MEMBERI dan membeli adalah dua kata, namun punya makna yang sangat berbeda, sekalipun tindakannya sama, yaitu, sama-sama mengeluarkan dana. Memberi, berarti ada pengeluaran dana, namun tanpa menerima apa pun juga. Memberi harus tanpa pamrih, artinya motivasi tulus. Memang tak mudah memberi tanpa pamrih. Memberi menuntut keluhuran budi. Tapi harus diingat, memberi seperti itulah yang Tuhan kehendaki.
Ingat janda miskin dalam cerita Injil (Lukas 21:1-4), dia memberi tanpa memperhitungkan diri, dan banyak orang pasti meremehkan pemberiannya. Maklum, secara kuantitas berapalah yang bisa diberikan oleh seorang janda yang miskin. Namun Yesus memandang dengan cara yang berbeda, Dia melihat jauh ke dalam lubuk hati si janda, motivasi yang murni, rasa syukur yang besar. Jumlah kecil 2 peser yang diberi janda miskin itu menjadi besar secara kualitas, dan tentu saja, juga sangat besar dalam jumlah bagi sang janda yang miskin.
Sementara membeli, mengeluarkan dana untuk mendapatkan sesuatu. Apa pun sesuatu itu, yang pasti ini transaksi. Membeli bisa untuk kepentingan diri, atau bahkan hanya sekadar pemuas nafsu diri, yang seringkali bisa jadi tidak terkendali. Membeli, bagi beberapa orang bahkan bisa jadi “hobi”. Konsumerisme, penyakit membeli yang sangat menakutkan. Mengonsumsi apa saja yang ditawarkan, sekalipun seringkali tidak dibutuhkan. Membeli yang dipajang, bukan karena kebutuhan, melainkan sekadar menyenangkan mata yang tidak pernah puas. Atau, yang lebih menyakitkan, membeli dengan memaksa diri, hanya untuk sebuah gengsi yang tak berarti.
Di Amerika, ternyata banyak pembelanja yang terjerat hutang. Tanpa perhitungan matang, sangat mudah mereka “menggesek” kartu kreditnya, yang dengan segera menjadi kartu macet. Bagi pasangan suami-istri, tak jarang hal itu menjadi awal pertikaian yang berakhir dengan perceraian. Risiko membeli hanya sekadar kepuasan diri bukan kebutuhan utuh.
Nah, bagaimana dengan memberi untuk membeli? Ini adalah sebuah fenomena menarik yang selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Bisa politis, tapi juga rohani, dan yang terakhir ini yang bahaya. Politis? Ya, untuk ini kita sering mendengar istilah money politics. Memberi kepada rakyat miskin, seakan peduli dan penuh perhatian, namun sejatinya, yang mereka harapkan adalah simpati dari rakyat untuk berbaris menjadi pemilih mereka. Sebuah pembodohan yang mengerikan, karena memanfaatkan kemiskinan untuk mendulang keuntungan. Sementara di sisi lain, rakyat miskin perlu uang untuk menyambung hidup. Orang yang seharusnya diberi simpati, dibantu tanpa pamrih, justru dimanfaatkan, ya kemiskinannya, ya ketidaktahuannya, ya keluguannya. Siapa yang memanfaatkannya? Ya mereka yang kaya, yang berpendidikan, dan sekaligus licik dan munafik. Bagi mereka, segala cara adalah sah.
Memberi untuk membeli menjadi alat ampuh, mendapat keuntungan ganda. Untung dari si penerima yang tertipu, untung juga dari rasa terimakasih penerima yang memilih bahkan menyanjung mereka dengan sebutan “tuan baik”. Menarik sekali ketika Alkitab berkata: “Jika engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu (Matius 6:3). Alkitab bukan hanya melarang untuk mengambil keuntungan nilai (uang, suara, dan lain-lain), bahkan kemegahan diri juga dibenci. Jika memberi, cukuplah dengan memberi, tanpa embel-embel lain. Memberilah dengan ucapan syukur karena telah menerima dari Tuhan, dan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memberi kepada mereka yang membutuhkan. Alangkah luhurnya memberi jika yang memberi menyadari nilai memberi itu sendiri.
Kisah tragis memberi telah menimpa Ananias dan Safira (Kisah 5:1-11). Pasangan suami istri yang sehati untuk memberi sekaligus berdusta atas pemberiannya. Mereka memberi dengan harapan tercatat orang yang rohani. Agar tampak penuh rohani mereka mengaku memberi seluruh miliknya, padahal menahan separuhnya. Ya, tampak sangat rohani ketika memberi, namun saat bersamaan sangat busuk di dalam hatinya. Orang yang baik itu, ternyata hanya tampaknya baik, namun penuh selubung motivasi tersembunyi. Ananias memberi untuk pekerjaan rohani dengan hati yang dikuasai iblis. Ironis! Upah “pemberiannya”, Tuhan mencabut nyawanya. Padahal “Ananias” artinya “Tuhan telah mengampuni”. Tragis! Belum usai kekagetan banyak orang, istrinya menyusul dengan kisah dusta yang sama. Soal berdusta, keduanya seia sekata, bekerja sama dengan luar biasa. Hasilnya juga sama, Safira harus digotong ke pekuburan sebagai upah persekongkolannya.
Sulit melukiskan “kemalangan” pasangan ini. Saat itu ketakutan melanda banyak orang. Namun dalam perguliran waktu, kematian tak selalu mengikuti dusta para “pencuri rohani”. Ini yang lebih menakutkan, karena tampaknya Tuhan membiarkan pemberi model ini “sukses”. Kesuksesan demi kesuksesan membuat mereka terlena, dan ketika terjaga ternyata mereka telah berhadapan dengan Sang Suci di pengadilan suci yang tak ada manipulasi. Pengadilan di kekekalan. Tak lagi ada kesempatan untuk pengakuan, kecuali hukuman atas kesuksesan yang telah meraka raih di muka bumi, yakni “memberi untuk membeli”.
Fenomena pemberian terselubung telah melahirkan saingan yang di dunia kejahatan yang dikenal dengan istilah money laundry, maka dalam dunia rohani terlahir dengan nama sin laundry model Ananias. Ini lebih ngeri. Di dunia jahat, berbuat jahat adalah kelaziman. Tapi di dunia rohani, sungguh menyedihkan. Di kehidupan sekarang, terasa semakin tipis beda benar dan salah. Bisnis dirohanikan, rohani dibisniskan. Bisnis dirohanikan, berslogan menegakkan kebenaran, dan semuanya untuk pelayanan, untuk kemuliaan Tuhan. Namun di kenyataan, semua hanya untuk keuntungan diri, memperkaya diri, dan lebih gila lagi menghalalkan segala cara. Memperjualbelikan kata “memberi” untuk membeli, meraup keuntungan.
Bisnis itu sah, tapi merohanikannya untuk mempermudah meraup keuntungan, ini yang masalah. Keuntungan itu sah, tapi jangan dimanipulasi dengan mengatakan “bukan untuk saya”, padahal, “ya, untuk saya”. Memberi untuk membeli, melayani untuk menyiasati keuntungan. Di sisi lain ada rohani yang dibisniskan. Menolong orang miskin, adalah niat yang luhur. Berita ditebar, banyak orang digugah, uang terkumpul. Namun hasil akhir, si miskin tetap miskin, sementara yang mengumpulkan bertambah kaya. Aneh bukan, orang yang katanya berjiwa besar mengumpulkan dana untuk orang miskin, justru menjadi kaya setelah mengurus orang miskin yang tetap miskin.
Ya, nurani semakin miskin, rasa akan takut Tuhan dimanipulasi, karena yang ada hanyalah takut tak berduit. Ada koruptor melakukan sin laundry, dan ada rohaniawan yang menjalankannya. Si koruptor dikorupsi, bukan dia tak tahu bahkan cenderung tak mau tahu, bahkan seringkali sama-sama tahu. Yang penting si koruptor merasa bersih karena telah memberi, sementara si rohaniawan sukses menumpuk materi yang diberi judul “berkat Tuhan”. Sebuah kerja sama menarik dan apik, model Ananias dan Safira. Tidakkah kita bisa belajar, memberi untuk memberi karena Tuhan telah memberi. Atau membeli untuk membeli karena ada kebutuhan inti. Jangan pernah memberi untuk membeli, apalagi sampai sukses besar. Semoga hati nurani masih tersisa dan menyala, menyinari kehidupan yang semakin gelap ini. Selamat memberi yang hanya memberi.
Ingat janda miskin dalam cerita Injil (Lukas 21:1-4), dia memberi tanpa memperhitungkan diri, dan banyak orang pasti meremehkan pemberiannya. Maklum, secara kuantitas berapalah yang bisa diberikan oleh seorang janda yang miskin. Namun Yesus memandang dengan cara yang berbeda, Dia melihat jauh ke dalam lubuk hati si janda, motivasi yang murni, rasa syukur yang besar. Jumlah kecil 2 peser yang diberi janda miskin itu menjadi besar secara kualitas, dan tentu saja, juga sangat besar dalam jumlah bagi sang janda yang miskin.
Sementara membeli, mengeluarkan dana untuk mendapatkan sesuatu. Apa pun sesuatu itu, yang pasti ini transaksi. Membeli bisa untuk kepentingan diri, atau bahkan hanya sekadar pemuas nafsu diri, yang seringkali bisa jadi tidak terkendali. Membeli, bagi beberapa orang bahkan bisa jadi “hobi”. Konsumerisme, penyakit membeli yang sangat menakutkan. Mengonsumsi apa saja yang ditawarkan, sekalipun seringkali tidak dibutuhkan. Membeli yang dipajang, bukan karena kebutuhan, melainkan sekadar menyenangkan mata yang tidak pernah puas. Atau, yang lebih menyakitkan, membeli dengan memaksa diri, hanya untuk sebuah gengsi yang tak berarti.
Di Amerika, ternyata banyak pembelanja yang terjerat hutang. Tanpa perhitungan matang, sangat mudah mereka “menggesek” kartu kreditnya, yang dengan segera menjadi kartu macet. Bagi pasangan suami-istri, tak jarang hal itu menjadi awal pertikaian yang berakhir dengan perceraian. Risiko membeli hanya sekadar kepuasan diri bukan kebutuhan utuh.
Nah, bagaimana dengan memberi untuk membeli? Ini adalah sebuah fenomena menarik yang selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Bisa politis, tapi juga rohani, dan yang terakhir ini yang bahaya. Politis? Ya, untuk ini kita sering mendengar istilah money politics. Memberi kepada rakyat miskin, seakan peduli dan penuh perhatian, namun sejatinya, yang mereka harapkan adalah simpati dari rakyat untuk berbaris menjadi pemilih mereka. Sebuah pembodohan yang mengerikan, karena memanfaatkan kemiskinan untuk mendulang keuntungan. Sementara di sisi lain, rakyat miskin perlu uang untuk menyambung hidup. Orang yang seharusnya diberi simpati, dibantu tanpa pamrih, justru dimanfaatkan, ya kemiskinannya, ya ketidaktahuannya, ya keluguannya. Siapa yang memanfaatkannya? Ya mereka yang kaya, yang berpendidikan, dan sekaligus licik dan munafik. Bagi mereka, segala cara adalah sah.
Memberi untuk membeli menjadi alat ampuh, mendapat keuntungan ganda. Untung dari si penerima yang tertipu, untung juga dari rasa terimakasih penerima yang memilih bahkan menyanjung mereka dengan sebutan “tuan baik”. Menarik sekali ketika Alkitab berkata: “Jika engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu (Matius 6:3). Alkitab bukan hanya melarang untuk mengambil keuntungan nilai (uang, suara, dan lain-lain), bahkan kemegahan diri juga dibenci. Jika memberi, cukuplah dengan memberi, tanpa embel-embel lain. Memberilah dengan ucapan syukur karena telah menerima dari Tuhan, dan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memberi kepada mereka yang membutuhkan. Alangkah luhurnya memberi jika yang memberi menyadari nilai memberi itu sendiri.
Kisah tragis memberi telah menimpa Ananias dan Safira (Kisah 5:1-11). Pasangan suami istri yang sehati untuk memberi sekaligus berdusta atas pemberiannya. Mereka memberi dengan harapan tercatat orang yang rohani. Agar tampak penuh rohani mereka mengaku memberi seluruh miliknya, padahal menahan separuhnya. Ya, tampak sangat rohani ketika memberi, namun saat bersamaan sangat busuk di dalam hatinya. Orang yang baik itu, ternyata hanya tampaknya baik, namun penuh selubung motivasi tersembunyi. Ananias memberi untuk pekerjaan rohani dengan hati yang dikuasai iblis. Ironis! Upah “pemberiannya”, Tuhan mencabut nyawanya. Padahal “Ananias” artinya “Tuhan telah mengampuni”. Tragis! Belum usai kekagetan banyak orang, istrinya menyusul dengan kisah dusta yang sama. Soal berdusta, keduanya seia sekata, bekerja sama dengan luar biasa. Hasilnya juga sama, Safira harus digotong ke pekuburan sebagai upah persekongkolannya.
Sulit melukiskan “kemalangan” pasangan ini. Saat itu ketakutan melanda banyak orang. Namun dalam perguliran waktu, kematian tak selalu mengikuti dusta para “pencuri rohani”. Ini yang lebih menakutkan, karena tampaknya Tuhan membiarkan pemberi model ini “sukses”. Kesuksesan demi kesuksesan membuat mereka terlena, dan ketika terjaga ternyata mereka telah berhadapan dengan Sang Suci di pengadilan suci yang tak ada manipulasi. Pengadilan di kekekalan. Tak lagi ada kesempatan untuk pengakuan, kecuali hukuman atas kesuksesan yang telah meraka raih di muka bumi, yakni “memberi untuk membeli”.
Fenomena pemberian terselubung telah melahirkan saingan yang di dunia kejahatan yang dikenal dengan istilah money laundry, maka dalam dunia rohani terlahir dengan nama sin laundry model Ananias. Ini lebih ngeri. Di dunia jahat, berbuat jahat adalah kelaziman. Tapi di dunia rohani, sungguh menyedihkan. Di kehidupan sekarang, terasa semakin tipis beda benar dan salah. Bisnis dirohanikan, rohani dibisniskan. Bisnis dirohanikan, berslogan menegakkan kebenaran, dan semuanya untuk pelayanan, untuk kemuliaan Tuhan. Namun di kenyataan, semua hanya untuk keuntungan diri, memperkaya diri, dan lebih gila lagi menghalalkan segala cara. Memperjualbelikan kata “memberi” untuk membeli, meraup keuntungan.
Bisnis itu sah, tapi merohanikannya untuk mempermudah meraup keuntungan, ini yang masalah. Keuntungan itu sah, tapi jangan dimanipulasi dengan mengatakan “bukan untuk saya”, padahal, “ya, untuk saya”. Memberi untuk membeli, melayani untuk menyiasati keuntungan. Di sisi lain ada rohani yang dibisniskan. Menolong orang miskin, adalah niat yang luhur. Berita ditebar, banyak orang digugah, uang terkumpul. Namun hasil akhir, si miskin tetap miskin, sementara yang mengumpulkan bertambah kaya. Aneh bukan, orang yang katanya berjiwa besar mengumpulkan dana untuk orang miskin, justru menjadi kaya setelah mengurus orang miskin yang tetap miskin.
Ya, nurani semakin miskin, rasa akan takut Tuhan dimanipulasi, karena yang ada hanyalah takut tak berduit. Ada koruptor melakukan sin laundry, dan ada rohaniawan yang menjalankannya. Si koruptor dikorupsi, bukan dia tak tahu bahkan cenderung tak mau tahu, bahkan seringkali sama-sama tahu. Yang penting si koruptor merasa bersih karena telah memberi, sementara si rohaniawan sukses menumpuk materi yang diberi judul “berkat Tuhan”. Sebuah kerja sama menarik dan apik, model Ananias dan Safira. Tidakkah kita bisa belajar, memberi untuk memberi karena Tuhan telah memberi. Atau membeli untuk membeli karena ada kebutuhan inti. Jangan pernah memberi untuk membeli, apalagi sampai sukses besar. Semoga hati nurani masih tersisa dan menyala, menyinari kehidupan yang semakin gelap ini. Selamat memberi yang hanya memberi.
0 comments:
Post a Comment