Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, September 16, 2009

2004 Dua Ribu Empat, Satu Lima Ratus

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

Judul ini mah plesetan. Jayus, itu istilah anak remaja masa kini, untuk mengomentari bahwa sesuatu itu tidak lucu atau dipaksakan supaya lucu, jadi ya enggak lucu. Judul ini dipilih untuk mengajak kita melirik tajam ke tahun 2004, tahun yang mengandung berjuta pertanyaan yang membutuhkan jawaban atau minimal analisis bijak.

Di tahun 2004 diharapkan terjadi pergeseran penting bagi perekonomian Indonesia, dari posisi tiarap perlahan-lahan dapat jongkok dan bahkan akhirnya berlari (tetapi yang pasti bukan melarikan diri, lho). Pada tahun ini dilaksanakan pemilihan umum (pemilu), di mana 24 partai politik (parpol) berpesta kampanye, menabur janji. Tetapi, kira-kira parpol-parpol itu akan menuai apa nanti, ya?

Pasca pemilu-pemilu sebelumnya, beliau-beliau yang berkampanye itu sibuk menuai posisi. Setelah menempati posisi yang enak, tingkat kesibukan mereka pun mendadak begitu tinggi, sehingga lupa kalau mereka pernah menabur banyak janji. Tetapi siapa peduli? “Janji ya tinggal janji. Ini kan janji politik, bukan janji benaran,” sanggah seorang orator ulung yang tidak ingin disebut nama dan jenis moralnya. Betul juga. Lha, wong janji pernikahannya saja bisa ditabrak (bolak-balik jadi manten), apalagi cuma janji waktu kampanye.

Inilah tragedi pesta rakyat. Rakyat hanya dituntut untuk menjalankan kewajiban meski untuk itu mereka harus meninggalkan ladang, sawah, warung atau libur mengasong dagangan. Hasilnya? Rakyat cuma kebagian kisah sedih kehidupan yang abadi, tanpa secuil pun perubahan. Kenapa? Karena janji-janji tinggal janji. Artinya, harapan itu hanya ada dalam mimpi. Sementara si pembuat janji yang kini menjadi pejabat, posisinya semakin tinggi dan asyik melakukan kolusi dan korupsi.

Pemilu 2004 ini menghasilkan apakah gerangan nanti? Akankah hasilnya sama dengan pesta rakyat yang sudah-sudah? Apakah kisah sedih yang sama akan terulang kembali, secara rutin? Segenap rakyat dan banyak pengamat menaruh harapan tinggi pada pesta rakyat kali ini. “Kita semakin demokratis,” kilah para pengamat. “Rakyat semakin dewasa, dan tidak lagi bisa dibodohi karena sudah semakin pintar,” lanjut para pengamat yang jarang sekali mendapat pengamatan itu. Betulkah analisis mereka itu? Fakta yang ada masih berkisar pada retorika belaka. Demokrasi tidak lebih dari komoditas dagangan yang diperjualbelikan dengan cara mudah dan harga murah. Lihat saja partai-partai politik di negeri ini. Ada yang usianya belum genap satu periode (lima tahun), tetapi sudah beranak-pinak. Ini merupakan bukti kalau kebanyakan dari elit politik negeri ini tidak mampu bertahan untuk bersatu dalam perbedaan. Bahkan, tanpa sopan-santun dan rasa malu sebagaimana ciri khas orang timur, mereka mengklaim bahwa perpecahan mereka adalah wujud demokrasi. Entah demokrasi apa.

Betapa sulit memahami cara berpikir mereka tentang hubungan demokrasi dan perpecahan yang disebabkan ketidakdewasaan dan ambisi yang over stock. Jegal-menjegal semakin kentara. Lalu parlemen yang terhormat dan selalu minta dihormati seringkali bermain kurang hormat. ‘Menghajar’ pejabat eksekutif yang dipanggil menghadap seringkali mereka gambarkan sebagai sikap seorang pendekar sejati. Sementara, di antara mereka (antarkomisi) pun suka saling ‘hajar’. Contoh, kasus jebolnya L/C Bank Negara Indonesia (BNI) 46 yang menelan dana sebesar triliunan rupiah itu, menjadi rebutan antara Komisi V dengan Komisi IX. Kedua komisi DPR RI ini merasa paling punya hak memeriksa kasus yang ‘menggiurkan’ itu. Maklum dalam kasus ini banyak tercecer ‘rupiah tak bertuan’.

Lain lagi sepak-terjang para eksekutif. Lihat saja, para menteri berjalan sendiri-sendiri, bersolo karir – istilah kerennya. Tidak terlihat benang merah program antara masing-masing departemen. Entah ada kaitannya dengan ‘kasus’ para menteri itu, Ibu Presiden pun mengaku pusing dengan kenyataan yang ada. Saking pusingnya, dia merasa sedang mengurusi keranjang sampah. Tak jelas apakah Beliau sudah memperhitungkan tentang keranjang sampah ini sebelum menduduki ‘singgasana panas’ RI-1. Jika tidak, lalu apa ya, yang dia hitung?

Sementara wajah hukum kita masih tetap seperti yang dulu: tetap setia berpihak kepada yang kuat. Supremasi hukum ‘sangat kuat’, dan mengesankan, namun terpenjara dalam ruang seminar, menjadi ajang adu hebat antara ahli hukum yang seringkali tampak tidak ahli karena keberpihakannya yang sangat kentara pada kekuatan tertentu, alias pesan sponsor. Istilah kerennya, Mafia Peradilan! baca selanjutnya,..

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer