Sesungguhnya topik
ini biasa-biasa saja. Tetapi bisa menjadi tidak biasa jika diperdebatkan dalam
kerangka pikir berbagai aliran. Istilah aliran sengaja dipakai sebagai bentuk
lebih sempit dari denominasi. (Denominasi dalam pengertian ini adalah satu
keyakinan/ketentuan organisasi gereja). Harap maklum, satu denominasi juga bisa
berbeda dalam masalah ini. Dalam perspektif sosiologis, budaya berarti sebuah
konsep, tindakan atau adat istiadat/kebiasaan. Budaya yang tinggi akan
membuahkan nilai hidup yang tinggi pula. Dan tingginya budaya, berkaitan erat
dengan tingginya tingkat keilmuan masyarakatnya. Jadi budaya dapat dikatakan
sebagai identitas dan bukti kualitas hidup masyarakatnya. Sementara, dalam
perspektif teologis, budaya sangat berkaitan erat dengan kemampuan manusia
dalam membangun relasi dengan sesamanya. Semakin tinggi pemahaman seseorang
akan kebenaran maka akan semakin tinggi pula gairah kasihnya terhadap sesama.
Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kejadian
1:26-28). Kepada manusia, Allah juga memberikan sesuatu amanat yang disebut
dengan mandat budaya. Mandat budaya itu berupa
‘tugas’ untuk berkembang biak menjadi sebuah komunitas yang saling
menolong dan bertanggung jawab atas pengelolaan alam semesta (Kejadian 2:15).
Dalam Matius 22:37-40, disebutkan pula bahwa sebagai mahluk beragama, manusia
dituntut untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa dan
dengan segenap akal budi. Dan sebagai
mahluk berbudaya manusia dituntut untuk mengasihi sesamanya seperti mengasihi
diri sendiri. Jadi budaya tertinggi umat manusia itu adalah kemampuannya hidup
berdampingan dalam kedamaian karena kasih.
Lalu, bagaimana
dengan budaya keseharian seperti upacara adat-sitiadat? Apakah ini sah atau
tidak? Diterima atau ditolak? Perdebatan ini sudah terjadi sejak lama, hingga
H.Richard Niebuhr, seorang teolog imigran Jerman kelahiran Amerika, menulis
sebuah buku berjudul Kristus dan Budaya pada tahun 1951.(Catatan:
Penulis belum lahir pada waktu itu). Dalam bukunya itu, Niebuhr menggambarkan
beberapa sikap terhadap budaya. Pertama sikap radikal, yaitu menolak budaya.
Dalam I Yoh 2: 15 – 17 dikatakan, manusia harus menolak dunia. Bagi kelompok
ini, kata dunia berarti budaya. Penafsiran mereka, budaya itu dosa dan harus
dihancurkan. Wujud penghancurannya sendiri beraneka ragam. Sangat disayangkan
bahwa kata dunia yang lebih menunjuk pada sifat kedagingan/duniawi,
diterjemahkan sebagai budaya. Budaya adalah bagian dan produk manusia. Jika
budaya ditolak, maka berarti manusianya pun harus ditolak. Manusia dan budaya
itu melekat menjadi satu. Padahal kesalahan terbesar bukanlah pada budayanya,
tetapi pada manusianya. Budaya sangat tergantung kepada perilaku manusia. Jadi
jika budaya hendak dibereskan, maka yang perlu dibereskan adalah manusia yang
memproduksi budaya itu.
Yang kedua adalah
sikap akomodatif, yaitu sikap oposisi terhadap yang pertama (yang menolak
budaya). Bagi kelompok kedua ini, budaya adalah bagian dari hidup manusia. Bagi
manusia, budaya itu sejajar dengan agama. Asumsinya Tuhan datang untuk
menggenapi, bukan meniadakan Taurat (Matius 5:17). Sikap kelompok ini ada
benarnya, yaitu budaya tidak bisa dibuang begitu saja. Tetapi segera muncul persoalan
baru, yaitu ketika kelompok ini
menyamakan budaya dengan agama. Karena ayat yang dijadikan sebagai argumen
tidak membicarakan hal yang dimaksud, tetapi lebih pada penggenapan harapan
Mesias yang ada pada Taurat, dan tuntutan pada orang Yahudi untuk tidak
mengabaikan Injil dan mengkonfrontasikannya dengan Taurat.
Sikap yang pertama kebanyakan didominasi oleh kaum fundamentalis,
sementara yang kedua oleh kaum liberalis. Sikap ketiga merupakan perpaduan sikap pertama dengan yang kedua.
Dan sikap keempat merupakan paradoks. Namun kedua sikap yang disebut terakhir
ini tidak dibahas mengingat keterbatasan ruang dan juga posisi yang kurang
jelas dari keduanya. Sikap ketiga dan keempat ini lebih merupakan sintetis yang
semu, rancu dan tidak final dari sikap pertama dan kedua.
Sikap kelima
adalah pembaharuan. Matius 5:45 mengatakan, bahwa Tuhan menerbitkan matahari
bukan hanya untuk orang benar tetapi juga untuk orang berdosa. Ayat ini memberi
‘tugas’ kepada kita bagaimana menjadikan orang-orang berdosa itu supaya
mengenal Tuhan. Jadi bukan bagaimana membuang apalagi menghancurkan mereka.
Artinya, jika kita menilai suatu budaya berbau mistis, tidak benar, dan seribu
permasalahan lainnya, marilah kita bereskan alias kita perbaharui. Pembaharuan
di sini bertujuan untuk membawa budaya kembali kepada Khaliknya. Tujuan budaya
itu dibenarkan oleh kebenaran Alkitab.
Seperti Kristus memperbaharui kita
melalui penebusan, bukankah kita juga dipanggil untuk memperbaharui dunia ini
dengan menjadi terang dan garam? Ingat, budaya itu tergantung pada manusianya.
Artinya, kalau manusianya benar karena sudah diperbaharui maka budayanya pasti
dalam kerangka memuliakan Tuhan, karena sudah diperbaharui. Jadi yang
dipentingkan adalah manusianya, bukan budayanya. Yang dipentingkan adalah
isinya, bukan kulitnya. Tugas kita umat kristiani adalah memberitakan Injil,
bukan menghancurkan budaya. Kita tidak dipanggil mengalahkan atau bahkan
menistakan budaya, namun memperbaharui bukan mengutuki. Tugas mulia untuk
membenahi kekisruhan yang terjadi di dalam dunia ini.
Sangat tidak bisa
dibayangkan jika suatu budaya – karena alasan berbau mistis – harus
dihancurkan. Mengapa? Karena dengan tindakan itu berarti kita harus
menghancurkan seluruh budaya di Indonesia, bahkan dunia. Harap dimaklumi,
sebelum Kristen masuk ke Indonesia mau pun
ke dunia lainnya, yang namanya budaya itu sudah ada – baik yang berbau
mistik atau tidak. Jika ingin konsisten, maka pakaian kita pun harus sesuai
dengan manusia pertama, yaitu dari kulit binatang, bukan kain (Kejadian 3:21).
Dan yang membuat pakaian itu harus Tuhan, karena jika buatan manusia pasti
‘penuh dosa dan jampi-jampi’. Bahkan apa yang dibuat Tuhan untuk manusia di
Taman Eden, itupun dalam kondisi manusia telah jatuh ke dalam dosa. Tuhan yang
membuat tidak berdosa tetapi manusia yang memakainya berdosa.
Berdasarkan hemat
penulis, ajaran Kristen yang benar tentu
tidak akan menyisakan kebingungan.
Perlawanan karena kebenaran itu berbeda dengan kebingungan. Karena itu
berbagai sikap anti budaya seperti pembakaran ulos dalam budaya Batak harus
dikaji ulang. Rumah Anda – khususnya yang ada di real estate pun mungkin
perlu dibakar, mengingat kebanyakan pembangunan rumah pada waktu naik atap
dipasangi buah pisang dan lain sebagainya menurut keyakinan mistis tukang yang
mengerjakannya. Dan yang lainnya, bahkan mungkin semua yang kita pakai harus
dibakar juga. Lalu apa makna kemerdekaan oleh Kristus kalau kita masih
terjajah. Perlu dibaca tuntas : I Korintus 8:1-13; I Korintus 6:12-20. Tidak
ada berhala dalam makanan atau pakaian. Berhala ada pada apa yang Anda yakni
termasuk memberhalakan pembakaran, yaitu dengan selalu membenarkan diri, dengan
memakai ayat suci . Akhirnya Mata Hati mengucapkan, “Selamat menjadi
manusia baru yang memperbaharui budaya untuk puji hormat bagi Tuhan kita Yesus
Kristus.” ***
0 comments:
Post a Comment