Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Tuesday, October 8, 2013

IMAN DAN PENGALAMAN

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

PENGALAMAN dalam beriman kepada Tuhan, banyak dikisahkan dalam Injil. Ada kisah perempuan yang mengalami kesembuhan dari pendarahan yang telah dideritanya selama 12 tahun. Dengan beriman dia memegang jumbai jubah Yesus, dan percaya akan sembuh, dan memang dia sembuh. Juga ada kisah lain seperti pertobatan Zakeus, yang bertemu dengan Yesus dan menjadi percaya. Ya, ada berbagai kisah yang luar biasa di sana. Hal yang sama juga terjadi dalam pelayanan para rasul di kemudian hari. Dan, hal ini juga terus terjadi hingga saat ini.

Pengalaman pertama, pertemuan dengan Tuhan dalam pertobatan seseorang adalah peristiwa terpenting dalam hidup beriman. Pertobatan menjadi kisah yang tak terlupakan, titik balik arah kehidupan, sekaligus menjadi pemacu semangat untuk melayani Tuhan. Kisah pertobatan yang sangat emosional dalam Alkitab adalah pertobatan Paulus. Dalam Kisah Para Rasul 9, Paulus (saat itu bernama Saulus) sedang melakukan perjalan penting bagi kariernya sebagai seorang Yahudi. Dalam perjalanan, murid guru terkenal Gamaliel itu mengalami peristiwa supranatural. Maksud hati ingin menghabisi pengikut Yesus, tapi ia malah “tertangkap” oleh kasih Yesus.

Pertemuannya dengan Yesus yang menyatakan diri secara khusus kepadanya, membawa Paulus pada pertobatan yang sejati. Pengalaman yang luar biasa. Namun, Paulus tak segera menjadi maskot kesaksian yang diundang ke sana ke mari, seperti trend persekutuan atau gereja masa kini. Paulus mengambil waktu jedah, untuk mengasingkan diri di tanah Arab, di daerah padang gurun Transyordan (Galatia 1:17). Barulah setelah itu Paulus memulai pelayanannya sesuai panggilannya. Dalam pelayanan berikutnya, Paulus mengalami banyak sekali pengalaman hebat. Bukan saja bagaimana dia dipakai Tuhan dalam kesembuhan, tetapi juga dalam penderitaan karena pemberitaan Injil (2 Korintus 11: 23-28).

Pengalaman dalam keberimanan kepada Tuhan akan terus terjadi di sepanjang pengabdian kehidupan pelayanan. Pengalaman-pengalaman itu akan semakin mendewasakan iman setiap anak Tuhan. Sungguh tak bisa dibayangkan jika seorang mengaku pengikut Kristus, namun tak mampu mengisahkan pengalamannya bersama Kristus, dengan alasan “saya tidak pernah mengalami apa pun”. Namun, itu tidak berarti orang yang banyak berkisah, pasti mengalami banyak hal bersama Tuhan. Maklum, apa yang dikisahkan belum tentu dialami, sehingga kesaksiannya tak lebih dari sensasi murahan. Sensasi untuk mencari perhatian, dan, “syukur-syukur” jika ada yang percaya, tertipu karena doyan sensasi.

Iman tanpa pengalaman, adalah sebuah kelemahan. Dan, pengalaman tanpa iman, tak lebih dari angan-angan. Orang yang beriman sungguh pasti sarat dengan pengalaman perjalanan iman bersama Tuhan. Tetapi itu tidak indentik dengan kisah satu warna, seperti kesembuhan, dan, kesuksesan belaka. Lihatlah Paulus, dia rasul yang luar biasa. Tetapi pengalaman yang luar biasa justru teraniaya karena kebenaran, namun tetap setia. Kekristenan masa kini semakin melemah, karena menganggap kesaksian adalah mukjizat sembuh atau sukses saja. Tak ada yang bersaksi tentang tantangan, kesulitan, karena tidak ada yang mau berada di sana. Kebanyakan umat hanya senang berada di zona aman saja. Di sisi lain, tidak sedikit orang menjadi pengkhotbah karena kesaksian yang dialami, tanpa mau mendalami konsep iman yang benar. Semua berangkat dan dibangun dari pengalaman belaka. Maka dibangunlah sebuah experience theology: teologi berdasarkan pengalaman, bukan hakekat kebenaran Firman. Ini sangat membahayakan, dan juga sangat merendahkan kekristenan.

Semua orang berlomba menjadi pengkhotbah, dan ayat Alkitab dicomot hanya menjadi pelengkap penderita. Konten dan konteks Alkitab diabaikan. Khotbah akhirnya hanya tentang pengalaman. Pengalaman bersama Tuhan itu penting, tapi bukan yang terpenting. Tiap orang punya pengalaman yang berbeda. Ada yang sakit, berdoa dan sembuh. Tapi ingat, itu tak semua! Ada yang tak sembuh, namun tetap bersyukur, itu pun tak semua. Dan, juga ada yang harus dioperasi, namun berhasil dengan baik, ini juga tidak semua. Yang terpenting adalah Alkitab yang mengajarkan bahwa Tuhan pasti memelihara umat-Nya. Tapi caranya bisa beraneka ragam, masing-masing unik.

Pengalaman umat hanyah salah satunya, dan bukan satu-satunya. Itu sebab bukan yang terpenting, karena yang terpenting, sekali lagi, adalah kebenaran Firman yang digenapi. Namun, juga tak berarti itu ruang untuk bersembunyi, untuk tak bersaksi, tentang pengalaman bersama Tuhan. Alangkah indahnya jika setiap umat belajar secara utuh. Tak besar kepala karena pengalaman spektakuler yang dialaminya, melainkan tetap sadar itu hanyalah salah satu cara Tuhan menyatakan kasihnya, sesuai kebutuhan dan situasi tiap-tiap orang yang memang berbeda. Umat harus terus-menerus menyadari, bahwa Firman Tuhan ada di atas segalanya, bukan memperalatnya. Alangkan indahnya jika setiap pengkhotbah tak sekadar bersakasi tentang pengalamannya bersama Tuhan, melainkan mempersaksikan apa yang Alkitab katakan tentang kebenaran.

Namun, juga perlu dikritisi, agar khotbah tak hanya terjebak pada pengulasan akademis belaka, tanpa kuasa di dalamnya—kuasa yang Tuhan nyatakan dalam pemahaman Alkitab dan pengalaman hidup, akan kebenaran Firman itu. Bukankah iman itu tampak nyata dalam pengalaman kehidupan kita bersama Tuhan? Dan, bukankah pengalaman itu seharusnya merupakan penjelasan atas iman kita? Iman yang berdasar pada kebenaran Firman secara utuh, ditambah pengalaman yang bisa dipertangungjawabkan secara alkitabiah, harus sejalan. Karena itulah Alkitab berkata, “Ujilah segala sesuatu”. Tapi diuji dengan apa? Tentu saja dengan kebenaran Alkitab.

Coba saja simak kesaksian seorang pengkhotbah, “Saya telah bertobat, dan menerima Yesus sepenuh hati, namun masih ada satu ilmu perdukunan yang belum bisa saya lepaskan.” Pikirkan, apakah mungkin seseorang menrima Yesus tapi tidak merdeka sepenuhnya? Apakah kuasa Yesus sangat terbatas? Di sisi lain, apakah melepaskan ilmu itu soal si pemilik ilmu? Artinya, lepas atau bukan tergantung dia, bukan kuasa Tuhan. Aneh sekali bukan? Itu kesaksian yang mempermalukan Tuhan, sekaligus menggambarkan kesalahan imannya, yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan (bandingkan kasus Simon si sihir di Kisah 8). Celakanya, umat termangu dan percaya, seraya berkata, “Allah mahakuasa”.

Dalam trend masa kini, khotbah, kebaktian kebangunan rohani (KKR), bahkan seminar, adalah kesaksian, atau nubuat menurut ukuran si pengkhotbah yang bertameng “pengalaman bersama Tuhan”, bukan lagi pengulasan Alkitab, yang sering mereka sebut akademis dan mematikan. Ada juga kebaktian kesembuhan tanpa membicarakan Alkitab, atau sekadar mengutip ayat. Semua fenomena ini harus disikapi hati-hati, agar kita tak terjebak. Alkitab harus menjadi yang tertinggi dan menjadi dasar dari segalanya, termasuk jika kesaksian itu salah, dan harus dikoreksi Alkitab. Tapi jika Alkitab tidak dibaca, tidak diulas, apa yang akan mengoreksi yang salah, termasuk si pengkhotbah?

Semoga umat belajar lebih teliti, lebih kritis, supaya pengkhotbah karbitan berguguran. Sementara pengkhotbah berikut, berpikir jernih, dan bersikap benar, dengan berani belajar Alkitab. Ya, iman dan pengalaman berjalan bersama dengan Tuhan, harus saling mengisi, melengkapi, dan tentu saja terkoreksi oleh kebenaran Firman Tuhan.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer