“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku.”
(Filipi 1: 29-30)
Mengapa kita harus menyukuri penderitaan? Rasul Paulus memberikan jawaban yang khas yaitu bahwa penderitaan adalah anugerah yang dikaruniakanNya. Kalimat ini mungkin aneh bagi kita yang hidup di zaman modern ini. Betapa tidak, selama ini, penderitaan telah menjadi musuh modernisme yang sangat mengagung-agungkan pemanjaan diri dan kenikmatan hidup. Berbagai penemuan teknologi semakin memudahkan kehidupan manusia dan mengantarkan manusia kepada penolakan total pada penderitaan. Semuanya dibuat simpel, mudah dan harus menyenangkan.
Penderitaan juga ditolak orang zaman sekarang lantaran mereka berada dalam cengkeraman egoisme. Dalam kungkungan egoisme ini, manusia menyambut kebahagiaan dengan penuh antusias, dan menolak mentah-mentah penderitaan. Egoisme membuat dia menerima hanya apa yang diinginkannya, bukan yang diinginkan orang lain, termasuk apa yang dikehendaki Tuhan.
Ketika egoisme ini menguasai kita, kita pasti akan menolak segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Apakah kita masih tetap bisa bersyukur apabila sesuatu yang terjadi dalam hidup kita tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan? Barangkali tidak. Sebagai ganti syukur, justru kita mengkomplain Tuhan. Kita bertanya, mengapa ini Tuhan? Mengapa ini terjadi pada diriku? Dan pada puncaknya kita akan berkata, ”Aku tidak rela!”
Sifat egoisme membuat kita mencintai diri sendiri lebih dari segala sesuatu sehingga kita tidak memiliki sisa cinta untuk orang lain bahkan untuk Tuhan sekalipun sebagai sumber cinta. Egoisme yang bercokol di hati kita membuat penderitaan menjadi musuh yang harus dienyahkan. Penderitaan harus dibuang sejauh-jauhnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya sebelum penderitaan menggoyang kenyamanan dan kenikmatan hidup kita.
Penolakan atas penderitaan dimungkinkan pula oleh semangat materialisme yang merasuki dunia ini. Takaran kebahagiaan orang diukur dari seberapa banyak harta yang berhasil dikumpulkannya. Kita akan merasa sangat menderita kalau tidak memiliki uang. Kita merasa masa depan suram, kehilangan pegangan ketika kita di-PHK. Sebelumnya kita sungguh mencintai Tuhan, tetapi ketika kemiskinan datang, kita tersentak, kita bertanya lantang di manakah Tuhan yang hidup itu? Kita menolak realitas seperti itu.
Kristus yang Utuh
Umat Kristen memang hidup di tengah dunia yang penuh dengan penderitaan. Meski demikian mereka tidak boleh mengadopsi apalagi menghayati semangat penolakan atas penderitaan itu. Sebab bagi orang Kristen, penderitaan merupakan anugerah. Bagaimana kita memahami ‘keanehan’ ini? “Kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus melainkan juga untuk menderita untuk Dia,” kata Kitab Suci (Filippi 1:29). Bagaimana kita dikatakan menerima anugerah ketika kita menderita? Kontradiksi ini baru bisa diterima dan dimengerti apabila kita percaya kepada Kristus dan menerimaNya sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Jadi kita harus mempunyai kesadaran utuh pada waktu kita menerima salibNya. Kita harus mempunyai tanda tangan kontrak mengikuti dan berjalan pada jalanNya.
Mengikuti Yesus tidak bisa secara parsial (sepotong-sepotong). Kita harus mengikutiNya secara total dan utuh. Mengikuti Kristus berarti siap menerima apa pun yang bakal diberikanNya. Ketika Dia memberikan bekal bagi perjalanan kita, baiklah kita menyukurinya. Tetapi ketika Dia meminta kita untuk berlenggang dalam kemiskinan tanpa bekal, kita tidak boleh kecewa. Kita harus tetap bersyukur. Bahkan ketika Dia mengambil apa yang paling kita sayangi dalam hidup ini, kita harus tetap bersyukur.
Sikap demikian hanya akan menjadi milik kita apabila kita mempunyai iman. Iman memampukan kita untuk menerima apa yang dikerjakanNya sebagai suatu anugerah. Iman juga yang memungkinkan kita untuk melihat apa yang tidak tertangkap mata di balik setiap peristiwa yang kita alami. Lalu apa itu iman? Semua orang memiliki keyakinan. Keyakinan inilah yang menggerakkan orang untuk meraih cita-cita yang bertengger dalam benak mereka. Tapi iman tidak sekadar keyakinan. Iman adalah Allah yang menyatakan diriNya kepada manusia dan memampukan manusia merespon kepada Allah. Allah yang berbicara dimengerti oleh manusia karena Allah memberi pengertian sehingga manusia mampu memberikan respon kepada Allah. Jadi ringkasnya, iman merupakan suatu dialog kehidupan.
Iman yang sama pula memampukan kita untuk senantiasa bersyukur. Dan oleh karena anugerahNya, kita bisa mengucap syukur atas segala sesuatu, termasuk penderitaan yang sedang kita alami. Iman tidak diekspresikan dengan berpindah-pindah tempat beribadah hanya karena di sana ada penghiburan semu, khotbah-khotbah yang memuaskan pendengaran kita sementara ketika kita keluar dari tempat ibadah, kita masih merasakan beban masalah yang menindih hidup kita. Iman tidak akan muncul dari kebiasaan mencari ‘ekstasi’ rohani dan kenikmatan semu.
Saat iman kita belum berakar kuat, mungkin saja kita ikut berbakti tetapi sebenarnya semua yang kita lakukan itu merupakan upaya untuk menghindari rasa sakit yang berkepanjangan yang kita sebut sebagai penderitaan. Ibadah dijadikan tempat mengambil obat untuk mengusir penderitaan yang kita alami. Dengan sikap seperti ini hampir dapat dipastikan bahwa kita tidak mungin bisa bersyukur kepada Tuhan. Paling banter kita akan mengeluh minta pertolongan Tuhan. Malah ada yang berkata dengan nada setengah menuntut, ”Saya sudah beribadah, sekarang bayar dong, Tuhan”.
Kalau itu yang menjadi sikap mental dan gaya kekristenan kita, kita tidak akan mampu menerima penderitaan sebagai realitas yang pahit dan sulit. Kita tidak akam mampu menerima penderitaan dari dan oleh Kristus. Kita tidak akan bisa bersyukur atas anugerah penderitaan.
Penuh syukur
Dalam perspektif iman, penderitaan merupakan suatu anugerah yang harus kita tanggapi dalam tindakan agar kita semakin dekat dan akrab denganNya. Dengan demikian, dunia akan tercengang melihat cara kita menanggapi penderitaan. Dunia akan bertanya-tanya, “Ini orang aneh. Menderita tapi tidak menjadi hilang ingatannya. Dia menderita tetapi tetap percaya kepada Kristus Tuhannya”. Ayub menjadi contoh paling tepat perihal sikap dasar ini. Betapa pun penderitaan datang bertubi-tubi menindihnya, ia tetap saleh. Meski ia kehilangan segala-galanya, ia tak menjadi gila. Mengapa Ayub bisa begitu tegar? Sekali lagi, tak lain, karena dia memiliki iman yang hidup akan Allah.
Penderitaan tidak boleh membuat iman menghilang. Rasul Paulus menjadi contoh yang lain. Ia berkali-kali disesah, dikejar-kejar seperti penyamun, beberapa kali mau dibunuh, tetapi demi Injil, ia rela menanggung semuanya itu. Bukan sebagai beban tetapi sebagai sebuah anugerah. Demikian pun dengan para rasul lainnya. Mereka tidak cengeng. Komitmen mereka untuk mewartakan Injil tidak luntur oleh penderitaan yang datang silih berganti tetapi justru sebaliknya, penderitaan semakin menggelorakan semangat mereka.
Apabila penderitaan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang Kristen, apakah itu berarti bahwa kita harus menyingkirkan kekayaan dan kenikmatan hidup lainnya? Tentu saja tidak. Tidaklah salah bila kita memiliki kekayaan karena harta juga merupakan anugerah Tuhan. Tidaklah salah bila kita memiliki mobil dan rumah sejauh semua barang-barang tersebut hasil kerja halal serta berkat kemurahan Tuhan dan bukannya hasil korupsi. Semua harta datangnya dari Tuhan. Jadi betapa mengherankan, apabila kita menjadi frustrasi, kecewa dan marah kepada Tuhan hanya karena kita kehilangan harta benda.
Penderitaan merupakan anugerah yang mesti ditanggapi dan dilihat melalui kaca mata iman. Seandainya dalam hidup ini kita mengalami kondisi hidup yang sulit dan pahit, sebenarnya kita tidak memiliki cukup alasan untuk mencaci maki atau marah-marah kepada Tuhan. Sesulit dan seberat apa pun beban hidup kita, janganlah sekali-kali memutuskan hubungan dengan Tuhan. Penderitaan harus dipandang sebagai anugerah yang harus ditanggapi dengan penuh rasa syukur. Apabila kita memiliki sikap seperti itu, maka tanggapan iman kita terhadap penderitaan akan menjadi sebuah kesaksian khas yang memperkaya wajah kehidupan manusia.
Bukan Kesalahan Sendiri
Penderitaan memang harus diterima dengan penuh rasa syukur tetapi bukan semua penderitaan dikategorikan sebagai anugerah. Kita jangan buru-buru mengucapkan terimakasih kepada Tuhan atas penderitaan yang kita alami karena menganggapnya sebagai anugerah padahal penderitaan itu terjadi akibat kesalahan dan kelalaian diri kita sendiri. Misalnya, penderitaan karena anak terjerat narkoba. Hal itu bukan anugerah tetapi merupakan akibat dari keteledoran menata keluarga. Penderitaan yang terjadi akibat kelengahan kita bukanlah anugerah.
Penderitaan sebagai anugerah tidak datang dari kebodohan yang kita pentaskan; tidak juga datang dari kelambanan kita mengikuti alur dinamika perkembangan zaman. Penderitaan orang Aborigin di Australia yang tersisih dari geliat metropolitan Australia tak bisa dijadikan alasan untuk bersyukur. Upaya emansipasi cultural harus digelar agar mereka bisa terbebas dari kungkungan tradisionalisme yang isolatif.
Jadi penderitaan baru bisa kita anggap sebagai anugerah sehingga kita bisa menyukurinya sejauh penderitaan tersebut datangnya dari Allah sendiri; bukannya karena kebodohan, kesalahan dan kelambanan kita menanggapi tantangan zaman.
Oleh karena itu masuklah ke hadiratNya, menjadi teguh kuat dalam penderitaan sehingga kita mampu melihat sisi lain dari kehidupan. Sukalah kepada firman yang indah dan hidup, bukannya suka pada yang ringan-ringan. Sebab di sanalah kita membaca maksud Tuhan dalam kehidupan kita.
0 comments:
Post a Comment