Kejadian 1: 27 – 28 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkan itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.
Lihatlah! Betapa luar biasanya Allah menciptakan manusia, seturut dengan gambarNya sendiri. Daud, sang pemazmur (Mazmur 8:5-6) berkata: Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.”
Kekaguman pemazmur akan hakikat manusia amat sangat tepat. Manusia diciptakan sempurna, baik lahiriah, maupun batiniah. Sebagai mahluk ciptaan, kemampuan manusia memang terbatas. Namun dalam keterbatasannya, manusia justru sangat sempurna. Dalam keterbatasannya itu manusia dituntut untuk taat sepenuhnya kepada Allah Sang Pencipta. Ketaatan menjadi sumber kehidupan yang mengalir tak pernah berhenti. Allah memberkati manusia dengan kekuasaan yang luar biasa besar atas bumi dan ciptaan lainnya. Manusia adalah komunitas penguasa yang terbatas, sementara Allah penguasa yang tak terbatas. Namun sesama manusia tidak diperbolehkan saling menguasai satu sama lain. Manusia yang satu dan yang lainnya sama dan sehakikat, terikat menyatu sebagai citra Allah yang hidup saling mengisi dan mengasihi. Tidak ada diskriminasi gender, strata sosial, suku dan ras.
Tetapi sebagai penguasa atas sesama mahluk ciptaan lainnya, manusia tidak ditugaskan mengeksploitasi bumi dan ciptaan lainnya, melainkan mengelolanya demi kelangsungan hidup yang tertib (Kejadian 1:29-30, 2:15). Jadi, tugas manusia adalah memelihara, bukan merusak ciptaan itu. Namun sayang, ketidaktaatan manusia telah menjadi sumber kehancuran masa depannya yang sempurna. Manusia yang sempurna dalam keterbatasannya itu tidak taat, karena bernafsu ingin sama (sederajat) dengan Allah. Iblis menggodanya masuk ke dalam barisan pemberontak, melawan Allah. Kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa telah mengakibatkan perubahan yang radikal dalam kehidupan manusia. Manusia tak lagi mulia, melainkan hina, karena tidak mampu menghargai diri sendiri, apalagi sesamanya. Manusia bersembunyi dari Allah karena takut. Manusia menyembunyikan diri karena malu pada diri sendiri. Karena sudah berdosa, manusia tak lagi saling menjaga dan mengasihi tetapi saling menyalahkan satu dengan yang lainnya (Kejadian 3:12-13).
Malapetaka bagi kehidupan manusia telah dimulai dari taman kesempurnaan. Malapetaka yang tidak perlu itu terjadi karena ketidaktaatan manusia pada perintah Allah. Umat manusia menuai musibah lantaran sifatnya yang ingin mencoba-coba ketetapan Allah yang jelas dan berdaulat. Manusia telah membunuh kehidupannya sendiri dengan merusak kesempurnaannya sebagai gambar Allah.
Kini kita terpaksa melihat kenyataan pahit, dimana dalam kehidupan anak-anak manusia di kolong langit ini yang tersisa adalah, penghamburan nafsu, riak kemarahan dan gema kebencian yang datang silih berganti dalam berbagai jubah (suku, agama dan ras).
Manusia hanyut dalam aliran dosa, begitu pula kita dalam kehidupan sebagai bangsa, yakni bangsa Indonesia. Kesatuan dan persatuan yang pernah berkumandang dulu, kini hampa, tinggal kata tanpa daya. Keterpurukan manusia itu ada di sana sini, di depan mata. Setiap saat selalu ada ‘demonstrasi dosa’ dari yang halus hingga vulgar. Di desa pun tidak ada lagi ketenangan karena kawasan yang dikenal dengan segala keasriannya itu telah kehilangan ciri khasnya yakni suasana yang teduh serta rasa persaudaraan yang tulus dan hangat di antara sesama warga. Desa kini gersang. Menu utamanya adalah kemiskinan, kebodohan, ketidakramahan, dan, ahhh…tawuran juga. Memang, suasana yang serba suram itu ternyata bukan dimonopoli oleh Indonesia, namun juga belahan bumi lainnya. Ada apa dengan manusia? Manusia kini masuk ke dalam lingkaran problematika hidup yang tak berujung. Manusia tidak pernah dapat menyelesaikan masalah kehidupan yang membelitnya dari masa ke masa, malah justru semakin menambah permasalahan itu, dari waktu ke waktu.
Di Indonesia, kita sebagai bangsa memiliki warisan dari the founding fathers yakni Pancasila. Namun warisan luhur yang mengatur cara hidup berdampingan antar-sesama warga sebangsa dan setanah air itu, kini telah berubah. Falsafah negara yang bernilai agung itu telah dipalsukan menjadi semacam spanduk kepentingan ekstrimis kekuasaan, ekstrimis agama, dan si munafik yang ekstrim. Oalah, banyak betul jenis ekstrim ini, dan inilah yang menjadi ‘roda dosa’ biang problema. Tetapi, agama yang ekstrim itu, agama apa ya..?
Sudahlah, jangan saling tuding. Umat Kristen harus tampil elegan, jangan emosional. Jangan pula menganggap diri sebagai pahlawan, padahal tidak pernah berjuang. Atau menilai diri sebagai juru damai padahal seringkali justru jadi titik keributan. Lalu sekarang kita harus bagaimana? Berdoa? Ah, itu kan sudah menjadi aktivitas rutin. Berpuasa juga sudah tidak terhingga seringnya, bahkan sampai lupa sudah berapa kali. Melakukan konser juga sudah, mulai dari konser musik, konser drama bahkan konser doa. Lalu, apa lagi yang kurang? Oh, melakukan kehendak Allah dengan menjadi orang Samaria yang baik hati. Bukankah hal yang satu ini selalu terlupa?
0 comments:
Post a Comment