KISAH Abraham, adalah kisah beriman yang sangat luar biasa. Bersedia untuk terus berpindah tempat dalam rangka menaati kehendak Allah, punya keunikan tersendiri. Ibrani 11: 8 mencatat, Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tuju. Abraham tak mendebat Allah, tentang tempat yang ia tuju. Abraham juga tak mengarang kisah beriman, dengan argumentasi bahwa Allah membuka semua rahasia bagi orang percaya. Ya, seperti kebanyakan oknum pengkhotbah masa kini, yang seringkali sulit dibedakan dengan peramal, karena selalu mengaku serba tahu semuanya. Peramal yang buka tempat praktek untuk menjual kebolehannya, laris manis, dan selalu banyak peminat. Peminat yang tak jelas kepercayaannya kepada Allah.
Mereka berkata percaya Allah itu mahabesar, tapi malah memercayakan dirinya kepada manusia yang tak besar, yang sama dengan dirinya sebagai makhluk ciptaan. Peramal, ironisnya tak bisa meramal dirinya sendiri. Peramal yang juga tenggelam dalam perjalanan waktu. Yang meramal tak tahu tentang dirinya sendiri, sementara yang diramal datang memercayakan dirinya. Wow, ironis sekali bukan?
Tapi inilah yang namanya cari makan. Serba aneh, tapi dianggap sah-sah saja. Yang lebih ironis lagi adalah ketika pengkhotbah Kristen juga ikut berpraktek ala paranormal. Yang membuat beda paranormal dengan oknum pendeta adalah “media dan mantera”nya. Jika paranormal memakai media bola dunia atau kartu, dan yang lainnya, maka yang satu ini memakai media minyak, air, atau bahkan salib. Kalau paranormal punya mantera, maka di kalangan Kristen tentu saja doa. Dan sudah pasti, doa itu dalam nama Yesus Kristus, ritualnya pun seakan-akan lebih saleh dari yang umumnya. Dalam konsepnya seakan mereka sangat beriman, dan bisa tahu apa yang akan terjadi besok. Bukan hanya kehidupan seseorang, baik pribadi maupun keluarga, juga termasuk bencana alam sekalipun. Bahkan ada yang merambah hingga ke permasalahan ekonomi, sehingga mereka tahu kurs akan naik atau turun. Kreatif memang cara orang menampilkan diri dalam keagamaan, dan membuat diri “terkenal” dengan sensasi yang diciptakan.
Apakah ada yang percaya? Jawabnya jelas ada, bahkan cukup banyak, yaitu mereka yang memang punya masalah, stres bahkan depresi. Atau, jika dia normal, maka mereka pasti berlatar agama sebelumnya non-Kristen. Sehingga mereka sangat mentah dengan kekristenan, dan tentu saja kental dengan keyakinan sebelumnya. Mereka inilah yang menjadi “korban sukarela” oknum pendeta peramal. Statement mereka: orang percaya pasti tahu masa yang akan datang. Yang tidak tahu pasti bukan orang beriman. Sangat kontras dengan Abraham yang disebut bapa orang beriman, yang selalu taat sekalipun tak tahu akan dibawa ke mana. Dan, itulah kesejatiaan iman, yang percaya bahwa Allah tidak pernah salah memimpin anak-anak-Nya.
Iman membuat kita tenang menghadapi hari esok yang kita tidak tahu pasti, karena pada saat bersamaan, kita tahu sangat pasti bahwa Allah akan memelihara kita senantiasa. Iman itu menembus batas waktu dalam kepastian. Sementara ramalan sepertinya menembus batas waktu namun tidak berada dalam kepastian. Tak pernah bisa tepat seratus persen, sekalipun bisa sangat manipulatif, karena sangat mirip. Memang sangat menggoda untuk dipercaya. Dan, yang lemah imannya, atau yang salah berimannya, karena salah konsep keimanannya, sudah pasti akan terjebak.
Kembali ke Abraham. Dia bukan saja percaya ketika diperintah Allah, sekalipun tak tahu tempat yang dituju. Bahkan, ketika Allah meminta Abraham untuk mempersembahkan Ishak anak tunggalnya, dia tak berbantah dengan Allah. Penuh dengan kebingungan, karena Ishak adalah anak yang dijanjikan Allah. Juga kepedihan, karena Ishak bukan hanya anak satu-satunya, tapi ahli waris dan penerus generasi nama Abraham. Abraham juga penuh dengan kecemasan, karena dia tak membayangkan apa yang akan terjadi dengan Sara istrinya. Abraham tidak menceritakan permintaan Allah ini. Abraham sangat hafal dengan istrinya, dan bisa memahami kalau Sara pasti akan keberatan. Di sisi lain, hati Abraham makin tersayat karena Ishak terus bertanya mana kurban yang akan dipersembahkan. Pertanyaan anak tersayang yang sangat menusuk, juga perintah Allah yang diimani yang sulit dimengerti.
Dalam kebingungan, ketidaktahuan, Abraham tak bertanya pada paranormal, apalagi “oknum pendeta yang tak normal”, alias peramal. Abraham hanya percaya bahwa Allah pasti akan membuat hal yang terbaik, sekalipun dia tidak tahu apa itu. Ya, antara percaya dan keterbatasan rasio memang saling berbenturan. Namun iman yang sejati, memenangkan rasio untuk menerima bahwa dalam ketidaktahuan ada kepastian. Di sini, tahu adalah wilayah rasio, sementara pasti, menjadi wilayah iman. Itu sebab, kembali Ibrani mencatat bahwa: Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak, ia yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan, “Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu”. Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali (Ibrani 11: 17-19).
Kebangkitan, adalah ide yang sangat asing di era Abraham. Ide ini baru familiar bagi orang Farisi di Perjanjian Lama (PL), khususnya setelah kebangkitan Yesus Kristus di Perjanjian Baru (PB). Jauh di belakang, kebangkitan ternyata bisa diimani Abraham. Inilah iman yang menembus batas waktu. Betapa ajaibnya kerja iman. Ingat, Ishak tak pernah mati dan bangkit kembali, tapi Abraham percaya, sekalipun mati bisa dihidupkan. Maka pemahaman iman Abraham meneguhkan dirinya, sekalipun jalan ceritanya berbeda. Karena siapa yang tahu cara kerja Allah, sekalipun tahu Allah akan berkerja.
Inilah iman yang sejati. Jadi bukan yang merasa diberitahu semuanya, dan menjual pengetahuan itu untuk kepentingan diri. Mengetahui dengan tepat apa yang akan Allah kerjakan, sungguh menggelikan. Karena hal itu sama saja merendahkan Allah. Ingat Sadrakh dan kawan-kawan ketika akan dibuang ke lubang api. Dengan gagah mereka berucap, “Allah akan menolong kami dari api itu, namun sekalipun kami mati, Allah tetap Allah”. Wow, iman memang luar biasa, sementara yang menjadikannya komoditas ramalan pasti binasa. Iman memang menembus waktu, tapi itu tak sama dengan kita mengetahui semuanya.
Sekali lagi ingat, kita tak tahu hari esok, tapi tahu yang terbaik yang Allah akan beri. Akhirnya, selamat menjadi Kristen yang sejati, tak terjebak pada ramalan oknum pendeta yang menyebut produknya nubuatan. Yang menyebut Allah membuka rahasia, tapi tak percaya pemeliharaan Allah sebelum mengetahui dan melihatnya. Betullah apa yang disebut Yesus, “Berbahagialah orang yang percaya sekalipun tidak melihat”. Ya itulah iman yang menembus waktu. Selamat mengenali dan menelanjangi oknum pendeta penjaja nubuat.q
Mereka berkata percaya Allah itu mahabesar, tapi malah memercayakan dirinya kepada manusia yang tak besar, yang sama dengan dirinya sebagai makhluk ciptaan. Peramal, ironisnya tak bisa meramal dirinya sendiri. Peramal yang juga tenggelam dalam perjalanan waktu. Yang meramal tak tahu tentang dirinya sendiri, sementara yang diramal datang memercayakan dirinya. Wow, ironis sekali bukan?
Tapi inilah yang namanya cari makan. Serba aneh, tapi dianggap sah-sah saja. Yang lebih ironis lagi adalah ketika pengkhotbah Kristen juga ikut berpraktek ala paranormal. Yang membuat beda paranormal dengan oknum pendeta adalah “media dan mantera”nya. Jika paranormal memakai media bola dunia atau kartu, dan yang lainnya, maka yang satu ini memakai media minyak, air, atau bahkan salib. Kalau paranormal punya mantera, maka di kalangan Kristen tentu saja doa. Dan sudah pasti, doa itu dalam nama Yesus Kristus, ritualnya pun seakan-akan lebih saleh dari yang umumnya. Dalam konsepnya seakan mereka sangat beriman, dan bisa tahu apa yang akan terjadi besok. Bukan hanya kehidupan seseorang, baik pribadi maupun keluarga, juga termasuk bencana alam sekalipun. Bahkan ada yang merambah hingga ke permasalahan ekonomi, sehingga mereka tahu kurs akan naik atau turun. Kreatif memang cara orang menampilkan diri dalam keagamaan, dan membuat diri “terkenal” dengan sensasi yang diciptakan.
Apakah ada yang percaya? Jawabnya jelas ada, bahkan cukup banyak, yaitu mereka yang memang punya masalah, stres bahkan depresi. Atau, jika dia normal, maka mereka pasti berlatar agama sebelumnya non-Kristen. Sehingga mereka sangat mentah dengan kekristenan, dan tentu saja kental dengan keyakinan sebelumnya. Mereka inilah yang menjadi “korban sukarela” oknum pendeta peramal. Statement mereka: orang percaya pasti tahu masa yang akan datang. Yang tidak tahu pasti bukan orang beriman. Sangat kontras dengan Abraham yang disebut bapa orang beriman, yang selalu taat sekalipun tak tahu akan dibawa ke mana. Dan, itulah kesejatiaan iman, yang percaya bahwa Allah tidak pernah salah memimpin anak-anak-Nya.
Iman membuat kita tenang menghadapi hari esok yang kita tidak tahu pasti, karena pada saat bersamaan, kita tahu sangat pasti bahwa Allah akan memelihara kita senantiasa. Iman itu menembus batas waktu dalam kepastian. Sementara ramalan sepertinya menembus batas waktu namun tidak berada dalam kepastian. Tak pernah bisa tepat seratus persen, sekalipun bisa sangat manipulatif, karena sangat mirip. Memang sangat menggoda untuk dipercaya. Dan, yang lemah imannya, atau yang salah berimannya, karena salah konsep keimanannya, sudah pasti akan terjebak.
Kembali ke Abraham. Dia bukan saja percaya ketika diperintah Allah, sekalipun tak tahu tempat yang dituju. Bahkan, ketika Allah meminta Abraham untuk mempersembahkan Ishak anak tunggalnya, dia tak berbantah dengan Allah. Penuh dengan kebingungan, karena Ishak adalah anak yang dijanjikan Allah. Juga kepedihan, karena Ishak bukan hanya anak satu-satunya, tapi ahli waris dan penerus generasi nama Abraham. Abraham juga penuh dengan kecemasan, karena dia tak membayangkan apa yang akan terjadi dengan Sara istrinya. Abraham tidak menceritakan permintaan Allah ini. Abraham sangat hafal dengan istrinya, dan bisa memahami kalau Sara pasti akan keberatan. Di sisi lain, hati Abraham makin tersayat karena Ishak terus bertanya mana kurban yang akan dipersembahkan. Pertanyaan anak tersayang yang sangat menusuk, juga perintah Allah yang diimani yang sulit dimengerti.
Dalam kebingungan, ketidaktahuan, Abraham tak bertanya pada paranormal, apalagi “oknum pendeta yang tak normal”, alias peramal. Abraham hanya percaya bahwa Allah pasti akan membuat hal yang terbaik, sekalipun dia tidak tahu apa itu. Ya, antara percaya dan keterbatasan rasio memang saling berbenturan. Namun iman yang sejati, memenangkan rasio untuk menerima bahwa dalam ketidaktahuan ada kepastian. Di sini, tahu adalah wilayah rasio, sementara pasti, menjadi wilayah iman. Itu sebab, kembali Ibrani mencatat bahwa: Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak, ia yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan, “Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu”. Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali (Ibrani 11: 17-19).
Kebangkitan, adalah ide yang sangat asing di era Abraham. Ide ini baru familiar bagi orang Farisi di Perjanjian Lama (PL), khususnya setelah kebangkitan Yesus Kristus di Perjanjian Baru (PB). Jauh di belakang, kebangkitan ternyata bisa diimani Abraham. Inilah iman yang menembus batas waktu. Betapa ajaibnya kerja iman. Ingat, Ishak tak pernah mati dan bangkit kembali, tapi Abraham percaya, sekalipun mati bisa dihidupkan. Maka pemahaman iman Abraham meneguhkan dirinya, sekalipun jalan ceritanya berbeda. Karena siapa yang tahu cara kerja Allah, sekalipun tahu Allah akan berkerja.
Inilah iman yang sejati. Jadi bukan yang merasa diberitahu semuanya, dan menjual pengetahuan itu untuk kepentingan diri. Mengetahui dengan tepat apa yang akan Allah kerjakan, sungguh menggelikan. Karena hal itu sama saja merendahkan Allah. Ingat Sadrakh dan kawan-kawan ketika akan dibuang ke lubang api. Dengan gagah mereka berucap, “Allah akan menolong kami dari api itu, namun sekalipun kami mati, Allah tetap Allah”. Wow, iman memang luar biasa, sementara yang menjadikannya komoditas ramalan pasti binasa. Iman memang menembus waktu, tapi itu tak sama dengan kita mengetahui semuanya.
Sekali lagi ingat, kita tak tahu hari esok, tapi tahu yang terbaik yang Allah akan beri. Akhirnya, selamat menjadi Kristen yang sejati, tak terjebak pada ramalan oknum pendeta yang menyebut produknya nubuatan. Yang menyebut Allah membuka rahasia, tapi tak percaya pemeliharaan Allah sebelum mengetahui dan melihatnya. Betullah apa yang disebut Yesus, “Berbahagialah orang yang percaya sekalipun tidak melihat”. Ya itulah iman yang menembus waktu. Selamat mengenali dan menelanjangi oknum pendeta penjaja nubuat.q
0 comments:
Post a Comment