Hiruk-pikuk penghitungan suara hasil Pemilu 2004 masih berlangsung, namun pemenangnya sudah semakin jelas. Yang menarik adalah Partai Golkar. Sebelum pemilu berlangsung banyak tokoh Golkar dimasukkan ke dalam ‘keranjang sampah’ tempat khusus bagi para ‘politikus busuk’. Bukan hanya dihujat, Partai Golkar juga ‘dinubuatkan’ akan mengalami kemunduran. Tapi, kenyataan berkata lain. Entah ini murni pilihan rakyat, ataukah cara penghitungan suara yang direkayasa, atau mungkin juga lantaran kepongahan sekaligus kebodohan partai politik (parpol) lainnya. Yang pasti, Golkar memimpin dalam perolehan suara sementara, bersaing dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di peringkat dua, dengan perbedaan suara yang sangat tipis. Besar kemungkinan Golkar akan tampil sebagai pemenang pertama.
Di sisi lain muncul pula kuda hitam, yaitu Partai Demokrat, partai baru dengan prestasi wah, yang menembus peringkat ke-5. Sementara itu, partai bernuansa agama semakin hari semakin nyata bukan merupakan pilihan pertama dari umat beragama. Apalagi di era globalisasi ini manusia cenderung membangun persatuan secara kebangsaan sehingga warna keagamaan yang dimasukkan dalam partai kurang disukai. Warna keagamaan dalam kepartaian dinilai dapat menjadi pemicu pertikaian yang serius. Karena itu partai bernuansa nasionalis lebih diminati. Realita ini tentu saja mengganggu mereka yang sangat pede (percaya diri) dan merasa beriman besar. Sebelum pemilu berlangsung, mereka selalu membawa-bawa nama jutaan umat dan mengklaim, seluruh umat adalah pemilih mereka. Hasilnya, perasaan terkejut dan gelisah yang amat sangat, melanda hati para politikus berwarna keagamaan.
Sebelum pemilu, banyak politikus menempatkan diri sebagai pahlawan terbaik, bahkan ‘juru selamat’ bangsa ini. Mereka berlomba-lomba meneriakkan diri sebagai paling bersih, paling demokratis, dan so pasti paling layak menjadi RI 1. Namun apa yang terjadi, penghitungan suara belum selesai, sudah muncul sekelompok politikus yang menyatakan diri ‘Aliansi 19 Partai’, dan bertekad menolak hasil pemilu. Mengkritisi cara kerja KPU tentu penting, bahkan harus. Tapi menyatakan penolakan sebelum proses selesai, tentu sangat sulit dipahami. Belum selesai, belum ada kesimpulan, lha, kok sudah ditolak. Bukankah ada jalur hukum sebagai kereta demokrasi? Biarlah pengadilan yang memutuskan, bukan aliansi partai yang nggak jelas arahnya itu. Mungkin ada kecurigaan bahwa pengadilan akan curang, tapi itulah jalur resmi yang ada. Dan sekaligus itulah konsekwensi yang harus diterima dalam berbangsa dan bernegara yang secara terus- menerus memerlukan perbaikan.
Dengan demikian, kita belajar berdemokrasi sekalipun terasa sangat pahit. Berbeda bukan untuk terpecah. Tapi bagi para tokoh kita yang ‘agung dan selalu benar itu’, sulit menerima kenyataan ini, karena mereka merasa sebagai pihak yang selalu benar. Sementara rakyat hanya termangu. Usai memilih kok malah jadi ramai. “Tahu begini, mending nggak usah memilih,” kata rakyat kebanyakan. Tapi ada lagi yang lebih menarik, sangat menarik, bahkan membuat kita tercengang. Ada tokoh mau pun partai yang sebelum pemilu secara terbuka atau tersamar mengutuki Partai Golkar atau partai pemenang lainnya sebagai hunian para politikus busuk, namun kini dengan malu-malu kucing mulai menyatakan cinta. Lamaran koalisi pun mulai dikumandangkan secara halus tapi jelas, sejelas busuknya hati mereka. Jatuh cinta pada yang dikutuk busuk, sungguh pembusukan yang sangat busuk. Ada juga yang mencoba melamar partai lainnya yang dulu dianggap tidak se-visi. Tidak jelas kenapa kok sekarang mereka mendadak se-visi. Tidak jelas mereka mimpi apa seusai pemilu. Wahyu baru atau tipuan lama? Namun sudah dapat dipastikan, jawabannya pasti sangat klise: ini kan politik, kita harus realistis dan taktis.baca selanjutnya,..
Wednesday, September 16, 2009
KETIKA MENJILAT TERASA MANIS
Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================
0 comments:
Post a Comment