Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, September 16, 2009

Reformasi, Bukan Diskriminasi Budaya

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

Sesungguhnya topik ini biasa-biasa saja. Tetapi bisa menjadi tidak biasa jika diperdebatkan dalam kerangka pikir berbagai aliran. Istilah aliran sengaja dipakai sebagai bentuk lebih sempit dari denominasi. (Denominasi dalam pengertian ini adalah satu keyakinan/ketentuan organisasi gereja). Harap maklum, satu denominasi juga bisa berbeda dalam masalah ini. Dalam perspektif sosiologis, budaya berarti sebuah konsep, tindakan atau adat istiadat/kebiasaan. Budaya yang tinggi akan membuahkan nilai hidup yang tinggi pula. Dan tingginya budaya, berkaitan erat dengan tingginya tingkat keilmuan masyarakatnya. Jadi budaya dapat dikatakan sebagai identitas dan bukti kualitas hidup masyarakatnya. Sementara, dalam perspektif teologis, budaya sangat berkaitan erat dengan kemampuan manusia dalam membangun relasi dengan sesamanya. Semakin tinggi pemahaman seseorang akan kebenaran maka akan semakin tinggi pula gairah kasihnya terhadap sesama.

Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:26-28). Kepada manusia, Allah juga memberikan sesuatu amanat yang disebut dengan mandat budaya. Mandat budaya itu berupa ‘tugas’ untuk berkembang biak menjadi sebuah komunitas yang saling menolong dan bertanggung jawab atas pengelolaan alam semesta (Kejadian 2:15). Dalam Matius 22:37-40, disebutkan pula bahwa sebagai mahluk beragama, manusia dituntut untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Dan sebagai mahluk berbudaya manusia dituntut untuk mengasihi sesamanya seperti mengasihi diri sendiri. Jadi budaya tertinggi umat manusia itu adalah kemampuannya hidup berdampingan dalam kedamaian karena kasih.

Lalu, bagaimana dengan budaya keseharian seperti upacara adat-sitiadat? Apakah ini sah atau tidak? Diterima atau ditolak? Perdebatan ini sudah terjadi sejak lama, hingga H.Richard Niebuhr, seorang teolog imigran Jerman kelahiran Amerika, menulis sebuah buku berjudul Kristus dan Budaya pada tahun 1951.(Catatan: Penulis belum lahir pada waktu itu). Dalam bukunya itu, Niebuhr menggambarkan beberapa sikap terhadap budaya. Pertama sikap radikal, yaitu menolak budaya. Dalam I Yoh 2: 15 – 17 dikatakan, manusia harus menolak dunia. Bagi kelompok ini, kata dunia berarti budaya. Penafsiran mereka, budaya itu dosa dan harus dihancurkan. Wujud penghancurannya sendiri beraneka ragam. Sangat disayangkan bahwa kata dunia yang lebih menunjuk pada sifat kedagingan/duniawi, diterjemahkan sebagai budaya. Budaya adalah bagian dan produk manusia. Jika budaya ditolak, maka berarti manusianya pun harus ditolak. Manusia dan budaya itu melekat menjadi satu. Padahal kesalahan terbesar bukanlah pada budayanya, tetapi pada manusianya. Budaya sangat tergantung kepada perilaku manusia. Jadi jika budaya hendak dibereskan, maka yang perlu dibereskan adalah manusia yang memproduksi budaya itu.

Yang kedua adalah sikap akomodatif, yaitu sikap oposisi terhadap yang pertama (yang menolak budaya). Bagi kelompok kedua ini, budaya adalah bagian dari hidup manusia. Bagi manusia, budaya itu sejajar dengan agama. Asumsinya Tuhan datang untuk menggenapi, bukan meniadakan Taurat (Matius 5:17). Sikap kelompok ini ada benarnya, yaitu budaya tidak bisa dibuang begitu saja. Tetapi segera muncul persoalan baru, yaitu ketika kelompok ini menyamakan budaya dengan agama. Karena ayat yang dijadikan sebagai argumen tidak membicarakan hal yang dimaksud, tetapi lebih pada penggenapan harapan Mesias yang ada pada Taurat, dan tuntutan pada orang Yahudi untuk tidak mengabaikan Injil dan mengkonfrontasikannya dengan Taurat. baca selanjutnya,..

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer