Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, December 4, 2013

SUKA MUKJIZATNYA, BUKAN PENCIPTANYA

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

PERJALANAN panjang bangsa Israel selama 40 tahun di padang gurun menorehkan kisah tentang manna. Orang Israel mengonsumsi manna selama 40 tahun (Keluaran 16: 35), khususnya dalam perjalanan panjang di padang gurun. Di tengah sungut-sungut Israel soal makanan pengisi perut, mereka menggugat Musa dan Harun seakan mereka telah membawa Israel ke kelaparan yang mengerikan. Dengan seribu argumentasi mereka berucap bahwa di Mesir mereka bisa menikmati daging dari kuali dan juga tumpukan roti. Orang Israel bersilat lidah, memutar fakta yang sesungguhnya tak mereka suka, yaitu bahwa mereka hanyalah budak di perantauan. Makan sangat dibatasi, dan tak memiliki hak memilih, karena mereka hanyalah pekerja rodi. Kini mereka bertingkah, bahkan di depan Allah, melalui hamba-Nya, Musa dan Harun.

Israel sungguh tak tahu berterimakasih. Namun tak dinyana, Allah membalasnya dengan hujan roti yang tak kunjung henti sehingga selalu mencukupi kebutuhan tiap umat. Mereka bebas memungut sesuai aturan yang ada dalam ukuran secukupnya. Manna tak boleh diambil berlebih, apalagi coba disimpan sebagai sebagai persediaan, kecuali menjelang hari Sabat, mereka mendapat dua porsi. Manna berwarna putih seperti ketumbar dan rasanya manis seperti kue madu. Tidak kurang dari enam ratus ribu orang Israel memperoleh manna setiap harinya. Tidak pernah kekurangan, tetapi juga tidak boleh berlebihan, semua harus dalam takaran secukupnya. Ini adalah ketetapan yang Allah atur, sebagai bukti pemeliharaan-Nya, sekaligus ujian terhadap ketaatan umat. Mukjizat yang bukan sehari dan sekali ini berjalan selama 40 tahun dan setiap hari. Luar biasa!

Dalam usaha menjelaskan tentang manna ini, ada banyak ide, mulai dari serangga di daerah Sinai yang bersarang di pohon tamariska, yang menghasilkan sejenis madu. Biasanya ini bisa ditemukan pada bulan Juni dalam beberapa minggu. Lalu kisah di Aljazair, yaitu butiran berupa tepung yang jatuh setelah cuaca yang luar biasa. Namun tak satu pun kisah yang memadai yang bisa menyamai cerita Alkitab, yaitu manna yang ada setiap hari selama berpuluh tahun. Ya, sangat jelas manna adalah mukjizat Allah bagi Israel, umat-Nya. Israel tak pernah kelaparan, karena Allah menjamin suplai manna sebagai makanan mereka.

Namun, apa hendak dikata, Israel tetap saja berlaku serakah. Manna yang sudah diperintahkan Allah jumlah pengambilannya, mereka ambil berlebih. Secukupnya untuk sehari tak bisa mereka penuhi, sehingga mengambil berlebih sekalipun itu melanggar ketetapan Allah. Akibatnya sangat jelas, manna tak dapat dinikmati, bahkan sebaliknya, membusuk dan menimbulkan bukan saja bau tak sedap, tetapi juga menjadi berulat. Entah apa yang ada di benak orang Israel sehingga berani melanggar ketetapan Allah sekalipun tahu betul akibatnya. Allah yang mereka langgar ketetapannnya adalah Allah yang memberi manna, si pembuat mukjizat. Tapi mukjizat Allah yang hebat ternyata tak membuat umat menjadi taat. Mereka tetap saja bebal, mengutamakan perutnya ketimbang perintah Allah. Ironis, umat yang bukan saja menikmati mukjizat manna, tetapi juga penyertaan Allah siang dan malam dalam rupa tiang awan dan tiang api, tak mampu hidup sesuai kehendak Allah. Belum lagi mukjizat lainnya, termasuk wujud murka Allah yang mengerikan tak membuat mereka menjadi umat yang manis.

Aneh tapi nyata, mukjizat yang luar biasa bagi umat dianggap biasa-biasa saja. Allah dibuat seakan berkewajiban untuk memenuhi keinginan umat, sementara umat seakan tak memiliki kewajiban apa pun. Jadi, sungguh naif jika kita berkata, mukjizat akan menjadikan hujan pertobatan, karena kesaksian Alkitab justru berbeda. Namun memang bisa saja Allah memakai mukjizat sebagai jalan pertobatan seseorang. Ini adalah pekerjaan spesifik dan tidak selalu. Ya, mukjizat adalah alat Tuhan tetapi bukan tujuan. Israel umat yang bebal sangat menikmati mukjizat Allah dan hidup dari mukjizat demi mukjizat. Namun di saat yang bersamaan, ternyata umat tak pernah selalu untuk hidup selalu bersama Allah, si pembuat mukjizat. Mereka dekat Allah jika memiliki keinginan tertentu, dan menjauh ketika sudah mendapatkannya. Murka Allah hanya sesaat membuat mereka resah atau pun takut, namun kemudian kembali melakukan kesalahan lagi.

Kehidupan Israel tak dapat disangkal merupakan gambaran kehidupan umat beragama di sepanjang sejarah. Dalam Perjanjian Lama kita menemukan umat yang bebal, begitu juga dalam Perjanjian Baru. Dan, tak berhenti di sana, di sini juga demikian, di jaman kita sekarang ini. Ribuan tahun sudah waktu berjalan, ternyata tak pernah cukup untuk mengajari umat agar selalu taat dan hidup takut kepada Allah, sumber hidup itu. Kehidupan beriman umat di masa kini juga sama saja, masih sangat banyak yang hanya getol dengan mukjizat. Pengkhotbah berlomba berbicara tentang mukjizat dan mengklaim diri sebagai “yang dipakai Allah dalam berbagai mukjizat”.

Kisah tentang mukjizat banyak mengalir dari berbagai mulut, entah benar atau sekadar eforia. Apalagi ada pola pikir yang dipopulerkan di lingkungan Kristen yaitu memperkatakan. Artinya, jika Anda mengatakan maka itu akan menjadi kenyataan. Maka banyak sekali kesaksian tentang mukjizat yang katanya dialami, tetapi sesungguhnya itu diyakini akan terjadi. Di sini apa yang disampaikan menjadi bias, antara fakta dan angan. Tetapi itulah kenyataan kehidupan umat masa kini. “Pikirkan, perkatakan hal-hal yang positif”, adalah ungkapan yang terus berkumandang. Sugesti dan iman tak lagi memiliki jarak perbedaan, semuanya menjadi sangat tipis. Semua pemahaman ini berkembang pesat karena umat sangat suka mukjizat, bukan Allah, si pembuat mukjizat. Kebenaran Alkitab tak lagi digali mendalam, dengan dalih tak ingin menjadi Farisi, tetapi mukjizat terus dicari karena sangat penuh dengan sensasi. Padahal jelas di Alkitab tertulis: “Firman-Mu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105). Dan, jelas tak ada tertulis mukjizat adalah yang utama, bahkan terlalu banyak catatan mukjizat menjadi ruang pembuktian kegagalan umat dalam beriman.

Jangan lupa, mukjizat bisa ditiru setan tetapi tidak dengan kebenaran. Pantas jika Tuhan berkata, “Tidak semua orang yang berseru ‘Tuhan, Tuhan’ akan masuk ke dalam kerajaan surga, melainkan mereka yang melakukan kehendak Bapa”. Ya, kehendak Bapa yang nyata di dalam Alkitab, yang perlu digali, dimengerti, dan dilakukan. Jadi jangan berdalih takut menjadi Farisi, tetapi belajarlah jujur jika memang malas mempelajari, atau jujur bahwa dalam belajar firman kurang sensasional.

Mukjizat memang mengasyikkan, karena tak perlu menyangkal diri, tak perlu memikul salib Bukit Golgota, di mana Yesus Kristus tersalib di sana. Tidak ada mukjizat, tetapi sangat dahsyat karena kasih Allah yang besar sangat nyata. Yesus sumber hidup, Sang Pencipta, rela mati untuk menebus dosa manusia, sekalipun Dia berkuasa atas maut. Dia rela mati dengan menyerahkan nyawa-Nya, karena maut tak dapat mengalahkan-Nya. Tak ada mukjizat yang sensasional, selain mukjizjat kasih Allah. Celaka bukan, karena umat tak menyukai itu, juga tidak Petrus di waktu itu. Petrus lebih suka mukjizat yang sensasional, mukjizat ketika Yesus, Sang Guru, menghardik, dan ombak pun berhenti. Ya, coba Yesus menghardik, maka para tentara pasti akan jumpalitan. Tapi Sang Guru tak memilih itu. Mukjizat Allah itu indah jika muncul dari kebenaran, sebagai alat, bukan tujuan.

Awas fenomena jaman ini, di mana umat lebih suka kepada kepada mukjizat daripada kepada Sang Pembuat. Umat yang lebih suka mukjizat kesembuhan, akan kecewa jika tak memeperolehnya. Umat yang tidak lagi mau tahu apa yang sesungguhnya menjadi kehendak Allah di dalam hidup-Nya. Terikatlah kepada Sang Pembuat Mukjizat, bukan mukjizatnya. Semoga Anda bijak untuk mengerti, dan selamat diberkati.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer