“Ada pun bumi ini telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan”
(Kejadian 6:11)
Ayat ini sangat singkat, namun mampu melukiskan situasi kehidupan bumi di zaman Nabi Nuh secara tuntas. Bumi ketika itu sudah rusak. Dan kerusakan itu bukan hanya menyangkut kondisi geologis, namun juga teologis. Kondisi jiwa dan moralitas manusia yang hidup di bumi ketika itu benar-benar rusak parah. Bahkan alam tidak lagi bersahabat dengan manusia seperti di Taman Eden.
Alam tidak menyediakan lagi makanan yang dapat diperoleh manusia dengan mudah dan cuma-cuma. Manusia tidak bisa lagi hidup damai, bersahabat dengan alam dan semua mahluk ciptaan Allah. Tragis, karena dalam kesempurnaan rancangan Allah itu, manusia diciptakan untuk menguasai, mengelola alam dan seluruh isinya. Sebagai penguasa dan pengelola tunggal, manusia dilengkapi kemampuan yang optimal. Dengan semua itu, manusia ditugaskan untuk mewujudkan kebahagiaan hidup yang maksimal di muka bumi.
Tetapi, semuanya kini sudah rusak, mulai dari manusianya, sistemnya, dan nilai-nilai kemanusiaannya. Kekerasan tumbuh dengan subur tanpa perlu dipupuk, bahkan menjadi dewa tertinggi di bumi. Kekerasan bagaikan sebuah jawaban final atas sebuah pertanyaan, yang sulit atau yang mudah. Jika ada masalah – bahkan sekecil apa pun – selesaikan dengan kekerasan. Tidak heran jika kekerasan pun tumbuh subur, beranak-cucu , melebar dan merata di permukaan bumi. Semakin tua usia sang bumi, teriakannya pun semakin nyaring mengatakan bahwa kekerasan adalah alternatif terbaik untuk menyelesaikan persoalan.
Sementara di sisi lain, Putri Damai tampil malu-malu, berdandan dengan kosmetik palsu. Tutur bahasanya lembut dan terdengar manis di telinga, namun pada saat yang bersamaan pisaunya yang tajam berkelebat dan menghujam, mematikan! Damai semakin tak dipercaya karena dirusak oleh kepalsuan. Damai hanya buah bibir saja. Sementara kekerasan kian diyakini sebagai suatu solusi, bahkan menjadi ideologi, yang sebentar lagi, mungkin sudah menjadi agama baru pula. Mengerikan, tapi itulah kenyataannya.
Dosa, secara meyakinkan telah mencetak kesuksesan besar dalam merusak wajah bumi. Karena dosa telah mewarnainya dengan kekerasan, bukan saja dalam keluarga, masyarakat luas, antarbangsa, namun dalam ritual keyakinan aliran tertentu. Kini, di sekitar kita, laskar Dewa Kekerasan telah hadir, siap mencabut nyawa siapa saja, sekalipun harus mengorbankan nyawanya sendiri. Awas, jangan salah mengerti, mencabut nyawa orang lain dengan alasan apa pun, sama sekali bukan tindakan mesianik (penyelamatan orang-orang berdosa), karya agung Yesus Kristus. Fakta ini seringkali diputarbalikkan sebagai dalih untuk menyelamatkan sebuah kelompok dengan membantai kelompok lain.
Tetapi, ulah para simpatisan Dewa Kekerasan yang ingin menegakkan ‘Kerajaan Allah’ dengan aneka senjata, bahkan bom bunuh diri, sungguh sulit dipahami akal sehat, bahkan manusia berdosa sekalipun. Bayangkan, sang pengebom meledak bersama bomnya. Dia membunuh dirinya. Masalah yang muncul bukan karena dia saja yang menjadi korban, tetapi justru karena memakan korban lain yang tidak sedikit, yang tidak dia kenal atau yang tidak mengenal dirinya. Tragisnya, mereka yang menjadi korban itu kebanyakan orang yang tidak tahu apa apa, orang kecil yang berjuang keras untuk menghidupi keluarganya. Kematian mereka adalah malapetaka besar bagi istri dan anak-anaknya. Tangisan pilu sanak famili yang tanpa daya mengantar kepergiaan mereka untuk selamanya. Tapi si maniak bunuh diri tak pernah peduli. Hati nurani mereka telah mati.
Para pengebom itu bahkan mengumbar keyakinannya bahwa kekerasan akan membawa mereka bertemu dengan sang Dewa Kekerasan yang mereka sebut dengan ‘Allah yang mahabesar’. Padahal, Allah yang mahabesar itu tidak pernah menebar rasa takut dengan kekerasan. Allah yang maha besar itu bahkan maha pengasih, penyayang dan pengampun. Si maniak bunuh diri mencatut habis nama Allah yang maha besar itu. Menurut keyakinan mereka bom bunuh diri akan memberi perubahan. Perubahan di bumi ke arah yang lebih baik seperti yang mereka yakini, hanya ada dalam benak mereka, karena nyatanya semua agama senada mengutuk tindakan mereka yang biadab itu. Ada yang mengutuk hanya dalam kata tapi ada juga yang mengangkat senjata.
Mengutuk mereka hanya sebuah tindakan sia-sia. Sebab kutukan, tidak lain adalah ungkapan kemarahan yang bisa saja menjadi saudara kembar kekerasan. Akhirnya, kekerasan dibalas dengan kekerasan. Padahal, kekerasan harus dilawan dengan peran aktif membangun perdamaian sejati. Hanya damai yang aktual-lah yang bisa mencairkan kerasnya kekerasan itu. Untuk itu, umat manusia membutuhkan kehadiran seseorang yang bisa dijadikan sebagai model cinta damai, model bagaimana cara menciptakan kedamaian di muka bumi ini. Walaupun tak mudah memenuhi harapan ini namun usaha tak boleh terhenti
Bagi orang percaya, damai bukanlah barang baru. Bahkan damai adalah warisan utama yang dimiliki orang yang telah ditebus oleh Kristus. Jika orang lain hanya berteriak dan saling menyalahkan dengan sejuta argumentasi, kita jangan terjebak. Umat tebusan harus mampu memainkan peran sebagai agen perdamaian. Bumi tidak butuh khotbah yang berapi-api, tetapi tindakan pasti yang turun dari mimbar suci dan membumi. Contohnya? Jangan biarkan siswa putus sekolah karena pendidikan itu sangat penting bagi masa depan seorang insan. Lembaga-lembaga pengobatan seperti rumah sakit jangan pernah menolak pasien miskin hanya gara-gara tidak sanggup membayar uang jaminan, sebab itu merupakan bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap orang yang berekonomi lemah. Dan sekali lagi, jangan kata damai jika Anda tak melakukakannya.
Jangan pula merasa benar sendiri dan memaki yang lainnya. Tuhanlah hakim yang berhak menilai seseorang itu benar atau salah. Sedangkan bagi kita, mengatakan kebenaran sebagai sesuatu yang benar dan melakukannya, itu sudah cukup, dan jangan menambah atau menguranginya. Suarakanlah kebenaran dan lakukanlah itu agar pasukan bom bunuh diri itu melihat sebuah alternatif yang positif, lalu mengurungkan niat meledakkan diri. Jika tidak, maka kelalaian kita hanya akan semakin memperpanjang barisan pasukan bom bunuh diri itu. Kemarahan mereka mungkin bukan terhadap kita, tetapi lantaran ketidakadilan sosial atau politik yang mereka alami. Namun, bumi dititipkan Tuhan, dan menjadi tanggung jawab kita. Oleh karena itu, apapun alasan mereka sehingga meledakkan diri dan orang-orang lain, bukan menjadi masalah yang terpenting, tetapi bagaimana mencegah atau paling tidak mengurangi aksi mereka dengan cara mendemonstrasikan kasih abadi. Inilah yang terpenting.
0 comments:
Post a Comment