Memang, setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus akan menderita aniaya, sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan. (II Timotius 3:12 – 13)
Ayat di atas adalah gambaran dari Rasul Paulus, betapa peliknya persoalan hidup di jaman akhir ini. Bagi orang percaya, menyangkal diri dan memikul salib adalah kenikmatan hidup dan merupakan suatu cara dalam menapaki jalan keselamatan. Sementara bagi orang jahat, kenikmatan adalah pesta pora, mengumbar nafsu daging sekalipun akan mengakibatkan kematian bagi dirinya sendiri.
Semakin marak dan semakin sadisnya tindak kejahatan di jaman ini, seakan-akan melumpuhkan masa depan dan harapan setiap orang yang mendambakan ketenangan dalam kehidupan, berdampingan dengan semua orang dari beragam latar-belakang. Namun ini merupakan lukisan realistis, yang berangkat dari kenyataan di mana dosa semakin sengit dan gesit merajalela, memangsa para nafsuwan-nafsuwati yang barisannya semakin panjang. Lihat saja, tragedi dekadensi moral di era millenium ke-3 ini kian terasa dan tampak nyata.
Mabuk karena iseng, nge-drug karena iseng, dan akhirnya mati karena iseng pun acap terjadi. Jika tindak pemerkosaan sudah menjadi berita sehari-hari, maka membunuh dengan dalih membalas dendam, atau bahkan hanya karena alasan sepele, bukan lagi peristiwa langka. Yang lebih ironis adalah jika aksi pembunuhan itu dilakukan atas nama agama, dan jalan menuju surga. Oala, ngerinya.
Agama yang seharusnya teduh kini berubah menjadi supergaduh. Maka tidak mengherankan jika di sana-sini kemudian muncul jejak-jejak kekerasan dengan alasan yang kurang jelas. Pembenaran diri yang tidak tahu diri membuat bulu roma berdiri karena rasa ngeri. Sedihnya, berbagai tragedi kebiadaban itu justru terjadi di Indonesia, yang katanya negeri damai dengan Pancasila-nya yang sakti. Masih jelas tergores dalam ingatan, peristiwa bernoda darah lima tahun silam, tepatnya Mei 1998. Peristiwa yang dikenang sebagai ‘Mei Kelabu’ itu akan menjadi catatan abadi dalam benak setiap anak bangsa yang masih memiliki nurani. Sungguh tak pernah terbayangkan, pada hari itu, Indonesia yang tenang dan damai, sontak berubah menjadi geger dalam ‘amuk yang tak bertuan’.
Tiada penjelasan, kecuali keganasan manusia yang disebut massa itu semakin menjadi-jadi, tidak terkendali. Teriakan massa yang ganas, tangisan wanita-wanita korban pemerkosaan, campur aduk menjadi ‘musik tanpa nada’. Rintihan kepedihan dari wanita-wanita bernasib malang itu terdengar menyayat hati. Tanpa daya, insan-insan yang lemah lembut itu menahan keperihan yang diciptakan oleh pengecut-pengecut biadab bermental bejat. Peristiwa-peristiwa itu pasti sangat menusuk hati orang-orang yang menjunjung kasih. Sungguh berani para pengecut itu. Mereka begitu berani berbuat dosa, namun menjadi sangat pengecut untuk melakukan kebenaran. Bukan hanya satu korban yang jatuh, dan bukan hanya saat itu korban berjatuhan. Peristiwa kelabu itu memang telah usai, namun penderitaan para korban terus berlanjut, bahkan mungkin sepanjang perjalanan hidupnya. Traumatik yang tersisa, amat berat untuk dipikul, dan selalu membekas dalam ingatan. Sungguh sulit untuk dipulihkan.
Apa gerangan kesalahan para wanita malang itu? Sampai kapan wanita Indonesia akan menjadi korban kebiadaban para pengecut? Apakah setiap wanita di Indonesia harus menjadi bionic woman yang dalam sekejap dapat membekuk ‘si pengecut yang berani’ itu. Atau – haruskah setiap wanita Indonesia menjadi super woman supaya bisa aman hidup di negeri sendiri, yang di manca negara sering dijuluki sebagai negeri berpenduduk yang ramah-tamah ini?
Oh, Indonesia-ku, betapa biadabnya wargamu yang bermental pengecut itu. Oh, tentaraku, di mana engkau saat dibutuhkan wanita-wanita malang itu? Pertanyaan ini belum lagi terjawab, sudah banyak warga yang kehilangan harta bendanya, disikat oleh pengecut-pengecut lain berjenis maling murahan. Penjarahan – bahasa santunnya – terjadi di mana-mana. Penjarahan dan pemerkosaan berlangsung mulus di tengah-tengah massa yang marah tanpa arah. Tuan-tuan pemarah yang bergabung menjadi massa itu membakar dan merusak apa saja yang ditemuinya.
Di antara kaum penjarah itu, terdapat pula orang-orang miskin yang ikut-ikutan gelap mata. Tanpa sadar – atau mungkin saja dengan kesadaran penuh – warga yang patut dikasihani ini telah menodai diri dengan status baru yang tidak terpuji: penjarah. Tragis memang. Perjuangan mereka dalam melawan kemiskinan belum usai, mereka sudah jatuh ke dalam kemiskinan yang lebih parah: miskin kasih, miskin harga diri, kemiskinan yang holistis.
Tentang orang-orang miskin yang menjadi penjarah ini, terlontar aneka komentar dan retorika dari para pejabat negara, namun tidak satu pun yang mampu membereskan permasalahan. Bahkan sangat mengejutkan ketika seorang pejabat tinggi yang berpendidikan sangat tinggi pula, dengan entengnya berkata, “Orang-orang miskin yang melakukan aksi penjarahan itu tidak bersalah, asal nilai benda yang dijarahnya itu tidak lebih dari 5 (lima) persen!”
Argumentasinya sederhana: karena setiap orang miskin punya hak sebesar 5 persen atas harta orang kaya. Yang tidak sederhana adalah logika pikir sang pejabat. Sebab, sang pejabat yang juga kaya itu tidak sekalian menawarkan rumah dan hartanya untuk dijarah warga miskin. Suatu sikap pengecut dan munafik. Tidak mengherankan jika sikap-sikap para pejabat semacam ini membuat luka hati para korban semakin menganga dan sakitnya serasa mencabik-cabik seluruh sendi-sendi kehidupan. Keberanian para pengecut itu dalam menciptakan luka dan petaka, tentu tidak layak dikenang, namun kenangan itu – meski pahit dan getir – diperlukan agar tidak lagi terulang dalam kehidupan bangsa yang mengaku beradab.
0 comments:
Post a Comment