Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Tuesday, September 29, 2009

GEREJA DAN SK BERMASALAH DUA MENTERI

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri yang menimbulkan banyak gonjang ganjing di lingkup umat beragama, merupakan produk bersama menteri agama dan menteri dalam negeri yang dikeluarkan tahun 1969. Banyak sudah ulasan teknis, politis, praktis, hingga aspek hukum di berbagai media, termasuk tabloid REFORMATA, yang mencoba mengangkatnya dari berbagai aspek tadi. SKB ini memiliki banyak “keunggulan aneh”.

Sebagai sebuah surat keputusan, SKB ini “terunggul dalam waktu” karena sudah berlaku 36 tahun sejak 1969. Kemudian “terunggul dalam jangkauan”, karena menjangkau seluruh umat beragama di Indonesia, yang memang semua beragama. Lalu “terunggul dalam kekuasaan” karena seakan tak tersentuh apalagi tercabut. Belum lagi “terunggul dalam kerancuan”, yang menimbulkan kerancunan dalam sudut pandang hukum, karena SKB ini dalam prakteknya, menempatkan diri melewati UUD 45 pasal 29, tentang kebebasan beragama, Pancasila, terutama sila pertama.

Padahal, SK hanyalah surat keputusan yang sangat terbatas ruang gerak dan waktunya. Apalagi, cuma SK menteri yang tidak pernah punya hak membuat produk perundang-undangan, yang memang merupakan kewenangan legislatif. Karena itu, tepat jika disebut SK(Bersama) sebagai SK(Bermasalah), karena memang senantiasa menimbulkan masalah, tanpa sekalipun memberikan keuntungan, apalagi kerukunan bersama.

Sekalipun dalam SKB tersebut tercantum kalimat “menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluknya”, namun dalam prakteknya, SKB itu lebih sering dimanfaatkan “massa” untuk menimbulkan masalah dan menjadi “tontonan” aparat penegak hukum—yang katanya selalu terpanggil untuk menegakkan hukum. Entah apa agenda akhirnya, tapi yang pasti, tarik-menarik politis lebih dominan melatarbelakangi lahirnya SKB ini, yang dalam perjalanannya juga menjadi “alat bantu” para petualang politik maupun kekuatan tertentu dalam menciptakan atau mengalihkan isu-isu. Belum lagi lalu lintas uang keamanan jika situasi tidak aman, sungguh bisa menjadi bisnis yang mengiurkan. Ironisnya, dulu kita dijajah Belanda dengan politik devide et impera, kini berganti menjadi “kita saling menjajah antar-sesama bangsa”.

Nah, di sini gereja dituntut untuk jeli dan terlibat di kancah kacau, agar bisa menciptakan suasana teduh. Gereja perlu tampil lebih elegan dan bersatu tanpa terkurung dalam sekat-sekat denominasi. Tak juga terikat dalam angan membangun diri sendiri. Untuk elegannya, gereja perlu mengenal, menggali dan mengkritisi SKB itu sendiri, baik sejarah, keabsahannya dan implikasinya. SKB ini perlu menjadi bahan diskusi, bukan hanya bagi para petinggi gereja, melainkan seluruh umat.

Kelemahan kebanyakan gereja adalah tidak mengetahui dengan tepat isi SKB, dan kurang menyadari haknya dalam beragama dan ibadah sebagai anak bangsa yang dilindungi UUD. Kekurangtahuan ini menjadi embrio ketakutan yang berlebihan. Hukum harus ditegakkan, umat harus berani demi kebenaran, bukan pembenaran. Dari segi kebersamaan, gereja sangat perlu membangun jejaring harmonis, yang dulu terasa dalam gerakan oikumene yang perlu mendapat ruang besar dari berbagai gereja, dengan membuang virus curiga.

Perasaan unggul untuk mendominasi, harus diganti menjadi kasih yang bukan kompromi, tapi kebersamaan yang sejati dalam keragaman perbedaan yang ada. Dengan demikian, gereja akan tampil kuat dalam menyuarakan dan menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki darah yang sama, dan menumpahkan darah yang sama pula, untuk kemerdekaan RI, yaitu darah merah putih. Gereja harus mampu tampil sebagai agen pemersatu, sesuai panggilannya. Di sisi lain, kehadiran gereja di lingkup sosial juga jangan sampai terjebak bersosialisasi dengan sesama anggota gereja saja. Gereja perlu hadir, berbagi rasa, berbagi tenaga, berbagi rejeki dengan masyarakat di sekitarnya. Bukankah Yesus telah bersabda, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Karena itu, pengaktualisasian yang diajarkan Yesus niscaya akan membawa gereja hadir seutuhnya dalam kehidupan kesehariannya. Yesus Kristus sebagai “manusia surgawi” ternyata sangat membumi. Bukankah kita manusia bumi sudah seharusnya juga membumi? Sebuah tanya yang butuh aktualita. Dengan kejelian dan kehadiran gereja di bumi pertiwi, kiranya SKB 2 Menteri, tak lagi menjadi isu yang selalu diisukan dalam kancah ketegangan antarumat beragama, dan ruang subur untuk pembodohan kerukunan umat beragama, apalagi jadi alat kontrol penguasa yang cuma mendapat titipan kekuasaan, dari Tuhan dan umat.

Semoga gereja jeli menelanjangi para pembodoh, dan hadir dalam kebersamaan anak-anak bangsa yang majemuk. Dan, semoga pula para pembuat keputusan “bertobat” selagi masih sempat, menghapus pembodohan masa lalu dan dosa yang terus bergulir, supaya bangsa kita punya harapan untuk masa depan.*
Ditulis untuk Tabloid Reformata/www.reformata.com

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer