Pinang-meminang antara para calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) berakhir sudah. Entah apa dan berapa jumlah ‘mas kawin’nya, tak jelas terdengar. Yang kita tahu cuma perhelatan tiap pasangan berlangsung meriah dan diusahakan se-heroik mungkin. Heroik, karena acara dilakukan di tempat yang memiliki nilai sejarah, seperti Tugu Proklamator, atau tempat lainnya. Pernyataan-pernyataan mereka pun meniru-niru tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, bahkan tidak segan-segan memproklamirkan diri sebagai harapan bangsa. “Hanya akulah satu-satunya yang mampu menolong bangsa ini,” itu inti kampanye mereka, walaupun disampaikan secara malu-malu.
Media massa, baik cetak maupun elektronik yang meliputnya, kembali menuai iklan gelombang kedua setelah pemilihan umum legislatif yang telah usai. Kelima pasang capres – cawapres yang sudah terdaftar secara resmi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera memasang iklan. Masing-masing menyebut diri sebagai pasangan yang sangat ideal: militer dengan sipil, religius dengan nasionalis, dan satu lagi – pasangan pembela reformasi. Gong kampanye memang belum dibunyikan, namun dengan jeli mereka memperkenalkan program sekaligus mendaulat diri sebagai pimpinan yang akan membawa negeri ini keluar dari jurang kehancuran.
Entah apa yang sudah pernah mereka kerjakan sehingga mereka yakin mampu mewujudkan janjinya. Fakta yang ada, kemampuan berbicara mereka memang cukup baik, tetapi kemampuan kerja masih menyisakan sejuta tanya, apalagi bicara mengenai integritas, terasa semakin gelap. Padahal yang dibutuhkan bangsa ini bukan juru kampanye (jurkam) melainkan pemimpin tulen.
Untuk menyukseskan langkah menuju istana, mereka membentuk barisan pendukung, pembela, atau apa pun namanya. Suasananya sangat meriah, maklum baru kali inilah rakyat diberi ‘kehormatan’ memilih junjungannya. Nah, di tengah hiruk- pikuk ‘pesta kawin’ para capres tersebut, hadir pula tamu-tamu yang notabene petinggi parpol peserta pemilu yang tidak bisa mencalonkan diri karena suara yang diperoleh partainya tidak mampu melewati angka keramat 3 %. Tidak lolos menjadi capres-cawapres, tidak membuat mereka ‘alergi’ dengan politik dan kekuasaan. Maklum kekuasaan memiliki daya tarik yang sangat hebat. Para tamu agung yang tidak pernah kehabisan akal ini berusaha menjalin koalisi dengan partai pemenang pemilu. Untuk apa? Tentu saja untuk mencari ‘kesempatan’ memperoleh kursi atau posisi.
Kursi atau posisi yang dimaksud di sini bisa jadi berupa jabatan di kabinet atau menggarap proyek tertentu dari pemerintah. Dan hal semacam ini memang lumrah dalam dunia politik. Hanya saja, ini menjadi tak lumrah bagi partai-partai politik yang meneriakkan idealisme dan janji-janji selangit kepada konstituen (pemilih)-nya.
Buruh adalah seorang konstituen sebuah partai. Dengan berang dan suara garang dia berkata, “Berkoalisi, itu sama saja dengan menjual ideologi yang saya yakini! Ideologi yang mereka ajarkan pada saya dengan semangat yang berapi-api. Yang sudah saya yakini setengah mati. Tapi sekarang apa?”
Badut, temannya, menjawab dengan lugu, “Kok bisa begitu?”.
“Lha, bagaimana tidak!” sergah Buruh, tetap dengan nada garang. “Wong dulu mendirikan partai, alasannya kan jelas, yaitu untuk memperjuangkan kepentingan kita. Partai didirikan dengan biaya tinggi, waktu, tenaga banyak terbuang. Dan karena itu pula saya memilihnya. Tetapi sekarang tidak ada yang mau memperjuangkan nasib kita. Jika ternyata kalah, mengapa harus berkoalisi?” lanjut Buruh masih tetap galak.
Badut mencoba menenangkan temannya dan berkata, “Aku membaca koran, para pemimpin partai berkata bahwa partai memiliki persamaan visi. Itulah sebabnya partai kita bergabung dengan partai lainnya.”
Buruh yang kelihatannya belum mau terima, masih bersikukuh dengan sikapnya. “Tidak bisa! Mestinya, kalau memang ada persamaan visi, itu kan sudah diketahui sejak awal. Artinya kalau memang ada persamaan visi ngapain ramai-ramai mendirikan partai. Kan lebih bagus bergabung sehingga menjadi lebih kuat sejak awal, suara menyatu, tidak terpecah seperti sekarang ini. Kalau yang terjadi sekarang ini kan akal-akalan,” teriaknya, bak orator ulung. baca selanjutnya,..
Wednesday, September 16, 2009
Ketika Persekongkolan Mengabaikan Nilai
Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================
0 comments:
Post a Comment