Secara ringkas Ibrani
11:17-19, mengungkapkan kepada tiap orang percaya tentang iman. Ya, iman
Abraham yang membuatnya berpikir bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang orang
sekalipun dari kematian. Sebuah pemahaman yang sangat luar biasa, mengingat kematian
dan kebangkitan baru ada kemudian. Abraham menjadi pelopor iman yang percaya
akan kebangkitan, dan itu, di era pra Taurat. Mundur dari kebangkitan Kristus,
paling tidak ada bentang waktu lebih dari 2000 tahun.
Ini sebuah realita yang luar biasa.
Bagi orang percaya dimasa kini, percaya akan kebangkitan memiliki argumentasi
dan bukti peristiwa yang kuat. Di era Abraham yang sangat jauh dibelakang,
mengajarkan kita, akan realita beriman yang melintasi pengetahuan dan
pembuktian. Abraham yang dikenal sebagai bapa orang percaya, secara implisit
telah menunjukkan kepada kita “kelayakannya”.
Dia telah tampil mewakili semua orang percaya untuk percaya akan
kebangkitan dalam kuasa Allah.
Jadi, paham kebangkitan telah ada jauh
sebelum kebangkitan Yesus Kristus. Dan itu dicetuskan oleh Abraham bapa orang
percaya. Yang dalam peristiwa yang dialaminya, Allah meminta Abaraham agar
mengorbankan anaknya yang semata wayang. Allah memberi, Allah meminta, itulah
kisahnya. Betapa sulitnya bagi Abraham untuk meng-aminkan permintaan Allah,
yang seakan ingkar janji. Panjangnya penantian Abraham akan janji Allah seakan
tak bermakna. Tapi, hebatnya, Abraham tak menggugat, bahkan sebaliknya dia
memberikan anaknya dalam kerelaan yang dalam.
Abraham menjadi peraga indah tentang orang
beriman. Dalam imannya, dia yang menjalankan pengorbanan yang dituntut Allah.
Abaraham memberikan anaknya Ishak, seakan pengantar bagi kita tentang kasih
Allah yang besar, sehingga juga memberikan anak Nya yang tunggal, Yesus
Kristus. Walaupun ada dalam konteks kualitas yang berbeda, namun alurnya
membuat kita harus merenung serius. Betapa dalamnya ketaatan Abraham, betapa
besar kasihnya kepada Allah. Itulah, iman sejati.
Kita harus belajar, bahwa iman adalah
percaya bahwa Allah bertindak benar, baik dalam memberi ataupun mengambil. Ayub
juga pernah mengucapkan iman yang seperti ini, dengan berkata; Tuhan memberi,
Tuhan mengambil. Disinilah letak iman yang sejati. Iman yang membuat Abraham
rela mengorbankan Ishak, dalam percayanya akan kebangkitan, jika Allah
menghendaki.
Kini era kita, era dimana kita mewarisi
iman yang percaya bahwa Yesus Kristus, tidak hanya telah mati menebus dosa,
tetapi juga telah bangkit dari kematian. Dia telah mengalahkan maut, kuasa dosa
dimatikan. Ini telah menjadi inti iman orang percaya. Disinilah iman kita
bertumpu. Artinya, sudah semestinya, kita hidup sebagai pemenang yang tidak
takut pada kematian, karena percaya akan kebangkitan. Bukankah Abraham telah
mendemonstrasikan imannya dengan jelas. Tak seharusnya kita hidup dalam
ketakutan, melainkan dalam kemenangan. Ingat, Abraham hidup di era pra Taurat,
dan sangat jauh dalam bentang waktu dari
kebangkitan Kristus. Sementara kita ada didepan, mewarisi dengan lengkap Taurat
(PL) dan Injil (PB).
Oleh karena itu, biarlah kiranya, Jumat
Agung dan Paskah, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, membuat kita selalu
menyadari keunggulan orang beriman. Ya, kita harus menguji diri, apakah kita sudah ada posisi
yang pasti dan mesti. Berani hidup untuk Kristus, dan tidak takut mati demi kebenaran. Berani
melayani, dengan berani memberi diri, bukan karena sekedar karena kita menyukai
bentuk pelayanan yang ada, tapi karena kehadiran kita memang dibutuhkan.
Selamat merenungkan, makna mendalam, Jumat Agung dan Paskah.
0 comments:
Post a Comment