Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Monday, October 7, 2013

KAMU BEBAS, LALU AKU?

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

KEBEBASAN ternyata tak selalu berakhir dalam nada yang sama, dalam arti sama-sama bebas. Ada pergulatan yang serius terjadi: bebas di kamu, lalu di aku? Mengapa bisa begitu? Karena untuk kebebasan seseorang ternyata ada kebebasan orang lain yang harus dikorbankan. Kenyataan ini penting untuk dijadikan renungan, agar kebebasan yang diperjuangkan tidak menjadi tuan baru yang menuntut korban yang panjang.

Tahun 2000, sebuah harian Ibu Kota memberitakan tentang sepasang homo (gay) dari Eropa hijrah ke Amerika yang lebih liberal dalam gaya hidup dan berbagai hal lainnya. Pasangan homo ini memilih tinggal di sebuah negara bagian negeri Paman Sam itu. Kemudian mereka mengajukan permohonan untuk diijinkan mempunyai anak sendiri. Pasangan homo mau punya anak sendiri? Mungkin dahi Anda segera mengkerut mendengar hasrat mereka ini. Tapi itulah kenyataannya. Idenya sederhana saja: sperma mereka berdua akan dibuahkan dalam proses bayi tabung, sementara untuk sel telur mereka mencari donor. Wow, entah ini “ide gila atau jenius”, tapi yang pasti, keinginan mereka terpenuhi atas nama hak asasi. Pasangan ini memang sungguh jeli dalam memilih negara bagian yang super liberal dan tentu saja pemimpin negara bagian yang juga liberal, yang tidak disebutkan namanya.

Hasilnya, “mengagumkan” , pasangan ini memiliki sepasang anak kembar. Dan yang lebih “mengagumkan” lagi adalah, opa dan oma kedua cucu kembar ini datang dengan penuh kegembiraan. Pasangan homo dan keluarganya sangat bergembira. Bagi pasangan homo itu, kegembiraan mereka tentu saja karena keinginan mereka dipenuhi, yang berarti kebebasan mereka atas pilihannya dihargai. Sekalipun tidak lazim, mereka telah mendapatkannya. Sementara, sang opa dan oma tentu saja bergembira karena memiliki cucu, sekalipun anak mereka adalah pasangan homo. Dan, harap maklum sang opa dan oma kebetulan pula adalah penjunjung tinggi kebebasan.

Sekali lagi, semua bergembira, merayakan hari kebebasan yang luar biasa itu. Namun, ini bukan tanpa masalah. Di kebebasan pasangan homo ini, ternyata ada yang tidak bebas, yang tidak dimintai pendapatnya, bahkan dipaksa untuk menerima realita. Yang tidak bebas bahkan dipaksa untuk menerima—termasuk—kedua bayi tersebut. Mereka tak pernah ditanya, apakah bersedia punya “papa dan mama” yang homo? Apakah mereka (si kembar) bergembira seperti opa dan oma si penjunjung tinggi kebebasan itu? Pemerintah negara bagian, juga tak pernah bertanya tentang hak mereka. Tragis, ironis, kebebasan kedua bayi itu untuk memilih jalan hidupnya, justru digilas habis, oleh “papa dan mama”, opa dan oma, pemerintah negara bagian, yang membuat “keputusan tak lazim” atas nama kebebasan.

Lalu, apa yang namanya kebebasan? Apakah bebas untuk mendapat kebebasan seseorang, maka orang lain diambil kebebasannya? Kebebasan dengan menindas kebebasan lainnya, bukankah ini tragedi kebebasan yang memilukan? Sampai di sini, apakah akan dikatakan, bahwa: anak kecil itu, masih kecil, bayi, jadi dia tidak punya hak, karena menyerahkan haknya (sekalipun dia tak pernah melakukannya) kepada “orangtuanya” yang bebas?

Jika begitu, maka hak asasi berarti tidak asasi, tidak melekat pada diri seseorang sebagaimana didengungkan, melainkan situasional. Dan, manusia, bisa jadi tidak manusia, karena tergantung usianya. Jika ini yang dimaksud dengan hak asasi manusia (HAM), betapa mengerikannya sosok HAM itu. HAM, yang seharusnya memanusiakan manusia, malah sebaliknya menelan anaknya sendiri. Ini, adalah sebuah contoh nyata, contoh yang tak terbantah, namun juga, itu tak berarti alasan untuk menolak HAM mentah-mentah, tapi, cukup beralasan, untuk merumuskan kembali HAM itu. Bagaimanapun, manusia perlu mawas diri, agar tak merakit robot monster yang bernama HAM, yang tak bisa dikendalikan oleh manusia itu sendiri.

HAM adalah ide mulia jika berada di rel keterbatasannya, dan ini berarti sebuah paradoks. Sebuah realita hanya bisa dipahami seutuhnya, apabila manusia belajar realita di, dan, dari Taman Eden. Realita kejatuhan ke dalam dosa, yang telah mengakibatkan kekacauan sistem relasi: relasi antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan ciptaan lainnya, khususnya di konteks manusia dengan manusia.

Dalam Kejadian 3: 12 terukir kisah saling menyalahkan dan berebut kebenaran diri (baca: kebebasan dari kesalahan). Adam tak rela menerima tanggung jawab dan melemparnya ke Hawa, sementara Hawa melemparnya ke ular, si setan tua itu. Sejak itu, manusia kehilangan keserasian relasinya, keindahan kebebasannya sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia tak akan mampu lagi berbagi kebebasan dengan adil, sama-sama bebas, kecuali manusia memilih hidup tanpa aturan. Namun jangan lupa, hidup tanpa aturan adalah dunia binatang, bukan dunia manusia. Dan jika merusaknya, itu hanya menunjukkan manusia tidak mampu memahami kebebasan yang sejati.

Di sinilah perpektif kristiani memberi pencerahan, sinar pengharapan, untuk menggapai kesejatian kebebasan, yaitu dalam penebusan Kristus. Penebusan yang membebaskan manusia dari kekacauan sistem, dengan me-reset manusia kepada citra awal sebagai gambar dan rupa Allah (Efesus 4:17-32). Manusia lama (berdosa dan tidak bisa tidak berdosa), ditebus menjadi manusia baru (dibenarkan, dan bisa tidak berdosa), di-reset. Seperti remote control atau komputer yang bisa mengalami kekacauan, di-reset agar kembali pada posisi semula, menjadi benar. Sehingga, relasi antar-manusia tampak nyata nilai estetikanya dan agung nilainya. Di sana, kebebasan akan ditemukan, namun kebebasan yang bertanggungjawab, yang berani terikat pada kebenaran.

Oh, alangkah indahnya kebersamaan dalam kebebasan yang tertib (Mazmur 133). Selamat mencari kebebasan kita, bukan kebebasanmu, ataupun kebebasanku belaka. Temukan kebesan itu di dalam DIA.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer