Kehadiran gereja di Bumi, sudah seharusnya membumi. Ingatlah kidung indah para malaikat, ketika mengumandangkan pujian surga yang bermuara pada makna: damai di Bumi. Alangkah indahnya, jika itu menjadi mandat yang diwujudnyatakan gereja, yang tak sekadar hadir sebagai untaian syair di dalam keindahan nada, di setiap Natal, di setiap penghujung tahun, tetapi, sebuah kehangatan yang nyata, damai yang dirasa nyata, senyata kehadiran manusia di dalam dunia ini. Manusia yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus, manusia yang disapa, sebagai “gereja”. Menabur damai, adalah panggilan mulia bagi gereja. Sebuah nyanyian yang harus dikumandangkan dalam denyut kehidupan.
Ketika Yesus datang melawat Bumi, Dia melakukan “turba” (turun ke bawah) yang sejati. Turun dari surga yang mahatinggi, menjejakkan kehadirannya di bumi, menjadi sama dan salah satu dari antara kita gereja-Nya. Istilah “turba” awalnya muncul di era Orde Baru, era di mana pejabat kita sangat ahli dan jeli membuat singkatan, termasuk istilah kerja banyak menteri. Jadi, “turba” adalah tugas ke daerah yang dilakukan menteri. Entah kenapa tugas ke daerah itu disebut “turun ke bawah”, tak jelas. Tapi yang jelas, sudah seharusnya pemimpin ada bersama yang dipimpinnya. Dan turun ke bawah, juga menjadi semacam pengorbanan bagi para petinggi dan penghinaan bagi kita yang dianggap berada di bawah.
Nah, kalau Yesus yang disebut “turba”, itu memang amat sangat tepat. Dia memang tinggi, sementara kita rendah, Dia memang mulia, sementara kita hina. Yesus Kristus, selama di Bumi tak mengambil posisi sebagai petinggi. Dia berbaur dengan keseharian orang kebanyakan. Bahkan, Yesus meletakkan nilai diri-Nya dalam kesamaan dengan mereka yang hina dan tersisih. “Kalian sudah mempedulikan Aku, ketika kalian peduli kepada saudara-Ku yang hina ini” (Mat 25:40).
Kehadiran-Nya yang sangat bersahabat itu, telah mengangkat harkat hidup banyak orang hina (yang dihina lingkungannya). Yesus, telah menciptakan damai, bukan hanya mengumandangkannya. Dia telah membuat damai hati mereka yang tersisih, yang tidak pernah dipedulikan oleh masyarakat sekitarnya, apalagi oleh para petinggi yang sering mangaku turba. Mereka seringkali merasa terlalu tinggi untuk turun ke bawah. Sebuah estetika hidup yang luar biasa telah didemonstrasikan oleh Yesus, sang kepala gereja.
Lalu, bagaimana dengan gereja-Nya? Sebuah pertanyaan yang serius, seserius ketika Yesus berkata, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang orang terkutuk, sebab engkau tidak memberi Aku makan ketika lapar, minum ketika haus, pakaian ketika telanjang.” Mereka yang dituduh, mencoba menyela dan bertanya, “Bilamana?” Yesus menjawab, “Ketika engkau tidak peduli pada mereka yang hina itu (Mat 25:41-46).
Akankah, penolakan itu yang akan menjadi kenyataan pahit bagi “gereja”? Entahlah, karena itu tetap sebuah misteri penghakiman. Namun yang pasti, sejauh kemampuan mata menatap, dan dalam keterbatasan menilai, yang tampak adalah, gereja seringkali berteduh di ketinggian menara gading. Tak banyak, dan, tak kompak, gereja yang membumi. Kebanyakan gereja terlalu tinggi untuk digapai, terlalu suci untuk dimengerti. Para petinggi gereja pun, banyak yang merasa karunianya besar, berkatnya luar biasa besar, bahkan nama dan kuasanya pun terlalu besar untuk dibuat menjadi kecil, agar bisa memberi damai, pada yang kecil-kecil.
Bahkan tak jarang, atas nama iman, yang kecil dituding kurang beriman, sehingga tetap kecil. Sungguh berbeda dengan Yesus yang sejati besar-Nya, tetapi tak menghardik yang kecil, melainkan mengangkat harkatnya. Tapi, tentu saja Yesus tak membabi buta dalam memihak yang kecil, karena tidak sedikit yang kecil nilai dirinya, tetapi sangat besar dosa dan kesombongannya. Nah, dosa yang tak diakui adalah kebencian bagi Yesus. Jadi, kembali kepada gereja, tentu tak perlu berdebat, apalagi menggugat mereka yang kecil, tetapi perlu menghayati, bagaimana untuk menjadi berkat yang membawa damai.
Gereja yang membumi adalah isu penting, mengingat gereja memang ada di Bumi dan dituntut memberi damai di Bumi dengan menjadi garam dan terang. Gereja perlu mengoreksi posisi, kalau-kalau dia kedapatan berlabuh terlalu tinggi di menara gading. Mengubah paradigma, seakan gereja yang diberkati Tuhan adalah gereja yang mampu membangun menara gading. Menara bukan barang haram, tetapi bukan cirri-ciri yang utama, apalagi identik dengan yang diberkati. Gereja bukan gedungnya, bukalah pintunya, lihat apa yang ada di dalam. Gereja adalah orangnya. Ya, itu adalah penggalan lagu di Kidung Jemaat yang sering dinyanyikan murid sekolah minggu, yang sayangnya diabaikan oleh jemaat dewasa, yang memang tidak kurang dewasa rohaninya.
Gereja juga perlu mengoreksi berita, agar tak terjebak pada perangkap: materialistis atas nama berkat, kesembuhan atas nama mukjizat, dan kekuatan iman yang bisa memaksakan keinginan kepada Tuhan. Bukankah Alkitab telah berkata, “Cari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semua akan ditambahkan kepadamu.” Materi, kesembuhan, keberhasilan, itu semua hal mudah bagi Tuhan. Namun ingat, itu adalah alat, bukan tujuan.
Gereja juga perlu mengoreksi kasih, agar tak sekadar menjadi pemanis bibir. Kasih bukan lagi retorika kosong. Kasih di gereja telah mengalami dekadensi, dan menggapai titik kritis. Gudang kasih nyaris kosong. Gereja harus membumi. Gereja yang membumi, adalah gereja yang terus-menerus diperbaharui, yang hadir dalam kehidupan umat, menyatu, memberi harapan, dan tentu saja menciptakan perubahan. Dan semua itu, tentu saja tanggung jawab kita bersama.
Selamat bagai Anda yang berada di front damai dengan berbagi diri, sementara yang terlena semoga mengerti kita masih di Bumi. Dan mari membumi, agar nama Tuhan dipermuliakan, seperti dalam Doa Bapa Kami: “Jadilah kehendakmu, di Bumi seperti di Surga.” Dan kehendak-Nya adalah: damai di Bumi. Semoga.*
Ditulis untuk Tabloid Reformata/www.reformata.com
Tuesday, September 29, 2009
DI BUMI, GEREJA MEMBUMI
Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================
0 comments:
Post a Comment