para pengkhotbah menafikan ilmu? Mari hadir di pernikahan iman dan ilmu, dalam kehidupan dunia, di keseharian kita. Mari menghadirkan iman dalam keilmuan. Yusuf adalah orang beriman, yang berilmu tinggi. Imannya membuat dia selalu menjaga kesucian diri, sementara ilmu menolong dia mampu mengatur logistik hasil panen 7 tahun, untuk mengantisipasi kelaparan 7 tahun kemudian. Musa juga orang beriman yang berilmu tinggi, dan dia dipakai Tuhan memimpin bangsa Israel yang terbilang bebal. Begitu pula Daniel, di pembuangan di Babel, terpakai karena keilmuannya. Paulus menulis surat lebih banyak dari rasul lainnya, sekalipun dia rasul terakhir. Mengapa? Sederhana saja, karena dia yang paling berilmu, sarjana Perjanjian Lama (PL), yang berguru pada guru terkenal, Gamaliel. Ilmunya tak dinafikan, melainkan dikaryakan untuk puji hormat bagi nama Tuhan. Bukankah takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan? Bukankan semua ilmu bersumber dari Tuhan sang pencipta alam semesta berikut sistemnya?
0 comments:
Post a Comment