Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, December 4, 2013

KESEMBUHAN YANG MEMBAWA KEMATIAN

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

Kisah tentang sepuluh orang kusta yang disembuhkan Tuhan Yesus (Lukas 17:11-19), telah menjadi cerita klasik mukjizat yang luar biasa. Cukup dengan sebuah perintah dari Tuhan Yesus, sepuluh penderita kusta hendak menghadap imam. Belum tiba di tujuan, ketika masih di tengah perjalanan, ajaib, semua mereka menjadi tahir, sembuh total. Teriakan mereka memohon belas kasihan dari Yesus Kristus Tuhan, telah menghasilkan buah ajaib, ya, sebuah kesembuhan. Tak terbilang kesukaan yang memenuhi perasaaan mereka. Betapa tidak, kusta bukan saja sebuah penyakit, tetapi juga aib. Kusta tak saja menggerogoti tubuh, tetapi juga memisahkan mereka dari lingkungan, bahkan keluarganya sendiri. Kusta identik dengan dosa, bukan sekadar penyakit. Ini adalah pemahaman dualistik yang mewarnai teologi Yudaisme. Itu sebab, jika seorang penderita kusta sembuh dari penyakitnya, imamlah yang memberikan semacam sertifikasi kesembuhannya, bukan tabib (band. Imamat 14).

Dalam Perjanjian Lama (PL), kusta dipandang sebagai penyakit yang najis, karena itu perlu proses pentahiran, ini memiliki peraturan sebagaimana hal najis lainnya. Kini, si penderita kusta yang telah sembuh bisa kembali ke lingkungannya, kepada keluarga yang telah memendam rindu yang panjang, atau bahkan mungkin tak bermimpi akan berkumpul lagi. Kesepuluh orang penderita kusta sangat bahagia menyongsong masa depan yang kini bersinar terang-benderang. Perjalanan tak lagi terasa melelahkan, bahkan sebaliknya, langkah mereka terasa ringan. Kesembuhan ini bagi mereka bagaikan hidup kembali dari kematian.

Hidup terasing karena pengucilan memang sangat menyakitkan, membuat orang hidup serasa mati. Apalagi vonis berdosa itu sangat menyakitkan. Kini mereka tak hanya berjalan saja, kesembuhan membuat mereka begitu bahagia dan memacu langkah secepatnya untuk menghadap kepada imam. Kesembuhan total dari kusta, hanya karena mendengar perkataan Yesus untuk pergi, itu sangat luar biasa. Bayangkan sekali lagi, kebahagaian yang mereka rasakan. Besar kemungkinan, inilah peristiwa terbesar, sangat bersejarah, pengalaman terhebat mereka dalam kehidupannya. Tapi herannya, itu tak membuat mereka mengingat dan berterimakasih pada Kristus yang melakukannya bagi mereka. Mereka tak ingat sumber kesembuhan itu, karena yang teringat hanya kesembuhan mereka, dan kembali berkumpul bersama keluarga besarnya. Sebuah ironi dalam keagamaan.

Sudah seharusnya mereka sebagai orang Yahudi yang beragama, umat pilihan Allah, memiliki Taurat, tahu bagaimana menyatakan rasa syukur. Taurat mengatur hal itu dengan jelas. Ternyata kesembuhan tak memelekkan mata rohani yang buta, rohani yang mati. Ya, sungguh ironis, mereka sembuh dari kusta tapi justru membuktikan mereka mati rohani. Sebuah kematian yang mengenaskan sebagai wujud dari kesembuhan, kematian rohani di balik kesembuhan jasmani. Realita ini tak berhenti, hingga kini umat terus berpacu mencari “kesembuhan ilahi”, dari satu pengkhotbah ke pengkhotbah yang lainnya.

Tak ada yang salah dengan “kesembuhan ilahi”, yang jadi masalah, kenikmatan bagi mereka adalah kesembuhannya, bukan persekutuannya dengan Sang Penyembuh, Yehovah Rophe, yaitu Allah yang menyembuhkan. Sementara sang pengkhotbah juga menikmati pujian, kepercayaan, yang bisa berujung pada “pemberian ekstra besar”. Sehingga tak mengherankan, jika semakin banyak orang yang membuktikan diri mati rohani dalam kesembuhan fisiknya. Mereka bersaksi tentang kesembuhannya, namun tak ada yang berubah dengan perilakunya. Cara kerja yang menghalalkan segala cara tetap saja berlangsung, bahkan lebih parah, karena diklaim sebagai berkat Allah. Dulu mereka melakukan dengan anggapan keberanian diri, tapi kini berkat ilahi. Semua ini terjadi karena kebenaran tak dinyatakan seutuhnya, hanya parsial saja. Kasihan, mereka justru terjebak di kesalahan teologis yang parah. Dan yang paling menyedihkan, ini dianggap sebagai kemajuan yang hebat.

”Ya, semakin banyak yang bertobat, semakin banyak yang percaya,” teriak sang pengkhotbah, yang memang semakin “untung besar”. Kuantitas kini menjadi ukuran kerohanian (kesembuhan, kegiatan rohani), bukan lagi kualitas (penyerahan, buah kehidupan). Umat yang sering mendengar khotbah ternyata juga sering lupa. Kisah sepuluh penderita kusta ini sangat populer, namun yang diingat adalah kesembuhan mereka. Padahal, amat sangat jelas, pesan yang ingin disampaikan Injil Lukas adalah fakta bahwa sekalipun sepuluh orang sembuh, ternyata yang kembali hanya satu orang saja. Satu orang saja, dan bahkan disebut sebagai orang asing (ay. 18), dengan segera menunjukkan dia bukan orang Yahudi, si umat pilihan itu. Si orang yang satu ini adalah orang Samaria (ay. 16), yang dicap oleh orang Yahudi sebagai orang berdosa, sekalipun belum tentu berbuat dosa.

Ironis, orang yang satu ini, di mana dosa selalu menempel pada dirinya, sebagai stempel orang Yahudi, sangat tahu diri. Menyadari kesembuhan dirinya dari kusta dengan segera dia berbalik arah, tidak melanjutkan perjalanan melainkan kembali ke tempat Yesus memberinya perintah untuk pergi. Dia tersungkur di depan Yesus Kristus. Ya, dia yang dicap orang Yahudi sebagai orang berdosa, orang najis. Dia tersungkur, dan mengucap syukur, mulutnya terus memuliakan Allah yang telah menyembuhkannya. Tampak jelas suasana batinnya, penuh kesukacitaan, namun tak berpusat pada diri, melainkan Allah yang menyembuhkannya. Sangat berbeda dengan Yahudi yang sangat senang diri, berpusat pada diri, sehingga lupa Sang Ilahi.

Ah, kesembuhan mereka sangat menyedihkan, tapi heran, selalu menjadi impian semua insan beragama di segala jaman. Sementara si Samaria yang tersungkur, sangat berbeda sekali. Dia tahu kebenaran, bukanlah sekadar kesembuhan tapi pengenalan akan Allah yang hidup. Kesadaran akan kebenaran tak saja memberikan dia kesembuhan fisik, bahkan lebih, dan justru itu yang terutama, yaitu keselamatan. ”Imanmu telah menyelamatkanmu,” kata Tuhan Yesus kepadanya. Yang satu ini sembuh, dan kesembuhanya membawa kehidupan yang kekal baginya. Kehidupan yang kekal dalam keselamatan, itulah yang utama dalam hidup keberimanan orang percaya. Inilah pesan utam injil Lukas, keselamatan bukan sekadar kesembuhan. Namun sekali lagi, ironisnya keagamaan, yang menjadi berita adalah kesembuhan, dan itu otomatis bukti dikasihi Allah dan pasti selamat. ”Tidak mungkin orang yang disembuhkan dalam nama Yesus Kristus tidak selamat!” teriak mereka. Mereka bermain dengan logika sempitnya, mereka tak mau melihat kebenaran yang sesungguhnya. Mereka hanya suka kulit dari kebenaran, bukan isinya. Padahal, amat sangat jelas, orang bisa mendapatkan kesembuhan, tapi tidak keselamatan. Sama seperti kebenaran dalam Matius 7:21-23, ada orang yang mengusir setan dan karunia mukizat lainnya, namun dia sendiri diusir Tuhan, tidak layak masuk surga.

Awas, hati-hati, jangan sampai Anda mendapatkan kesembuhan tapi tidak mendapatkan keselamatan. Karena itu datang dan berharaplah kepada Tuhan, dan bukan, kepada pendeta, apalagi menjadi pemujanya. Jika itu yang Anda lakukan, Anda tak hanya sedang merusak diri tetapi juga pendetanya. Hendaklah kita saling mengingatkan, bukan saling memanfaatkan, supaya kita sama-sama diselamatkan. Ingat, kesembuhan ilahi tidak sama dengan keselamatan. Anda bisa sembuh dari penyakit, tapi malah mati rohani.

Semoga rohani kita dihidupkan oleh Tuhan Sang Pencipta, maka kesembuhan hanyalah tambahan yang bisa didapatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Kesembuhan bukan apa-apa, tapi keselamatan, itu yang utama. Sekali lagi, awas, kesembuhan fisik yang membawa kematian rohani, karena setan suka bermain di sana.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer