Jumat Agung, sebuah
peringatan sakral umat kristiani, yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus
untuk terus-menerus diperingati umat sebagai orang percaya (Lukas 22:19-20). Ya, kematian kudus, di mana
darah kudus tertumpah untuk menyucikan manusia yang berdosa. Karena itu,
penyebutan Jumat Agung amat sangat tepat untuk melukiskan karya agung Yesus
Tuhan. Namun, ini bukanlah peristiwa yang berjalan mudah, bahkan sangat
menegangkan. Adalah Taman Getsemani, menjadi saksi bisu pergumulan berat Yesus
Kristus dalam mengemban misi suci yang dengan sukarela dipilih-Nya. Di taman ini,
di kala para murid tertidur lelap, Yesus justru bergumul sendirian dalam
ketegangan yang tak terbilang. Pergumulan atas cawan yang berisi murka Allah.
Murka yang ditumpahkan karena dosa manusia.
Kesucian Allah tak dapat menolelir dosa, murka Allah tak mungkin
ditiadakan. Dan, inilah yang menjadi persoalan manusia. Murka Allah adalah
kematian manusia sebagai akibat dosa. Semua manusia, bukan hanya sebagian. Itu
sebab, untuk penyelamatan dari kebinasaan akibat dosa harus ada yang menjadi korban
murka Allah. Yesus Kristus memilih itu dalam kerelaan-Nya (Filipi 2: 6-9) untuk
menyelamatkan manusia dengan menjadikan diri-Nya sebagai korban menerima murka
Allah.
Di Getsemani, di keheningan malam, Yesus menaikkan doa yang
menggambarkan pergumulan-Nya yang berat itu: “Ya, Bapa jikalau boleh, biarlah
cawan ini lalu dari-Ku”. Sebuah permintaan yang tak berhenti di situ, karena
berlanjut pada sikap rela yang luar biasa: “Namun bukan kehendak-Ku, melainkan
kehendak-Mu-lah yang jadi”. Ya, kehendak murka Allah.
Tapi kini yang berhadapan dengan murka itu bukanlah manusia yang
berdosa, melainkan Tuhan Yesus Kristus. Dan, kesendirian-Nya, karena murid yang
diajak berdoa tertidur, adalah lukisan betapa manusia tidak mengerti apa yang
sedang dijalani-Nya. Yesus bergumul berat untuk menyelamatkan manusia, tetapi
manusia justru tertidur lelap. Tuhan Yesus telah menang, Dia melewati jalan
ketakutan yang mencekam. Kini Dia tenang, sehingga para penangkap-Nya kecele
membawa pedang karena Tuhan Yesus tidak melakukan perlawanan. Bahkan sikap
heroik Petrus yang menebas hingga telinga hamba imam, disebutnya sebagai
tindakan yang tidak perlu. Tuhan Yesus menempelkan kembali telinga itu.
Petrus mampu menebasnya, tapi tak mampu memasangnya kembali. Tuhan
Yesus berkuasa, namun tak melakukan perlawanan apa pun, karena misi-Nya yang
sangat jelas. Namun bagi murid semuanya tak jelas, sehingga mereka mengalami
kebingungan yang amat sangat atas tindakan Tuhan Yesus menyerahkan diri. Murid
kacau balau, semua berusaha untuk menyelamatkan diri. Di Taman Getsemani
terbukti manusia adalah pendosa, sekalipun manusia yang hendak ditebus-Nya,
tapi manusia itu pula yang menangkap dan meninggalkan-Nya.
Ah, Getsemani, kenangan yang menyakitkan atas sebuah pengkhianatan
lewat sebuah ciuman. Ini adalah peran Yudas yang penuh kemunafikan. Mencium
tangan Yesus Sang Guru untuk menghabisi-Nya. Semua lakon manusia di Taman
Getsemani, sekalipun berbeda namun satu nada, yaitu mencintai diri sendiri.
Pergumulan usai, pengadilan yang tak adil menanti-Nya. Semua berlangsung dalam
kerusakan moral manusia. Ya, moral yang tercabik-cabik karena manusia tak lagi
mencintai kebenaran Allah.
Perjalanan penderitaan Tuhan Yesus Kristus berakhir di Bukit
Golgota. Di sana, dalam kehinaan salib, Dia disalibkan sebagai pendosa yang
tidak pernah berbuat dosa. Ya, Yesus Kristus Tuhan ada di kayu salib karena
menanggung dosa, bukan karena berbuat dosa. Dia menjadi terhina karena kehinaan
manusia yang berdosa. Ditanggung-Nya semua dalam kerelaan kasih-Nya yang amat
besar itu. Tak mudah memahami kematian-Nya, bahkan tak mungkin. Roh Kuduslah
yang telah memampukan kita.
Fakta kematian Kristus seharusnya menginspirasi perjalanan gereja.
Perjalanan yang seharusnya benar dan berani menyuarakan kebenaran sudah tak
lagi jelas. Semangat salib semakin memudar karena gereja terpusat pada kepuasan
diri belaka. Semua berita hanya mengumbar tentang mendapatkan apa yang kita
inginkan. Bahkan ketika mengingat kematian Yesus Kristus Tuhan yang telah
diperintahkan, di dalam Perjamuan Kudus, umat justru mengingat kesulitan
dirinya, sakitnya, dengan dalih darah Yesus berkuasa. Ironis, perintah yang
sangat jelas untuk mengingat penderitaan kematian Yesus Kristus dalam roti dan
anggur sebagai lambang tubuh dan darah Yesus, kini diselewengkan.
Kesetiaan gereja kepada pengorbanan Yesus Kristus Tuhan terusik
sudah. Kebanyakan umat tak lagi mampu melihat kemenangan didalam kematian. Tak
lagi mampu mengingat karya Kristus di kayu salib dengan sejenak melupakan
keperluan diri. Tak lagi mampu hidup menyangkal diri dan memikul salib. Ya,
jika Yesus Kristus tidak mati, maka apa nilai pengorbanan-Nya. Dan, Dia yang
telah mati itu bangkit pada hari ketiga sesuai dengan apa yang telah
dikatakan-Nya sebelum kematian-Nya. Dan sudah seharusnya orang percaya
menaklukkan diri kepada-Nya, dan tak membuat nama Yesus sebagai mantera pemuas
selera kemanusiaan atas nama iman.
Kematian yang berujung pada kebangkitan merupakan fakta yang tak
terbantah, tercatat dalam sejarah hidup manusia, dan memberi dampak nyata bagi
kehidupan hingga kini. Paulus dengan jitu melukiskan, bahwa tanpa kematian
tidak akan ada kehidupan. Dia mengambil realita biji yang tak akan pernah
menjadi pohon jika tak memecah diri terlebih dahulu. Keberanian dan kerelaan
biji terpecah menjadi kontribusi utama dalam menghasilkan sebuah pohon yang
berbuah. Dan, dalam perspektif teologis, kematian Kristus adalah kerelaan
berdasarkan kasih-Nya yang tak terukur, yang memberikan harapan nyata dalam
kebangkitan Nya.
Orang percaya telah menjadi pemenang di dalam Kristus, di dalam
kebangkitan-Nya. Namun jangan terjebak eforia kebangkitan belaka dan melupakan
pengorbanan-Nya di dalam kematian. Kematian dan kebangkitan harus saling
mengikat dan berjalan pararel. Tak boleh dipisahkan sebagaimana kebanyakan
sikap gereja masa kini, yang hanya bersukaria dalam kuasa kebangkitan, tapi tak
pernah rela memikul salib.
Memelintir kematian sebagai kemenangan tanpa penderitaan, karena
diikuti kebangkitan. Ini adalah kejahatan gereja dalam berkelit dari pangilan
menyangkal diri dan memikul salib. Umat Kristen tak lagi suka memikul salib,
bahkan ada pengkhotbah yang mengatakan, “Yesus Kristus telah menderita untuk
kita, memikul salib kita, maka kita tidak lagi akan menderita, tak perlu
memikul salib”. Padahal dengan tegas Paulus berkata dalam Filipi 1:29, “Sebab
kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan
juga untuk menderita untuk Dia”.
Tidak ada kemenangan dalam kebangkitan tanpa penderitaan dalam
kematian. Namun, penderitaan bukanlah persoalan yang terlalu besar, karena
penderitaan dalam kesadaran dan kerelaan justru adalah kehormatan bagi orang
beriman, kecuali iman imitasi. Pengujian akan berjalan, lalang dan gandum akan
semakin nyata. Akhirnya, sebagai orang percaya jangan pernah menghindar dari
jalan penderitaan yang terhormat untuk menuju kemenangan yang sejati. Ingat, kematian
di dalam Kristus (mati terhadap dosa) adalah jalan menuju kebangkitan (hidup
dalam Kristus) di kekekalan.
Selamat merenungkan Jumat Agung dengan sikap yang agung, dan selamat
Paskah dalam kesukacitaan.
0 comments:
Post a Comment