Pdt. Bigman Sirait
Bapak
Pengasuh, tidak terasa NATAL kini tiba, ada hal yang ingin saya
tanyakan sebagai umat Kristen. Apa sesungguhnya inti dari NATAL. Jika
setiap tahun dirayakan, apa yang menjadi keharusan untuk umat Kristen
sama-sama merayakan di seluruh dunia? Bagaimana cara yang tepat untuk
merayakan NATAL? Bagaimana dengan mereka yang tidak merayakan NATAL? Apa
pesan penting di NATAL tahun ini dengan melihat kondisi bangsa kita
maupun umat Kristen di Indonesia?
Hasudungan,
BSD
Hasudungan,
BSD
Sdr.
Hasudungan yang dikasihi Tuhan, pertanyaan anda sangatlah pas untuk
menghantar kita mempersiapkan diri dengan benar. Kita mulai dari Natal
yang sesungguhnya, yang harus dipahami, bahwa Yesus Kristus yang sama
dan sehakekat dengan Allah (Filipi 2:6-9), rela datang kedalam dunia
menjadi manusia. Dia menanggalkan ke-Illahian-Nya yang kekal, mulia, tak
terbatas, dan tak tersentuh. Dia menjadi manusia, mengambil rupa
seorang hamba dan bukan raja. Terlahir ditempat hina dan bukan istana
mulia. Tamunya bukan raja dunia, tetapi gembala domba yang berkedudukan
rendah. Natal, Yesus Kristus menjungkirbalikkan tataran nilai manusia
yang gila hormat, dan tak rela merendahkan diri. Menjungkirbalikkan
semangat manusia yang ingin menguasai, bahkan menghabisi sesamanya, dan
bukannya semangat berbagi. Natal memiliki semangat kehambaan dan
kerelaan yang luar biasa. Inilah sejatinya Natal. Karena itu,
merayakannya adalah tradisi gereja yang sangat baik. Akan terasa sulit
menghayatinya jika melihat cara gereja memaknai dan merayakan Natal,
serba mewah, dengan pesta meriah.
Cara tepat merayakan Natal sangatlah jelas, sesuai dengan makna Natal itu sendiri. Merayakan dalam nuansa perenungan, ini nyaris hilang. Lagu malam kudus tak lagi khusyuk dinyanyikan, bahkan tenggelam oleh lagu dan suasana bingar. Merayakan Natal jangan sampai kebablasan. Misalnya, waktu kita lebih banyak habis untuk persiapan asesoris, ketimbang mempersiapkan hati. Belum lagi soal pakaian yang dianggap penting, sementara kualitas perenungan terbengkalai. Biaya Natal membengkak, hampir pasti menjadi biaya tertinggi dari semua hari raya gerejawi. Natal sejatinya adalah Tuhan yang turun dari surga mulia, di dalam perayaannya menjadi gairah untuk naik ketempat “mulia.” Jika Natal sejati adalah Tuhan berbagi diri, Natal kini justru mengumpulkan untuk diri. Natal sejati membuat kita merasakan perhatian dan kasih Yesus Kristus, Natal kini gereja malah mengabaikan mereka yang terpinggirkan. Sdr. Hasudungan tentu bisa menilai situasi Natal masa kini. Namun demikian, kita harus tetap merayakan, namun dengan semangat yang semestinya, dengan harapan dapat menjadi model benar bagi gereja lainnya. Ini perlu dalam perjalanan keimanan kita. Berdoa agar gereja berbalik arah, berlomba menjadi benar dalam perayaan Natal, bukan makin tenggelam dalam semangat hedonis.
Soal mereka yang tidak merayakan Natal, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, yang tidak merayakan sudah pasti mereka yang tidak beragama Kristen. Maka, dengan sendirinya Natal bukanlah hari raya agamanya. Ini cukup jelas. Namun, yang menjadi sedikit masalah adalah, jika mereka Kristen, namun tidak mau merayakan Natal. Tapi ini juga terbagi dua. Yang pertama, ada memang kelompok yang tidak setuju dengan Natal karena dirayakan tanggal 25 Desember, yang dikatakan sebagai hari raya dewa matahari. Ini kisah klasik, dengan keberatan yang sesungguhnya kurang beralasan. Jika tidak setuju dengan tanggal 25 Desember mau tanggal berapa? Silahkan berikan argumentasinya. Jadi bukan tidak merayakannya. Jika sebagai gereja yang berjiwa sama dengan gereja diseluruh dunia, marilah dengan rendah hati, sesuai makna Natal itu sendiri, kita bersatupadu merayakannya.
Nah, ada juga yang tidak merayakannya karena tidak percaya, dan tidak menerima bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Jadi untuk apa dirayakan, karena itu bisa jadi dianggap pemberhalaan. Untuk yang ini jelas berbeda dengan iman kristen yang sejalan dengan kesaksian Alkitab. Jelas, gereja tidak sejalan dengan sikap seperti ini. Jika Yesus Kristus bukan Tuhan, maka sia-sialah iman kita kepada-Nya. Kelahiran, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya, kehilangan nilai dan kuasa. Maka itu juga berarti sia-sialah kita percaya, karena keselamatan bukan lagi kepastian. Dan, yang paling gawat lagi, adalah kita harus menghapuskan keempat injil dan kitab para rasul, yang semua seia-sekata menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang ke Tuhanan Yesus Kristus. Gereja percaya Alkitab itu, baik PL dan PB adalah benar dan tidak ada salahnya dalam teks aslinya. Kalaupun ada kekurangan, itu lebih karena transmisi dan transletter, dari satu bahasa kebahasa lainnya, yang memang seringkali memiliki perbedaan karakter. Jadi jelas gereja sangat bertanggungjawab, dan memiliki alasan yang sangat kuat dalam perjalanan waktu yang sangat panjang, dalam merayakan Natal. Tak ada yang salah dengan Natal, bahkan semangat Natal sangat sejalan dengan kesaksian Alkitab.
Sementara, dalam kaitan dengan situasi kebangsaan, semangat Natal amat sangat tepat, dimanapun dan kapanpun. Natal memiliki semangat perdamaian antara Allah yang suci dengan manusia berdosa. Natal menyeberangi jarak yang tak terbilang. Bayangkan, jika semangat itu menjadi kekuatan bagi bangsa, maka persatuan dan kesatuan, karena perdamaian, menjadi keniscayaan bagi bangsa kita, bahkan bangsa diseluruh dunia. Jika saja semangat Natal, yaitu semangat berbagi hidup dalam keseharian umat, maka seluruh anak bangsa akan merasakan bukan saja perhatian, tetapi juga kehadiran nyata gereja yang berbagi. Ada banyak orang kesulitan secara ekonomi, mereka akan sangat tertolong. Begitu juga dengan fakta ketidakadilan, ketidakjujuran, keserakahan, semuanya akan terkoreksi oleh semangat Natal. Natal akan menjadi inspirasi yang kuat bagi semua insan manusia dalam menuju hidup bersama dan saling mengasihi. Bukankah semangat Natal sangat membumi, dan tepat bagi siapa saja. Inilah keunggulan Natal yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua bangsa, dan semua agama. Akhirnya, kiranya jawaban ini mengispirasi kita untuk meluruskan semangat Natal yang semestinya. Selamat hari Natal, Tuhan memberkati.
Cara tepat merayakan Natal sangatlah jelas, sesuai dengan makna Natal itu sendiri. Merayakan dalam nuansa perenungan, ini nyaris hilang. Lagu malam kudus tak lagi khusyuk dinyanyikan, bahkan tenggelam oleh lagu dan suasana bingar. Merayakan Natal jangan sampai kebablasan. Misalnya, waktu kita lebih banyak habis untuk persiapan asesoris, ketimbang mempersiapkan hati. Belum lagi soal pakaian yang dianggap penting, sementara kualitas perenungan terbengkalai. Biaya Natal membengkak, hampir pasti menjadi biaya tertinggi dari semua hari raya gerejawi. Natal sejatinya adalah Tuhan yang turun dari surga mulia, di dalam perayaannya menjadi gairah untuk naik ketempat “mulia.” Jika Natal sejati adalah Tuhan berbagi diri, Natal kini justru mengumpulkan untuk diri. Natal sejati membuat kita merasakan perhatian dan kasih Yesus Kristus, Natal kini gereja malah mengabaikan mereka yang terpinggirkan. Sdr. Hasudungan tentu bisa menilai situasi Natal masa kini. Namun demikian, kita harus tetap merayakan, namun dengan semangat yang semestinya, dengan harapan dapat menjadi model benar bagi gereja lainnya. Ini perlu dalam perjalanan keimanan kita. Berdoa agar gereja berbalik arah, berlomba menjadi benar dalam perayaan Natal, bukan makin tenggelam dalam semangat hedonis.
Soal mereka yang tidak merayakan Natal, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, yang tidak merayakan sudah pasti mereka yang tidak beragama Kristen. Maka, dengan sendirinya Natal bukanlah hari raya agamanya. Ini cukup jelas. Namun, yang menjadi sedikit masalah adalah, jika mereka Kristen, namun tidak mau merayakan Natal. Tapi ini juga terbagi dua. Yang pertama, ada memang kelompok yang tidak setuju dengan Natal karena dirayakan tanggal 25 Desember, yang dikatakan sebagai hari raya dewa matahari. Ini kisah klasik, dengan keberatan yang sesungguhnya kurang beralasan. Jika tidak setuju dengan tanggal 25 Desember mau tanggal berapa? Silahkan berikan argumentasinya. Jadi bukan tidak merayakannya. Jika sebagai gereja yang berjiwa sama dengan gereja diseluruh dunia, marilah dengan rendah hati, sesuai makna Natal itu sendiri, kita bersatupadu merayakannya.
Nah, ada juga yang tidak merayakannya karena tidak percaya, dan tidak menerima bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Jadi untuk apa dirayakan, karena itu bisa jadi dianggap pemberhalaan. Untuk yang ini jelas berbeda dengan iman kristen yang sejalan dengan kesaksian Alkitab. Jelas, gereja tidak sejalan dengan sikap seperti ini. Jika Yesus Kristus bukan Tuhan, maka sia-sialah iman kita kepada-Nya. Kelahiran, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya, kehilangan nilai dan kuasa. Maka itu juga berarti sia-sialah kita percaya, karena keselamatan bukan lagi kepastian. Dan, yang paling gawat lagi, adalah kita harus menghapuskan keempat injil dan kitab para rasul, yang semua seia-sekata menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang ke Tuhanan Yesus Kristus. Gereja percaya Alkitab itu, baik PL dan PB adalah benar dan tidak ada salahnya dalam teks aslinya. Kalaupun ada kekurangan, itu lebih karena transmisi dan transletter, dari satu bahasa kebahasa lainnya, yang memang seringkali memiliki perbedaan karakter. Jadi jelas gereja sangat bertanggungjawab, dan memiliki alasan yang sangat kuat dalam perjalanan waktu yang sangat panjang, dalam merayakan Natal. Tak ada yang salah dengan Natal, bahkan semangat Natal sangat sejalan dengan kesaksian Alkitab.
Sementara, dalam kaitan dengan situasi kebangsaan, semangat Natal amat sangat tepat, dimanapun dan kapanpun. Natal memiliki semangat perdamaian antara Allah yang suci dengan manusia berdosa. Natal menyeberangi jarak yang tak terbilang. Bayangkan, jika semangat itu menjadi kekuatan bagi bangsa, maka persatuan dan kesatuan, karena perdamaian, menjadi keniscayaan bagi bangsa kita, bahkan bangsa diseluruh dunia. Jika saja semangat Natal, yaitu semangat berbagi hidup dalam keseharian umat, maka seluruh anak bangsa akan merasakan bukan saja perhatian, tetapi juga kehadiran nyata gereja yang berbagi. Ada banyak orang kesulitan secara ekonomi, mereka akan sangat tertolong. Begitu juga dengan fakta ketidakadilan, ketidakjujuran, keserakahan, semuanya akan terkoreksi oleh semangat Natal. Natal akan menjadi inspirasi yang kuat bagi semua insan manusia dalam menuju hidup bersama dan saling mengasihi. Bukankah semangat Natal sangat membumi, dan tepat bagi siapa saja. Inilah keunggulan Natal yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua bangsa, dan semua agama. Akhirnya, kiranya jawaban ini mengispirasi kita untuk meluruskan semangat Natal yang semestinya. Selamat hari Natal, Tuhan memberkati.
0 comments:
Post a Comment