Setelah semuanya itu, Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadaNya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Ku-katakan kepadamu.”
(Kejadian 22: 1-2)
Bagaimana Anda menyikapi hal-hal buram yang menghampiri hidup Anda secara mendadak? Bagaimana Anda menerjemakan kenyataan pemutusan hubungan kerja atas diri Anda sementara Anda tidak memiliki sumber penghasilan lain dan kelangsungan hidup banyak orang bergantung pada diri Anda? Bagaimana tanggapan Anda bila saat pulang ke rumah Anda mendapati anak yang Anda kasihi sakit keras sementara tidak ada cukup uang untuk biaya pengobatan? Bagaimana pula bila Anda mengalami sakit berat sementara Anda adalah tumpuan keluarga? Anda kecewa berat? Marah? Apa yang akan Anda katakan? Sebagai orang beriman, bagaimana Anda memahami pemeliharaan Allah dalam realitas kepahitan dan kesulitan hidup?
Percaya kepada Tuhan bukan berarti terbebas dari segala bentuk penderitaan dan penyakit serta luka kemanusiaan lainnya. Alkitab sangat jelas sekali melukiskan betapa penderitaan itu sangat akrab dengan orang-orang yang dipilihNya. Hanya, yang menarik, digambarkan di sana bahwa mereka tetap tekun dan tegar menghadapi kepahitan hidup dan memenangkan percobaan-percobaan itu.
Persoalan muncul karena selama ini kita telah dicekoki dengan keyakinan bahwa mengikuti Kristus berarti lepas bebas dari segala bentuk penderitaan, penyakit dan luka kemanusiaan lainnya. Kita telah diyakinkan bahwa percaya kepada Kristus berarti memiliki kesuksesan dalam segala segi kehidupan, termasuk juga sukses secara materi.
Memang kesuksesan bisa saja kita dapatkan apabila kita mengikuti Kristus dengan setia. Tetapi apakah selalu sukses? Sabar dulu. Apakah selalu sehat? Itulah yang menjadi masalah. Bagaimanakah dengan nasib mereka yang miskin, apakah Tuhan tidak mengasihani mereka? Bagaimana bila kita menghadapi kesulitan, apakah Tuhan meninggalkan kita?
Positif dan negatif
Apakah itu percobaan? Apa kata Alkitab tentang percobaan? Dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani, kata ‘percobaan’ dijelaskan berasal dari kata benda ‘massa’ atau kata kerja ‘masa’ atau ‘pakan’. Kata ‘massa’ berarti cobaan atau ujian. Sedangkan kata kerja ‘masa’ berarti mencoba atau menguji. Kata ‘pakan’ sendiri berarti menguji, melebur atau membersihkan logam. Dengan demikian dapat kita artikan bahwa percobaan merupakan suatu proses pencapaian nilai tertinggi dari logam yakni emas. Bila logam itu ternyata bukan emas, ia akan lebur dan habis. Hanya emas sebagai logam mulia yang tahan bakar, yang tahan uji. Dalam bahasa Yunani pencobaan berasal dari kata benda ‘persmon’ dan kata kerja ‘perason’. ‘Perason’ sama dengan kata pakan dalam bahasa Ibrani yaitu melebur, membersihkan atau menguji logam.
Dengan demikian pencobaan diapresiasi sebagai ujian secara positif. Ia bertujuan menguji, menilai dan memperbaiki sifat seseorang. Melalui pencobaan, seseorang dibersihkan, kepribadiannya diuji supaya mencapai kualitas yang paling baik. Orang percaya dicobai untuk memperbaiki diri sehingga layak di hadapan Allah.
Meskipun demikian, Alkitab juga menggarisbawahi pencobaan dalam arti yang negatif yaitu mencobai atau menggoda. Pencobaan semacam ini bertujuan untuk menunjukkan kelemahan seseorang. Atau suatu usaha untuk menjebak seseorang sehingga ia terjebak dalam perangkap agar dia tampak bodoh, konyol dan jadi bahan tertawaan serta cemoohan. Pencobaan positif memberi dampak yang menyenangkan sementara yang negatif menghancurkan diri kita.
Dua sisi pencobaan inilah yang muncul dalam Alkitab dengan memakai kata yang sama yakni ‘mencobai’, ‘pencobaan’ atau ‘percobaan’. Jadi ketika pencobaan menghampiri diri kita, kita perlu mencermati dengan sungguh-sungguh. Kita harus lihat konteksnya. Jangan cepat-cepat mengatakan bahwa pencobaan itu bukan datang dari Allah. Dalam satu sisi memang betul tetapi juga salah di sisi yang lain.
Kita lihat Kejadian 22: 1, “Setelah semuanya itu, Allah mencobai Abraham. Ia berfirman kepadaNya: ‘Abraham,’ lalu sahutnya: ‘Ya, Tuhan’. FirmanNya: Ambillah anakmu yang tuggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Ku-katakan kepadamu.”
Kalimatnya begitu jelas. Allah mencobai Abraham dengan meminta agar ia mempersembahkan Ishak sebagai korban kepada-Nya. Padahal Ishak adalah satu-satunya anak Abraham. Ishak-lah cikal bakal pemenuhan janji Tuhan akan keturunan sebanyak bintang di langit dan pasir di laut. Allah jelas mau mencobai Abraham. Jelas pula bagi kita, bahwa ketika Allah mencobai, Ia tidak bermaksud menghancurkan. Ia tidak sedang merusak atau menjebak. Tapi sebaliknya, Allah ingin membangun Abraham, memolesnya supaya sampai kepada nilai yang hakiki, supaya boleh sungguh-sungguh disebut Bapa Orang Beriman.
Lalu bagaimana tanggapan Abraham? Ia melaksanakan apa yang diperintahkan Allah karena kepercayaannya. Ketika Ishak bertanya apa yang akan dipersembahkan, Abraham mengatakan Allah yang akan memberikannya. Ketika dia mengatakan itu, ia pasti tidak sekadar bicara. Itu adalah satu kalimat yang mau menunjukkan bahwa Allah memang akan menyediakan domba.
Abraham sungguh bapa orang beriman. Melalui peristiwa ini, kita melihat pra-gambaran tentang Kristus sebagai domba yang dijadikan korban bagi seluruh umat manusia. Itulah pengharapan akan sebuah pengorbanan yang tuntas dalam diri Kritus. Abraham memiliki suatu konsep yang begitu jelas tergurat di dalam batinnya. Ia memiliki pengharapan, juga keyakinan akan kebangkitan. Maka ia disebut sebagai bapa orang percaya. Abraham mengorbankan anaknya bukan karena kekonyolan, tapi karena dia percaya sungguh bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik.
Abraham memberikan tanggapan yang tepat. Ia tidak salah percaya kepada Allah. Ia mengalami kebenaran. Allah mencobai Abraham bukan untuk mengalami kekalahan atau kehancuran, tapi justru untuk menikmati kemenangan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Allah memang mencobai, tapi selalu dalam pengertian positif.
Apakah semua pencobaan datang dari Allah? Tentu saja tidak. Iblis pun mencobai. Ia mencobai dalam pengertian yang negatif. Kita baca dalam Ayub 1:12: “Maka firman Tuhan kepada iblis: ‘Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.’ Kemudian pergilah Iblis dari hadapan Tuhan.” Kita baca lagi dalam Ayub 2: 6-7, “Maka firman Tuhan kepada Iblis: ‘Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya.’ Kemudian iblis pergi dari hadapan Tuhan lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya.” Di sini kita melihat bagaimana Iblis mencobai Ayub. Ia ingin menghancurkan Ayub. Tapi Tuhan menjaganya. Dikatakan, engkau boleh mencobai Ayub, tapi jangan ambil nyawanya. Iblis pun mengambil harta bendanya, anak-anaknya, kasih sayang istri serta sahabat-sahabatnya. Semuanya diambil. Iblis menghancurkannya habis-habisan. Tapi Tuhan penuh cinta kasih.
Kita harus hati-hati. Apakah Allah mencobai Anda? Dalam pengertian menguji, ya, Puji Tuhan! Tetapi apabila sasaran percobaan itu adalah kejatuhan, maka dapat dipastikan percobaan itu datang dari Iblis. Dan bila ia mencobai Anda, janganlah takut karena Tuhan akan menjagamu. Tuhan akan memelihara dan melindungimu. Tuhan akan menolongmu bila Anda tetap percaya dan beriman kepada Kristus.
Bercerminlah pada peristiwa Ayub. Begitu beratnya kesulitan dan pencobaan yang dialaminya. Tapi dengan penuh iman ia tetap melangkah dengan mata tertuju pada Allah. Dia tidak ingin mengutuki Allah. Pencobaan Iblis pun dapat dipakai Allah sebagai alat untuk memproses anak-anak-Nya. Tetapi bila sang anak, yaitu kita yang hidup di zaman ini, manja dan tak karu-karuan, yang langsung menangis merengek-rengek ketika kesulitan datang, celakalah kita! Sebab bukan karena Allah tidak mampu menolong, tapi karena kita yang lari dari pegangan Allah. Bukan karena Allah tidak mampu membereskan dan memenangkan kita dari pencobaan tetapi lantaran kita sendiri yang terlalu cengeng dan memiliki konsep salah mengenai pencobaan.
Karena kekerdilan iman semacam ini, kita lalu mengatakan bahwa Tuhan tidak lagi mencintai kita. Ketika kita ditimpa penyakit atau jatuh dalam kemiskinan, secara spontan kita mengatakan bahwa Tuhan telah mengambil kembali kemurahan-Nya. Di sini kita telah salah mengerti cinta dan pemeliharaan Tuhan. Kita yang meninggalkan Tuhan, bukan Tuhan yang menelantarkan kita. Tapi Tuhan yang kita persalahkan.
Allah bisa memakai cobaan yang datang dari si jahat sebagai alat untuk mendewasakan kita. Tuhan tidak kehabisan akal untuk menolong kita. Semua pencobaan berada dalam kendali Allah. Dan Allah bisa memakai semuanya menjadi alat untuk mencapai tujuan-Nya. Tinggal bagaimana kita memainkan peran kita. Ketika Allah menguji, kita bisa sukses tapi bisa juga gagal. Ketika iblis mencobai, kita bisa berhasil mengalahkannya tapi bisa juga gagal. Semuanya bergantung relasi kita pada Allah, bukan karena percobaan itu sendiri.
Jadi bila pencobaan datang dan Anda dikalahkannya, jangan cepat-cepat mempersalahkan iblis. Anda harus mengoreksi diri, barangkali Andalah yang lemah.
Dosa dan Pencobaan
Apakah orang dicobai karena dosa? Jawabnya, tidak! Ketika Allah mencobai Abraham, dia tidak sedang melakukan dosa. Apakah orang dicobai karena tak memiliki Roh Kudus dalam dirinya? Tidak! Ingat, Roh Kudus pun bisa membawa orang ke dalam pencobaan. Dalam Matius 4:1 jelas dipaparkan bahwa Roh Kuduslah yang membawa Yesus ke dalam pencobaan di padang gurun. Jadi jangan kita berpikiran bahwa Roh Kudus senantiasa memberikan yang mulus dan enak-enak saja.
Roh Kudus memang bisa mengarahkan kita menuju kebahagiaan dan kesuksesan, tapi Roh Kudus yang sama juga memimpin Anda memasuki pencobaan. Jadi pencobaan itu adalah alat. Dosa akan terjadi apabila kita gagal menghadapi pencobaan. Jadi yang terpenting adalah berusaha agar kita memenangkan pencobaan.
Selain karena jatuh dan gagal mengalahkan pencobaan, dosa bisa datang bila kita mencobai Tuhan. Mencobai Tuhan adalah dosa. Keluaran 17:2 mencatat hal ini. “Jadi mulailah mereka itu bertengkar dengan Musa, kata mereka: ‘Berikanlah air kepada kami, supaya kami dapat minum.’ Tetapi Musa berkata kepada mereka: ‘Mengapa kamu bertengkar dengan aku? Mengapakah kamu mencobai Tuhan?’
Dalam kisah itu diceritakan bagaimana orang Israel yang kehabisan air. Mereka mulai mengomel, malah berdebat dengan Musa. Musa marah. Ia berkata kepada mereka bahwa mereka tidak sedang bertengkar dengan dirinya tapi sedang mencobai Tuhan, seakan-akan Tuhan tidak mampu memberikan air, seakan-akan Tuhan tidak mampu memberikan dan memuaskan dahaga mereka. Mereka tidak percaya kepada kemahakuasaan Tuhan, menutup mata hati terhadap perbuatan besar yang telah dilakukan Tuhan pada waktu lampau karena tantangan kecil menimpa saat ini. Itulah dosa bangsa Israel.
Sama seperti bangsa Israel, kita pun tak jarang mencobai Tuhan. Kita berkata, “Tuhan, kalau Engkau ada, sembuhkanlah penyakitku supaya aku mempercayaimu?” Dan bila hal itu benar-benar terjadi (penyakit kita sembuh), serta merta kita mengatakan bahwa Tuhan telah mendengarkan doa kita. Bukan hanya itu. Kita bahkan melihat peristiwa ini sebagai buah dari kekuatan iman kita. Benarkah demikian? Belum tentu! Sebaliknya, hal itu bisa saja terjadi karena iman kita yang terlalu lemah. Karena kelemahan iman itulah maka Tuhan mengabulkan permintaan kita. Tuhan tidak tega menepiskan doa kita. Ingat, cobaan yang datang itu tidak melebihi kemampuan kita. Tuhan tahu bila kadar iman kita masih lemah, maka Ia mengabulkan doa kita. Tuhan belum memberi kita penderitaan karena Ia menganggap kita belum kuat menanggungnya.
Memang tidak semua pengabulan doa merupakan bukti kelemahan iman. Tapi pengabulan doa yang keluar dari keinginan untuk mencobai Tuhan adalah ekspresi kedangkalan iman. Ketika Anda mengatakan bahwa kalau Tuhan begini maka Anda akan melakukan ini dan itu, lalu dalam kenyataannya Tuhan mengabulkan doamu, hal itu sama sekali tidak membuktikan kebenaran doamu. Tapi karena Tuhan sedang membentuk dan memeroses Anda. Ia tidak tega membiarkanmu. Bila Tuhan menolong Anda, itu bukan karena Tuhan mengasihi Anda, tapi karena Dia kasihan terhadap Anda. Cuma yang dikasihani seringkali tidak tahu diri lalu besar kepala dan merasa imannya paling hebat.
Jangan salahkan Tuhan
Ketika cobaan datang, apalagi bila disertai penderitaan yang berat, janganlah Anda mempersalahkan Tuhan. Ingatlah, sehelai rambut kita jatuh pun Tuhan perhatikan. Masakan dalam masalah yang besar Tuhan membiarkan kita sendirian? Jangan takut dan gentar. Jangan salahkan Tuhan. Lebih bijaksana apabila Anda mencari apa maksud Tuhan dibalik semuanya itu. Tanyakan, “Tuhan apa yang Engkau kehendaki? Berilah aku kebijaksanaan supaya aku memahami kehendakMu!”
Bila cobaan datang, jangan meninggalkan Tuhan. Apapun yang Anda alami, sakit yang tak pernah sembuh, kebangkrutan yang drastic, janganlah membuat Anda meninggalkan Tuhan. Jangan lari ke Tuhan yang lain, Tuhan yang palsu, ke dukun atau dewa-dewa. Datanglah pada Tuhan yang hidup. Sungguh merupakan kebodohan besar bila kita meninggalkan Tuhan.
Tuhan tahu apa yang paling baik bagi kita, termasuk sakit yang kita derita atau kebangkrutan yang kita alami. Ganti meninggalkan Tuhan, mari kita berkaca diri, mari kita mengevaluasi diri. Tuhan tidak pernah salah memimpin kita, Tuhan tidak pernah salah menuntun kita.
0 comments:
Post a Comment