Kamu akan mendengar deru perang atau kabar kabar tentang perang. Namun berawas- awaslah jangan kamu gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya. (Matius 24:6)
Dahulu ada pameo yang mengatakan: perang adalah tradisi orang-orang kuno, yang tidak beradab dan barbar karena manusia saling membunuh bagaikan binatang, tidak berperikemanusiaan. “Siapa kuat dia menang”, demikian slogannya. Ketika roda dunia bergulir menuju peradaban yang disebut sebagai era yang memberikan penghargaan tertinggi kepada hak asasi manusia dan demokrasi, ternyata perang tetap hadir. Perang canggih di era canggih dengan alat yang serba canggih.
Dan perang yang disebut canggih ini amat-sangat mengerikan. Bayangkan, dengan peralatan atau mesin perang berteknologi tinggi, senjata-senjata tersebut dapat membunuh manusia secara cepat dan massal. Dengan sangat mudahnya, mesin-mesin pembunuh tersebut menyebar maut dari darat, laut dan udara. Hasilnya? Ribuan, atau bahkan jutaan korban terkapar, tidak perduli apakah itu militer, sipil, orang tua, anak-anak, wanita, bayi…Tidak terperikan pula kerusakan yang terjadi pada bangunan, infrastruktur, dan lingkungan hidup. Perang, memang hanya menyisakan masa depan yang teramat gelap bagi manusia beradab, namun justru kepuasan bagi manusia biadab!
Kapankah perang berlalu dari muka bumi? Ini adalah pertanyaan pilu dari jutaan insan pendamba kedamaian dan ketenangan, khususnya para korban perang. Tak ada jawaban yang pasti. Kalaupun dipaksakan untuk memberikan jawaban, maka bunyinya adalah: selagi manusia selalu merasa benar sendiri dan mau menang sendiri, maka perang tetap berpotensi hadir dalam kehidupan manusia dengan mengatasnamakan kelompok, suku, agama atau bangsa.
Friederich Nietzsche (1844 – 1900) mendengungkan bahwa manusia harus menjadi mahluk unggul, super, ubermensch istilah Jerman-nya. Nietzsche mengatakan, tahap awal yang diperlukan manusia untuk mencapai tujuan ini adalah menaklukkan Allah. Untuk itu dia menulis buku Dead of God . Menurut Nietzsche, hanya dengan menerima kenyataan bahwa Allah sudah mati-lah, umat manusia dapat mengalami kebangkitan yang super. Manusia adalah mahluk tertinggi, di mana seluruh kekuasaan ada padanya. Tidak ada yang lebih berkuasa dari manusia, demikian keyakinan Nietzsche.
Pemikiran Nietzsche ini kemudian merasuki jiwa Adolf Hitler yang berambisi membangun Jerman Raya. Demi mewujudkan ambisinya itu dia mencari bibit-bibit unggul untuk membentuk manusia Jerman yang unggul di atas segala bangsa-bangsa dunia. Demi ambisinya itu pula dia tidak merasa risih atau merasa bersalah ketika menghabisi nyawa sekian juta orang Yahudi. Ambisi gilanya membuat dia merasa yakin bahwa semua tindakannya itu adalah sah-sah saja.
Jerman uber alles (Jerman di atas segalanya) adalah cita-cita Hitler yang membuatnya jadi ‘raja tega’. Dia tega melakukan apa saja demi mendapatkan sesuatu yang diyakininya benar. Sekarang, manusia modern yang memproklamirkan diri sebagai mahluk yang beradab, ternyata tetap menyimpan bahkan memelihara semangat untuk membumihanguskan orang lain demi keagungan dirinya. Yang berbeda hanya bajunya, sedangkan isi tetap sama, yakni nafsu berkuasa, menguasai apa saja tanpa batas, karena toh Allah sudah mati. Sekalipun mulut mereka berkata, “Kami beragama dan ber-Allah”, namun sepak-terjang mereka telah menjadi gambaran yang sangat jelas kalau mereka memang sebagai mahluk yang mahakuasa!
Kalaupun ada agama yang menyebut Allah itu hidup, Allah yang dimaksud itu telah di’kudeta’ dan dikurung di dalam penjara nafsu keserakahan dan keinginan berkuasa para manusia beragama. Jadi bukan soal beragama atau tidak, melainkan apakah Allah penguasa itu hidup atau tidak dalam hati dan tindakan manusia? Manusia beragama tetapi tidak bertuhan, justru sangat mengerikan. Karena itu, beriman dan taat kepada Allah yang telah mengatur tatanan hidup manusia merupakan wujud kehidupan yang sejati, damai, jauh dari perang. (Baca Keluaran 20:1-10 dan bandingkan dengan Matius 22:37-40). Kasih adalah kekuatan utama, karena kasih melepaskan manusia dari kekerasan yang tak berujung yang berarti melepaskan manusia dari nafsu perang, untuk merangkai perdamaian sejati.
Maret 2003, Amerika kembali berperang dengan Irak. Tetapi perang yang telah menewaskan ribuan orang itu lebih tepat disebut perang antara George W.Bush dan Saddam Hussein. Entah sampai kapan perang seperti ini terjadi di belahan bumi lain, yang pasti bukan pemimpin suatu bangsa seperti Bush atau Saddam yang akan menjadi korban. Dewasa ini kebanyakan pemimpin dunia telah dirasuki semangat ubermensch.Kalau tidak mampu menindas bangsa lain, maka bangsa sendiri-lah yang ditindas. Di Indonesia sendiri, bukan hanya pemimpin yang bermental ubermensch. Kelompok masyarakat tertentu (suku, ras, agama, kekuatan ekonomi) yang kebetulan menjadi mayoritas secara kuantitas, telah merasa diri uber alles – berada di atas segalanya, sehingga merasa berhak menindas dan menguasai masyarakat di luar kelompoknya.
0 comments:
Post a Comment