“Sebab itu, hai anakku, jadilah kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus. Apa yang telah engkau dengar daripadaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayainya, yang juga cakap mengajar orang lain. Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya. Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara, apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga. Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya.” (11 Tim 2: 1-6)
Penderitaan memang tidak mengenakkan dan menjadi bagian yang hampir selalu kita singkirkan dari kehidupan kita. Namun dalam konteks hidup benar dalam Kristus, penderitaan dimaknai sebagai anugerah yang harus kita syukuri. Tidak hanya sampai di situ, kita pun harus turut nyemplung di dalamnya. Tetapi pencemplungan kita dalam penderitaan haruslah didasarkan atas dan demi kebenaran serta dalam persekutuan dengan Kristus Tuhan kita.
Surat Paulus kepada Timotius ini sering disebut sebagai surat yang penuh dengan derai tangis dan air mata dari sang guru yakni Paulus. Hubungan antara Sang Guru dan muridnya dilukiskan mejadi sangat mengharukan. Sebagai guru yang sedang dalam penderitaan, Paulus meminta Timotius agar tetap teguh dalam penderitaan; sama halnya penderitaan yang dialami semua orang demi Tuhan.
Prajurit, Olahragawan dan Petani
Dalam nasihatnya, Paulus memakai tiga tipe profesi yang patut dijadikan acuan sikap ketika Timotius berada dalam penderitaan yaitu prajurit, olahragawan dan petani.
Prajurit adalah orang yang taat total kepada perintah komandannya. Meski membahayakan dirinya, prajurit akan tetap melaksanakan perintah komandan. Demi tugas, ia siap mengorbankan segalanya. Dia pertaruhkan nyawa demi komandan. Bagi seorang prajurit, merupakan sebuah kebanggaan apabila berhasil melaksanakan tugas-tugas yang diberikan komandannya. Ia tidak hanya berhasil menjalankan tugasnya tetapi juga melupakan apa yang menjadi keinginannya. Demi korpsnya, ia rela melepaskan apa yang menjadi kepentingan dan andalannya. Kepentingan korps menjadi prioritas utama. Apapun kesulitan dan hambatannya akan diterobosnya demi keunggulan korps. Untuk kesatuan dan keutuhan korps, ia rela bertaruh nyawa sekalipun.
Karakter prajurit seperti inilah yang menjadi ciri dasar relasi kita dengan Yesus Kristus sebagai komandan kita. Ia meminta kita, para prajuritnya, untuk menyangkal diri dan memanggul salib. Penderitaan bukan dihindari melainkan diterima penuh rasa syukur karena menyadari bahwa Yesus telah mendahului kita di jalan penderitaan. Dengan semangat rohani seperti ini hidup tidak menjadi rentetan peristiwa yang mengekspresikan kecengengan kita tetapi memantulkan kegairahan dalam menjalani pahit getirnya kehidupan karena berpegang pada kebenaran. Penderitaan menggembleng iman kita menjadi solid.
Ketekunan dalam menjalani penderitaan mesti menjadi karakter dasar kita. Bukan penderitaan akibat kelalaian atau kesalahan kita melainkan penderitaan sebagai resiko pemberita Injil. Seorang olahragawan berlatih dengan tekun, menghabiskan waktu, tenaga dan uang demi mencapai prestasi kemenangan. Ia berkorban untuk memperoleh kemenangan. Hal yang sama berlaku dalam dunia rohani, iman akan bertumbuh dan berakar kuat apabila kita bertekun dalam kebenaran Allah meski penuh penderitaan. Kita tidak boleh berkompromosi dengan tawaran dunia. Kita harus menjaga agar hidup kita tetap bersih sesuai dengan kehendak Allah.
Bagi seorang olahragawan buah kegigihan dan ketekunan berlatih adalah mahkota atau medali dan orang menyebutnya ‘sang juara’. Kesuksesan adalah buah kerja keras dan bukannya hasil dari menjual identitas diri. Bukan pula dari penggadaian moral dan kebenaran yang seharusnya menjadi milik kita. Sebagai milik Kristus, kita mestinya gigih mempertahankan prinsip-prinsip moral dan kebenaran dalam kehidupan kita.
Kita perlu memasuki penderitaan dengan kegigihan seorang petani. Ia mencangkul di tengah terik matahari dan terus bekerja dalam dingin air hujan. Dengan telaten, ia menaburkan benih, merawat, menyiangi, dan mengairi sawah. Ia penuh harapan menunggu bahwa pada waktunya nanti akan membawa pulang hasil panenannya bagi keluarganya dengan penuh sukacita. Panenan datang setelah petani berkeringat dan barangkali juga darah yang keluar dari lukanya.
Seperti Paulus, bagai seorang prajurit, olahragawan dan petani, kita juga diajarkan untuk berjuang dan menerima penderitaan demi mahkota yang Tuhan berikan kepada kita yaitu keselamatan yang Tuhan sudah berikan dan akan sempurna ketika kita bertemu dengan Allah.
Menjadi Murid
Apabila kita menganggap penderitaan sebagai barang murahan dan keselamatan yang dianugerahkan Tuhan bukan apa-apa, maka kita boleh tidak melakukan apa-apa; kita boleh melakukan kompromi; boleh malas beribadah atau kalau pun beribadah hanya untuk memperoleh kegembiraan semu. Tetapi apabila kita menganggapnya sebagai harta yang tak ternilai harganya, kita harus siap masuk ke dalam penderitaan karena kebenaran. Di situ ada pemenuhan takaran sebagai pengikut Kristus.
Kita hanya bisa disebut sebagai murid apabila kita mengikuti jejak Sang Guru. Kita layak menyandang gelar pengikut Kristus bila kita berjalan pada jalan yang dilalui Kristus. Kita hanya layak disebut murid Kristus apabila pemikiran-pemikiranNya tinggal dalam benak kita dan tingkah laku hidup kita mencerminkan dan mengingatkan orang kepada Sang Guru, Yesus Kristus. Akhirnya, kita hanya layak disebut murid kalau kita seperti Guru.
Turutlah menderita bersama Kristus sebab penderitaan membantu kita memahami dan mengalami persekutuan mesra dalam Kristus. Ada keindahan dalam penderitaan bersama Kristus. Ia membuat kita makin memahami betapa mahal penderitaan Kristus bagi kita.
Bagaimana kita dapat mengetahui berapa besar penderitaan Tuhan apabila kita senantiasa menghindari penderitaan dalam hidup ini? Bagaimana mungkin kita berkata bahwa kita hendak ikut menderita bersama Tuhan sementara kita tak kenal waktu mengejar kenikmatan dan rajin menyimpang dari jalanNya? Bagaimana mungkin kita bisa menikmati kasih dan jamahanNya apabila saat ditimpa penyakit kita lari ke dukun? Atau ketika kesulitan menghantam hidup kita, kita menghujat Allah? Atau jika demi peningkatan jenjang karir kita rela mengangkangi tuntutan hati nurani dan suara Tuhan?
Bersekutu dengan Tuhan
Apabila kita ingin mengalami apa yang pernah dialami Yesus, bangunlah persekutuan denganNya. Dalam persekutuan tersebut kita akan bersyukur kepadaNya karena penderitaan yang kita alami itu menambah pengenalan kita akan Dia. Bersama Dia, kita akan mengalami penderitaan bukan sebagai barang rongsokan atau penghinaan ataupun kesakitan tetapi sebagai anugerah. Ikutlah menderita sebab penderitaan merupakan bagian dari pertumbuhan iman dan kepercayaan kita kepadaNya.
Tak ada sisi dari penderitaan yang bisa menggoyahkan kita bila kita menjalin persekutuan bersama Dia. Tak ada sesuatu pun yang perlu kita takutkan. Bila kita telah siap menderita maka tak ada alasan bagi kita untuk menghujat Tuhan. Kita tetap kuat dan teguh meski kita mengalami kesulitan, sakit, kekecewaan, kegetiran, kejengkelan dan kepahitan hidup. Hanya dalam persatuan dengan Yesus kita menjadi kuat. Hanya dengan menikmati penderitaan sebagai anugerah, kita menjadi tangguh di tengah-tengah gelombang dunia yang tak pernah tenang ini.
Apakah yang paling penting dari hidup ini? Harta, kesehatan, mobil, atau rumah memang penting. Namun itu bukanlah yang terpenting dalam ziarah hidup ini. Yang terpenting adalah bagaiman kita mampu menanggung segala yang terjadi dalam kehidupan kita serta berupaya untuk mengatasinya. Bukan sebagai pecundang tetapi sebagai pemenang.
Kemampuan itu hanya dapat kita timba dari sumbernya yang asli dan tak pernah kering yakni Yesus sendiri. Di dalam, dan bersama dengan Kristus, kita bisa memasuki penderitaan sambil tersenyum. Orang akan turut bersukacita melihat kesaksian hidup kita ini lalu turut mencari sumber sukacita itu dalam Yesus Kristus. Ikutlah menderita. Jangan takut menderita untuk kebenaran
0 comments:
Post a Comment