Indonesia, negara dan bangsa yang kita cintai bersama ini, tahun ini – Agustus 2004 – genap berusia 59 tahun. Ibarat manusia, sebuah negara yang sudah berusia lebih dari setengah abad, secara umum berarti cukup mapan dan matang. Tetapi dalam konteks bangsa kita – Indonesia – entahlah. Jawabannya saya kembalikan pada Anda. Silahkan berkomentar, apa saja. Sebab bukan hanya politisi atau pengamat yang boleh mengomentari negara dan bangsa ini. Kita sebagai warga masyarakat awam juga pasti kepingin urunpendapat – menjadi narasumber – istilah kerennya. Masa bodoh, benar atau salah, atau bahkan bodoh beneran, yang penting berpendapat! Apalagi kalau diliput media, khususnya media yang suka geger-gegeran.
Saking gemarnya masyarakat kita mengumbar komentar, tidak terlalu mengherankan apabila muncul multi-pendapat yang tidak pernah sepakat. Bagaimana men-definisi-kan nasionalisme, adalah salah satu contoh betapa sulitnya mencapai kesepakatan itu. Apa sih nasionalisme itu? Beragam pendapat atau komentar pasti hadir atas pertanyaan ini. Selain itu, kita pasti sering mendengar tudingan-tudingan seperti, “Si Anu tidak nasionalis, lihat saja dia menanam modalnya di luar negeri.” Sementara, orang asing yang berlomba-lomba menanam modalnya di sini, tidak pernah kita persoalkan apakah dia a-nasionalis atau bukan terhadap negerinya.
Sebaliknya ada yang mengatakan kalau jiwa nasionalisme si Pulan itu tinggi. Indikasinya apa? Si Pulan itu tidak pernah ke luar negeri. Bukankah ini bisa merupakan satu pertanda awal kalau dia sangat mencintai negeri ini? Tambahan lagi, dia selalu memakai produk dalam negeri. Tetapi tetangganya bercerita bahwa si Pulan itu tidak pernah bergaul dengan tetangganya yang jelas-jelas asli merah-putih. Bahkan si Pulan tadi dikenal pula sebagai pegawai negeri yang ‘rajin’ korupsi. Artinya, si Pulan ini sangat berbeda dibandingkan dengan si Oemar Bakrie, seorang guru jujur, berbakti, dan yang bersih dari hama korupsi. Hidup miskin tapi puas diri, dan selalu saja menjadi idola orang sekampung. Maklum dia tipe orang yang ringan tangan untuk menolong bukan menodong.
Nasionalisme, oh nasionalisme…, kau memang nyanyian dengan banyak versi, yang tidak memiliki syair dan nada abadi, karena tergantung pada siapa yang menyanyikanmu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘nasionalisme’ berarti: 1) Paham/ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; 2) Sebuah kesadaran sebagai anggota yang terikat dari satu bangsa.
Nah, berangkat dari KBBI ini Anda dipersilahkan untuk menilai apakah si Anu atau si Pulan yang nasionalis. Saya sendiri tidak akan mau memberi komentar selain, “Terserah penilaian Anda sendiri, siapa di antara kedua tokoh kita di atas – si Anu atau si Pulan-kah – yang layak disebut sebagai nasionalis?” Sebab bagi saya, nasionalisme adalah sebuah tindakan nyata bukan sekadar kata yang dapat diukur dari:
A) Kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia, entah dia sering ke luar negeri atau tidak. Karena sering ke luar negeri, bisa juga berarti dia rajin mempromosikan keindahan Tanah Air tercinta, dan gemulainya nyiur yang melambai-lambai; atau karena dia pintar dan diakui oleh luar negeri sehingga diundang untuk berbicara.
B) Keterlibatannya secara aktual dalam hidup bermasyarakat, dengan giat membangun mutu kehidupan yang beradab; bukannya korupsi bahkan tega menyunat dana bantuan untuk saudara sebangsa yang sedang kesulitan.
C) Ketegasan sikap yang konsisten dengan tidak menjadi primordial, sektarian, tetapi berperikemanusiaan dan pro-kebersamaan, menghargai perbedaan dengan semangat toleransi yang tinggi.
D) Keberanian mengoreksi korupsi, mengenyahkan bungkus dan mendemonstrasikan isi secara transparan. Tidak memolitisi situasi untuk kepentingan diri atau kelompoknya semata.
Singkat kata, seorang nasionalis akan menjaga cita-cita bangsa dan kemurnian kesatuan. Berada di dalam atau di luar negeri, dia memakai produk lokal atau asing, sah-sah saja, tetapi di benaknya terpateri lagu: Padamu negeri kami berjanji, padamu negeri kami berbakti, padamu negeri kami mengabdi, bagimu negeri jiwa raga kami. (Catatan penulis: ‘kami’ dibaca ‘aku’).
Jika segenap anak bangsa ini memiliki nasionalisme yang tinggi, sudah pasti wajah Ibu Pertiwi semakin berseri. Tetapi kini, di usianya yang ke-59, nasionalisme anak-anak negeri cenderung semakin keropos dan minus besar. Ibu Pertiwi resah, putus asa, sebab anak-anaknya saling membenci, saling menguasai tanpa pernah berhenti barang sekejap.
Mari kita hibur Ibu Pertiwi dengan kasih Ilahi agar dia tidak lagi bersedih. Seorang Kristen sudah seharusnya nasionalis, sekalipun belum tentu sebaliknya. Merdeka! ***1`
0 comments:
Post a Comment