Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, September 16, 2009

AFI, Akademi Fantastik Inteligensi

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

Tiap Sabtu malam, sekelompok orang aneka usia tampak antusias di ruang studio salah satu stasiun televisi. Pada saat yang sama, untuk acara yang sama, ribuan atau mungkin ratusan ribu pasang mata pemirsa di segala penjuru Nusantara ‘melotot’ di depan layar TV masing-masing. Semua mata – baik di studio maupun di depan televisi – tertuju pada sosok-sosok akademia (peserta) yang berusaha tampil abis dengan gaya dan busana, walaupun banyak yang hanya bermodalkan suara pas-pasan.

Akademi Fantasi Indosiar – lebih dikenal dengan AFI – itulah nama program televisi yang lagi ngetrend di kalangan pemirsa, khususnya remaja. Orangtua banyak yang perduli, terlebih jika ada anak, keponakan atau cucu mereka yang tampil sebagai akademia. Sementara para remaja menjadi supporter karena berbagai alasan. Misalnya ada kaitan kekeluargaan, persahabatan, atau hanya sekadar nge-fans pada akademia tertentu.

Akademi ini cukup unik. Unik, karena sistem penilaian bukan berdasarkan kepiawaian para juri yang jeli menangkap ‘basah’ suara-suara fals, atau teknik vokal yang tidak profesional sebagaimana dituntut dari seorang penyanyi. Keunikan yang lain, sekalipun ada penyanyi profesional yang menjadi penilai dan memberikan penilaian yang cukup teliti, tetapi penilaian final ada di tangan para penonton atau pemirsa. Padahal, penonton sebagian besar dipastikan buta gaya, tuli nada. Tetapi di AFI mereka mendadak mendapatkan kedudukan terhormat sebagai juri penentu nasib para akademia.

Anak penulis yang kursus musik mengaku bingung dan dengan nada protes berkata, “Mestinya akademia yang ini yang tereleminasi, bukan yang itu, dengerin aja tuhwah, dia menang. Emangnya fashion show.” Aneh tapi nyata. Tapi ini sejalan dengan semangat post-modernisme yang menjungkirbalikkan nilai-nilai rasional dan menggesernya ke arah emosional. Yang penting rasa, bukan fakta. Itu semangatnya. Maka harmonisasi berubah menjadi disharmoni. Jadi tidak mengherankan jika penilaian bukan lagi pada fakta melainkan selera. vokal dan tekniknya...” Dengan nada suara yang masih gemas dia melanjutkan, “Mentang-mentang cantik dan berpenampilan

Post-modernisme yang telah menjungkirbalikkan nilai memang mendapat sambutan hangat di kalangan kaum muda yang merasa bosan ‘dijajah’ oleh keteraturan. Kaum muda yang suka berperilaku ‘liar’ seakan menemukan dunianya di era post-modernisme. Bagi mereka, post-modernisme bagai sebuah improvisasi yang inovatif atas kejenuhan hidup modern yang serba teratur. Modernisme memang suatu bahaya yang telah menggerogoti kehidupan beriman umat beragama, dengan merelatifkan kemutlakan kebenaran wahyu Allah. Modernisme telah menjadi ‘agama’ baru dalam beberapa abad terakhir, di mana manusia ‘naik pangkat’ menjadi penentu bagi dirinya sendiri. Tuhan dikudeta, sekalipun memang ada ruang yang disisakan. Minimal manusia bisa berdiri sejajar dengan Tuhan.

Tetapi dalam era post-modernisme, manusia bahkan tidak lagi memberikan sedikit pun ruang bagi Tuhan, karena semangat ‘I am God’ dalam diri manusia tumbuh subur. “Kita adalah Tuhan, jadi apa pun yang kita inginkan, bisa kita dapat,” demikian manusia-manusia di era ini berkata dengan pongah. Nah, dalam bentuk praktis non teologis filosofis, muncullah fenomena nyeleneh: aku adalah aku yang menentukan pendapatku, dan pendapatku adalah kebenaran yang tidak perlu tunduk pada apa pun dan atas penilaian siapa pun.baca selanjutnya,..

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer