INTEGRITAS dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: mutu, sifat, atau keadaan yang menujukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibaan, kejujuran. Sementara Alkitab menggambarkan integritas sebagai tindakan yang selalu menjauhkan diri dari kejahatan. Ayub adalah seorang yang berintegritas, dikatakan dia adalah seorang yang saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 2: 3). Ayub senantiasa tekun dalam kesalehannya sekalipun badai hidup menghantamnya dengan sangat dahsyatnya.
Gambaran Alkitab tentang integritas menurut hemat saya terasa lebih kuat, yaitu tindakan aktif menjauhkan diri dari kejahatan, yang juga berarti usaha untuk tidak salah dalam bertindak. Kesalahan itu bisa saja terjadi karena ketidaksatuan antara perkataan dan tindakan. Sebuah kesalahan yang seringkali dilakukan oleh pengkhotbah, atau penceramah, namun selalu berhasil disembunyikan. Realita ini akan semakin telanjang jika kita melihat kehidupan sehari-hari dari para pemimpin. Entah itu dalam dunia politik, pendidikan, bahkan termasuk agama.
Mari kita menelusuri “pasar bicara” di mana orang berbicara, namun kita ikuti apa yang mereka lakukan, Anda pasti terkejut. Dalam dunia politik tiap orang selalu berbicara atas nama rakyat. Membela kepentingan rakyat adalah kata yang paling sering diobral sampai-sampai tidak punya nilai. Pemimpin, mulai dari tingkat kelurahan, hingga nasional, berdalih hidup mereka untuk rakyat. Namun jika kita lihat kehidupan mereka terasa memuakkan. Mulai dari mau bertemu rakyat saja, mereka datang dengan pengawalan ketat, bahkan harus dibuat acara penyambutan yang harus super-wah. Jika tak ada, mereka tersinggung, bisa-bisa menyumpah dan menindas bawahannya. Sementara rakyat yang mau ditemui berbaris dengan bibir kering menahan haus. Mereka ditimpa panasnya sinar matahari, dan tak ada dana untuk membeli segelas air pelepas dahaga. Lama menunggu, tapi namanya rakyat, mereka tetap di sana, sementara sang pejabat tak terdeteksi di mana. Maklum, bukan pejabat namanya kalau datang tidak terlambat.
Cobalah pikirkan, mau ketemu rakyat malah bikin susah rakyat. Menunggu di bawah terik matahari, pejabat terlambat tiba. Ini belum ada tatap muka, jabatan tangan, apalagi diskusi. Setelah bertemu, rakyat kecele, tak ada tatap muka kecuali tatap hampa, maklum pejabat lewat jalur VIP. Mana pejabat mau lewat jalur biasa, kalau perlu buat jika memang tak tersedia. Anggaran tak terduga selalu tersedia, sekaligus tak terduga pula pemakaiaannya. Jika tak ada tatap muka, maka sudah pasti tak ada jabat tangan. Kalaupun ada diwakilkan, dan celakanya, yang dapat jatah pasti bukan rakyat biasa, tetapi tetap saja orang seputar pejabat lagi, yaitu pejabat desa penyambut.
Ya, jadilah pejabat desa menyambut pejabat kota yang melibatkan keluarga mereka, sementara rakyat hanya menjadi penggembira saja. Menonton, melongok, tanpa sadar telah diakali dan dimanfaatkan sebagai stempel untuk rakyat. Sementara diskusi berlangsung formal, teratur karena memang sudah diatur. Tak ada yang spontan di sana. Artinya tidak pernah terjadi diskusi antara rakyat dan pemimpinnya. Semua terjadi hanya untuk kebutuhan publikasi. Rakyat, lagi-lagi tak mengerti diperdayai, maklum rakyat selalu tulus dan merasa minder mau bertanya, karena terkondisi. Sementara yang berani, sudah masuk daftar, diawasi, atau mungkin tak hadir di sana karena merasa percuma saja. Toh ada saja rakyat cerdas yang tahu bahwa semua itu hanyalah panggung sandiwara. Pertemuan usai, beritanya terbaca di berbagai media. Dan, sudah pasti berita indah, seindah mentari pagi di hari nan cerah. Penuh dengan janji dan harapan yang wah untuk rakyat. Mulai dari pembangunan jalan, pemasangan listrik, dan yang lainnya. Rakyat sumringah, tanpa menyadari akan segera kecewa.
Nah, jelaslah sudah, pejabat mendapat publikasi, nama harum, sementara rakyat hanya dapat harapan yang tak akan pernah kunjung tiba. Ada dana yang terpakai tetapi bukan untuk kepentingan rakyat, bahkan sebaliknya hanya untuk kepentingan seremonial penyambutan pejabat. Artinya dana yang habis, dari pejabat, oleh pejabat dan untuk pejabat. Sementara rakyat, tak lebih tak kurang hanyalah pembayar pajak, tapi tak ikut menikmati. Pejabat berkata, “Saya berkarya hanya untuk rakyat”, padahal tidak. Sangat tidak berintergritas, bukan? Tidak menyatu antara perkataan dan tindakannya, bahkan berbanding terbalik dan sangat menyakitkan. Di sana tidak ada kejujuran, karena penuh dengan intrik dan tipuan. Di sana juga tidak ada kewibawaan, karena kehadiran pejabat hanya seremonial belaka. Rakyat tak merasakan maknanya, kecuali sebuah suguhan acara panggung yang menghadirkan artis. Ya, rakyat ditarik datang dengan embel-embel artis ibukota. Penipuan murahan yang sangat menghina martabat anak bangsa sendiri.
Ke mana perginya integritas itu? Entahlah. Tapi yang pasti, semua pejabat seakan berlomba berperilaku sama, gila hormat, menipu rakyat. Kenyataan ini bisa akan terus menggila jika rakyat sebagai pemilik mandat tidak sadar diri. Rakyat tak lagi boleh tertipu, dan untuk itu, rakyat harus terus belajar melengkapi diri. Kemunafikan demi kemunafikan semakin hari semakin tampak jelas. Semua pejabat berlomba berpidato bahwa mereka bersih, pecinta demokrasi. Seakan mereka tak bernoda salah, bahkan sedikit pun. Semua yang lain salah, yang benar cuma dirinya. Tak ada integritas yang tampak di sana. Menyedihkan sekali, tapi inilah gaya hidup masa kini. Penuh kemunafikan, serba aksesoris, jauh dari kebenaran. Di tengah kehidupan bermasyarakat yang masa bodoh, tidak mau tahu, para munafik memiliki kesempatan hidup yang tinggi. Mereka terus-menerus jualan ide, cerita, tentang kebenaran yang tak pernah mereka lakukan. Semakin hari, semakin langka menemukan pemimpin yang berintegritas.
Pemimpin yang berani mengatakan “ya” untuk “ya”, dan “tidak” untuk “tidak”. Pemimpin yang berani bertanggungjawab pada dirinya, tanpa pernah mencuci tangan dan melemparkan kesalahan kepada pengikut atau pembantunya. Pemimpin berintegritas bahasanya mudah dipahami karena terwujud ditindakan. Tidak bertele-tele, apalagi kemudian tidak berwujud. Pemimpin beritegritas juga adalah pemimpin yang bukan saja berani mengakui kesalahannya, bahkan tak segan meminta maaf. Tetapi pemimpin yang tak berintegritas, ketika meminta maaf pun hanyalah basa-basi, bahkan berharap mendapatkan pujian, namun tak pernah memperbaiki diri. Pemimpin tak berintegritas, ketika menyebut diri bertanggung jawab bukan karena merasa itu memang tanggung jawabnya, melainkan karena merasa telah terpojok dan tak mungkin lagi melarikan diri. Namun itu pun dalam bahasa pembelaan dan bukan pengakuan, apalagi minta maaf yang tulus. Semua serba dikamuflase, karena tidak ada kejujuran di sana. Bibirnya tak dapat dipercaya.
Di negara di mana integritas dijunjung tinggi, pemimpin munafik seperti ini sudah pasti dilengserkan oleh rakyatnya, atau tahu diri dengan melengserkan diri. Integritas menuntut sebuah keberanian bertindak benar. Itu sebab integritas pasti akan membuahkan kewibawaan atas keberanian bertindak benar itu. Seperti apa yang digambarkan Alkitab, integritas berarti menjauhkan diri dari kejahatan, sebuah tindakan pasti selalu diperhitungkan. Dan setiap konsekuensi yang timbul akibat dari sebuah tindakan, pasti pula siap dipertanggungjawabkan. Dan, yang pasti, dia tak akan pernah bertindak untuk menguntungkan diri, apalagi dengan mengorbankan pengikut atau pembantunya. Baginya karya adalah untuk menegakkan kebenaran, dan tentu saja kesejahteraan untuk semua orang.
Akankah terlihat, teruji, dan terpuji, seorang pemimpin kristiani di kancah nasional, yang bersumbangsih bagi negeri tercinta ini? Sebuah pertanyaan serius yang memerlukan jawaban serius pula. Selamat bertanding jika Anda adalah orangnya, selamat menjadi pemimpin berintegritas di tengah kemunafikan yang semakin merajalela. Selamat datang integritas.
0 comments:
Post a Comment