AH, judul ini mungkin
terasa sangat mengganggu. Apakah Yesus itu barang,
sehingga ada harga jualnya? Atau, kalaupun ada, apakah itu manusiawi, karena
manusia sangat berharga, dan tak mungkin ada harga yang bisa dicantumkan pada
dirinya. Apalagi berbicara
tentang Yesus, Allah yang menjadi manusia (Filipi 2: 5-6), wow, mana bisa! Seharusnya memang tidak bisa, namun kenyataannya
memang pahit, Yesus terjual. Bahkan terjual dengan harga yang sangat murah. Kenyataan pahit ini
tak bermula dari penjahat kelas berat, atau penjudi ulung, atau, artis kebelet
duit. Pahit, karena justru bermula dari orang dalam yang termasuk murid, yang
memiliki posisi strategis sebagai bendahara. Sang murid bernama Yudas Iskariot,
satu dari antara dua belas rasul yang kemudian sangat terkenal sebagai pengkhianat
(Markus 3:19).
Nama Yudas sama
terkenalnya dengan Petrus dan Yohanes, hanya saja dalam konteks dan kualitas
yang sangat berbeda. Yudas Iskariot (Ibrani; Isyqeriyot yang artinya orang
Keriot), berasal dari Keriot. Kurang jelas, apakah Keriot tempat asal Yudas
adalah Keriot yang di Moab,
atau yang di selatan Hebron
(dalam Alkitab banyak kota,
orang, yang bernama sama). Yudas Iskariot bukan penulis kitab Yudas, hanya
namanya saja yang sama.
Nah, kembali
kepada Yudas, murid, rasul, bendahara, yang juga pengkhianat. Yudas juga piawai
bersilat lidah, satu sisi sepertinya dia peduli dan membela orang miskin,
padahal di sisi lain keuntungan dirilah yang dipikirkannya (Yohanes 12:1-8).
Ya, Yudas memang “berbakat” sebagai pengkhianat. Entah sudah berapa banyak
pelajaran tentang kebenaran yang dia dapat dari Yesus, tapi tak pernah
bertumbuh apalagi berbuah.Dalam perumpamaan tentang penabur, Yudas bagaikan
benih yang jatuh di tengah semak duri (Matius 13: 22). Episode demi episode mukjizat hebat,
disaksikannya, tapi benih kebenaran tak pernah tumbuh dan berbuah dalam hatinya.
Hati nurani dibunuhnya, uang menjadi tuannya, maka Yudas telah memilih jalan
hidupnya. Yesus dijual seharga 30 keping perak, harga seorang budak (Keluaran 21: 32). Sangat ironis, Yesus, Allah
yang menjadi manusia, raja yang menjadi hamba, penebus dosa manusia, sang juru selamat
terjual dengan harga yang amat sangat murah.
Namun , di sisi
lain, kerelaan Yesus menjadi hamba justru tergenapi dalam pengkhianatan ini. Uang
telah membuat Yudas gelap mata. Soal mamon ini tak hanya mewarnai kehidupan
duniawi saja, namun juga merata keberbagai sudut kehidupan. Dunia rohani bahkan sering kali lebih
duniawi dari dunia itu sendiri. Manusia beragama model
Yudas tak pernah habis dari panggung kehidupan. Selalu saja ada generasi
pengganti. Sementara pelayan sejati sering kali seperti kehilangan garis.
Kegairahan terhadap daya tarik mamon semakin hari semakin menggila. Hal ini
tepat seperti lukisan Paulus dalam II Timotius 3: 2, di akhir jaman manusia
akan menjadi hamba uang. Manusia kehilangan kendali menjadi tuan atas uang.
Kisah Yudas, mengingatkan
kita dengan terang-benderang, bahwa jabatan kerohanian tak serta-merta membuat
seseorang imun terhadap godaan uang. Yudas adalah seorang rasul, lebih dari
seorang pendeta secara jabatan. Kedekataannya dengan Yesus dalam aktivitas
sehari-hari tak bisa dipungkiri, namun tak menjamin kualitas pelayanan. Yudas
merasa perlu dan berhak mendapatkan tiga puluh keping perak, sekalipun untuk
itu Yesus harus dijual. Sementara Yesus, “rela terjual murah”, asal keselamatan
terwujud menjadi kenyatan dalam kehidupan umat. Yudas “beringas” demi uang:
“beringas” menjual Yesus, “beringas” dalam baju suci kerasulan. Dan yang tak
kalah mengerikan, dia juga “beringas” dalam kemunafikan kepedulian pada kaum
papa. Yudas telah mengerahkan seluruh kemampuannya memainkan seluruh jurus pengkhianatan
berbaju kerohanian.
Dalam konteks
kekinian, ternyata tak kurang panjang barisan pengikut Yudas, sama panjang
dengan barisan penjual Yesus. Kini, tak sedikit orang yang sangat bernafsu
menabikan atau merasulkan diri, atas nama ketetapan Tuhan. Tak pula kurang
orang berjual-beli kebenaran, yang menjual Yesus dengan memutarbalikkan
kebenaran. Kebenaran dibuat berpusat pada diri dan menguntungkan diri. Khotbah
disampaikan untuk menyenangkan telinga umat, khususnya kamu berduit, untuk
memancing duit mereka. “Hamba Tuhan” bajunya, hatinya hamba uang. Istilah
“salesman Injil” semakin hari semakin terkenal, seturut terkuaknya gaya hidup banyak
“pendeta besar” yang tak kalah dengan selebritis kelas atas.
Banyak orang telah
mengambil keuntungan besar dengan mengobral Yesus. Celakanya, semua berjalan tepat waktu, karena
market juga dipenuhi manusia bermental hati ahli Taurat. Yang mau tampak benar
di arena keseharian, tampak rohani, bersih dan berbudi, sekalipun mereka benci
terhadap kejujuran dan kesucian. Karena itu “obral
kebenaran” mereka serbu. Mereka suka mengonsumsi produk obral ini, mereka
tampak rohani tanpa harus sungguh-sungguh rohani. Cukup dengan kata-kata amin,
sedikit kegiatan, dan besarnya sumbangan semua menjadi benar dan “dipakai
Tuhan” sesuai label yang diberikan para “hamba Tuhan”. Semakin tinggi bayaran,
semakin rohani si pemberi dalam khotbah “hamba Tuhan”. Transaksi jual-beli
terus meninggi, limpahan materi mengalir deras ke pundi-pundi “hamba Tuhan”. Gaya hidup supermewah
mewarnai sepak terjang mereka atas nama berkat Ilahi, padahal hasil menjual
kebenaran.
Yesus dijual
dengan mengobral berkat besar, dan menutupi penyangkalan diri apalagi memikul
salib sesuai perintah Yesus sendiri. Ya, Yesus dijual dengan mengorupsi,
memanipulasi kebenaran, bahkan membangun kebenaran baru atas nama wahyu baru.
Maka klaim diri semakin meninggi, dan ini akan diikuti dengan “harga jual” yang
juga semakin tinggi. Lagi-lagi Yesus terjual murah. Dan, lagi-lagi yang salah
tampaknya benar secara suara, mereka tampaknya mayoritas, sama persis seperti
Yesus tersalib. Yesus tampak minoritas, para ahli Taurat-lah yang mayoritas.
Dan ini didukung pada kebiasaan kita tentang suara terbayak sebagai yang benar
dan menentukan. Menyakitkan, tapi itulah kenyataan. Dosa akan pesta pora,
sukses menggaet banyak pengikut, hingga kedatangan Yesus yang kedua kali.
Akankah pencinta
kebenaran sejati akan bertahan di tengah polusi jual-beli Yesus? Sebuah
pertanyaan yang harus dijawab dengan hidup menjalani kebenaran tanpa kompromi.
Berani miskin tanpa harus memiskinkan diri, sebaliknya juga berani kaya tanpa
harus memperkaya diri, melainkan berkarya penuh dengan pasrah penuh pada berkat
Ilahi. Biarlah aku menerima bagianku yang Tuhanku, bukan apa yang aku mau
(Amsal 30: 7-9). Apakah “jual beli Yesus” akan berhenti? Sekali lagi tidak, dan
tidak akan! Transaksi akan terus berlangsung, yang penting Anda tak terlibat di
sana. Atau,
jika sudah terjebak ada di dalam, segera keluar memisahkan diri, jika tak ingin
hangus diri. Dijual : Yesus! Tapi, semoga Anda dan saya bukan penjual ataupun
pembelinya.
0 comments:
Post a Comment