KEBENARAN Alkitab memang penuh kejutan, karena seringkali berlawanan dengan alur pikir manusia pada umumnya. Adalah Hizkia yang mengalami peristiwa luar biasa di dalam kehidupannya. Di tengah tekanan politis akibat agresi militer Sanherib, raja Asyur, Hizkia jatuh sakit. Tak terlalu jelas jenis penyakit Hizkia, tapi sangat jelas pesan Nabi Yesaya agar Hizkia menyampaikan pesan terakhirnya kepada keluarganya. Ah, berat sekali, nabi telah menyampaikan sabda Allah, dan itu adalah berita yang tak tertolak. Dan, beritanya adalah kematian, sungguh sangat menyesakkan. Hizkia terpukul, berseru kepada Allah sang pencipta: “Ya, Tuhan ingatlah kiranya bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu (2 Raja-Raja 20: 3).
Ajaib, kematian menjauh dari hidup Hizkia, sebaliknya kesembuhan menjadi miliknya. Tak tanggung-tanggung Hizkia mendapat bonus hidup lima belas tahun lagi. Bayangkan, luput dari penyakit yang bisa membawa kematian, dan lima belas tahun ekstra. Kebahagiaan yang tak terbilang, sekaligus mukjizat yang sangat hebat. Ya, Hizkia yang selalu berusaha hidup benar di hadapan Allah mendapatkan kasih karunia. Kepungan Sanherib yang menakutkan, ditambah sakit yang mematikan merupakan perpaduan lengkap yang sungguh tak mengenakkan. Lolos dari maut akhirnya memberi harapan kuat baginya untuk melanjutkan hidup. Dan, lagi-lagi Allah melindunginya dari kepungan Sanherib, sehingga pada jamannya ada keamanan dan ketenangan.
Siapa yang tak bahagia mengalami mukjizat yang hebat. Tetapi ironis, ini adalah kisah berikutnya. Hizkia dicatat dalam 2 Tawarikh 32: 25, sebagai tidak tahu berterima kasih atas kebaikan Allah. Dia menjadi angkuh atas pengalaman kesembuhannya, merasa sangat rohani, atau raja hebat yang sangat diberkati. Ternyata kebaikan Allah yang dinyatakan dalam kesembuhan dapat berakibat pada kesombongan. Ya, kesembuhan yang dialami tak sama dengan kerendahan hati seseorang dalam merespon kemurahan Tuhan. Bahkan sebaliknya bisa berbuah pada kesombongan.
Ah, manusia memang makhluk dengan sejuta perilaku yang tak terpuji. Hizkia hanyalah salah satunya. Hizkia memang kemudian menyadari akan kesalahan itu, mengaku dosa di hadapan Tuhan, dan lagi-lagi mendapat kasih karunia Tuhan. Andaikan Tuhan adalah Tuhan yang suka berhitung maka habislah kisah Hizkia. Tapi awas, jangan juga salah paham, seakan Tuhan akan terus mengiyakan, karena Dia juga adalah Tuhan yang menghukum dengan serius. Kesalahan Hizkia karena umur panjang ternyata terus berlanjut. Umur yang panjang membuat Hizkia menyempatkan diri untuk mendemonstrasikan kekayaan kerajaan yang adalah anugerah Tuhan. Dengan penuh kebanggaan Hizkia mempertontonkan semua kekayaan istana kepada utusan kerajaan Babel. Nah, Hizkia berbuat salah lagi.
Nabi Yesaya datang dan bertanya, “Siapa yang datang dan apa yang telah dilakukannya”. Mendengar bahwa itu adalah utusan Babel, dan bahwa Hizkia menunjukkan semua isi istana, maka Yesaya menyampaikan berita yang mengejutkan. Dengan tegas Yesaya berkata, bahwa semua isi istana, termasuk warisan berharga dari para nenek moyangnya akan hilang lenyap. Semua isi istana akan dijarah dan diangkut ke Babel. Sebuah nubuatan yang bukan karangan, yang kelak memang menjadi kenyataan. Hizkia terdiam, lalu menjawab, sungguh baik firman Tuhan yang diucapkan Yesaya itu. Namun, di dalam hatinya Hizkia berucap, tak mengapa seluruh harta istana dijarah, asal bukan pada jamannya.
Ah, bagimana mungkin, Hizkia yang hampir mati tetapi hidup lima belas tahun lagi berucap seperti itu? Hizkia tampak sangat egois, merasa nyaman pada dirinya, bodoh amat dengan keturunannya. Bukankah Hizkia telah mengalami mukjizat Allah? Ya, lagi-lagi ingatlah, mukjizat yang terjadi dalam hidup ini tak sama dengan sikap hidup benar di hadapan Allah. Dalam kitab Injil, kita membaca kisah janda miskin yang tak mengalami mukjizat menjadi kaya, tapi sangat pemurah dalam memberi. Atau kisah perempuan Samaria yang malah ditelanjangi dosanya, tetapi kemudian menjadi pekabar Injil yang luar biasa.
Kembali ke Hizkia, umur yang diperpanjang justru menjadi waktu bagi Hizkia berbuat salah. Apakah Allah tidak tahu kemungkinan ini? Jawabannya sangat jelas: Allah sudah pasti tahu. Lalu mengapa Dia membiarkannya dengan memperpanjang usia Hizkia? Sederhana saja, itu menjadi pembelajaran bagi setiap orang percaya agar bertanggung jawab dalam setiap tindakannya, dan belajar memahami tidak semua yang baik menurut diri akan menjadi baik di kemudian hari. Lihatlah Paulus sebagai rasul, yang dinubuatkan Agabus sebagai nabi; bahwa dia akan tertangkap apabila kembali ke Yerusalem. Namun Paulus tetap kembali dengan kalimat yang sangat jelas: “Memang untuk itulah aku dipanggil” (Kisah 21:10-14). Paulus menikmati hari kematian yang akan tiba dengan ketenangan yang hebat. Sebuah pengenalan akan Tuhan yang sangat terpuji. Hizkia tak jadi mati, tapi salah mengisi hidup ekstra yang telah diberikan Allah. Jadi, bukan soal doa supaya penyakit tak membawa kematian, melainkan bertanya untuk apa jika ada kehidupan. Umat seringkali berdalih, “Ya untuk melayani Tuhan?” Tapi apa iya? Perlu sebuah kejujuran. Karena kebanyakan manusia ingin sembuh karena tak ingin sakit. Sakit pasti menyusahkan diri. Dan, ingin sembuh supaya nyaman diri, bukan supaya terus melayani Tuhan. Selera kemanusiaan kita sangat self oriented, bukan God oriented.
Berbagai ajaran berkembang subur untuk bernegosiasi dengan Tuhan, seperti Hizkia, kata sang pengkhotbah. Tetapi sang pengkhotbah hanya membaca sepotong cerita Hizkia, dan sudah tentu potongan yang menyenangkan rasa kemanusiaan. Pesan kisah Hizkia bukan soal beriman untuk umur panjangnya, melainkan beriman tentang kualitas kehidupannya. Kisah Hizkia memang banyak dipelintir, bahkan disebut sebagai kekuatan doa yang bisa mengubah keputusan Tuhan. Rupanya orang beragama sudah melupakan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat dan selalu “maha” dalam hakekat-Nya. Jika Dia bisa berubah karena manusia, betapa hebatnya manusia, dan betapa kasihannya Tuhan karena harus mengikuti keinginan manusia.
Kasus Hizkia memperlihatkan Tuhan berdaulat penuh, Dia melakukannya dalam kemahatahuan-Nya. Sebelum Hizkia meminta Tuhan sudah tahu apa yang harus dilakukan-Nya (band. Matius 6: 8). Ironis memang, kisah Hizkia yang penuh pembelajaran ini, dipelintir menjadi penuh penuh keserakahan, sampai Tuhan pun digugat untuk berubah dan mengikuti selera diri. Adalah fakta mukjizat yang tak terbantah, bahwa Hizkia telah diberi umur panjang dengan sembuh dari penyakit yang bisa membawa kematian. Tetapi juga fakta yang mencengangkan bahwa Hizkia telah menjadi sangat egois dan mempersiapkan kehancuran kerajaannya.
Akhirnya Yehuda memang dibuang ke Babel, dan semua yang dipertontonkan Hizkia diangkut termasuk peralatan bermutu dan mahal yang ada di bait Allah. Belajarlah dari Hizkia, belajarlah terhadap keinginan diri, dan belajarlah untuk memahami untuk apa mukjizat di dalam kehidupan ini, jika memang Tuhan memberikan. Semoga Anda tak salah menerjemahkan, dan mengulang kisah mukjizat umur panjang yang malah menciptakan persoalan yang mengerikan. Berhentilah memelintir kebenaran Alkitab, bacalah dengan teliti dan lengkap, karena kebenaran tak bisa muncul hanya dari sepotong atau sepenggalan saja, melainkan sebuah keutuhan.
Ajaib, kematian menjauh dari hidup Hizkia, sebaliknya kesembuhan menjadi miliknya. Tak tanggung-tanggung Hizkia mendapat bonus hidup lima belas tahun lagi. Bayangkan, luput dari penyakit yang bisa membawa kematian, dan lima belas tahun ekstra. Kebahagiaan yang tak terbilang, sekaligus mukjizat yang sangat hebat. Ya, Hizkia yang selalu berusaha hidup benar di hadapan Allah mendapatkan kasih karunia. Kepungan Sanherib yang menakutkan, ditambah sakit yang mematikan merupakan perpaduan lengkap yang sungguh tak mengenakkan. Lolos dari maut akhirnya memberi harapan kuat baginya untuk melanjutkan hidup. Dan, lagi-lagi Allah melindunginya dari kepungan Sanherib, sehingga pada jamannya ada keamanan dan ketenangan.
Siapa yang tak bahagia mengalami mukjizat yang hebat. Tetapi ironis, ini adalah kisah berikutnya. Hizkia dicatat dalam 2 Tawarikh 32: 25, sebagai tidak tahu berterima kasih atas kebaikan Allah. Dia menjadi angkuh atas pengalaman kesembuhannya, merasa sangat rohani, atau raja hebat yang sangat diberkati. Ternyata kebaikan Allah yang dinyatakan dalam kesembuhan dapat berakibat pada kesombongan. Ya, kesembuhan yang dialami tak sama dengan kerendahan hati seseorang dalam merespon kemurahan Tuhan. Bahkan sebaliknya bisa berbuah pada kesombongan.
Ah, manusia memang makhluk dengan sejuta perilaku yang tak terpuji. Hizkia hanyalah salah satunya. Hizkia memang kemudian menyadari akan kesalahan itu, mengaku dosa di hadapan Tuhan, dan lagi-lagi mendapat kasih karunia Tuhan. Andaikan Tuhan adalah Tuhan yang suka berhitung maka habislah kisah Hizkia. Tapi awas, jangan juga salah paham, seakan Tuhan akan terus mengiyakan, karena Dia juga adalah Tuhan yang menghukum dengan serius. Kesalahan Hizkia karena umur panjang ternyata terus berlanjut. Umur yang panjang membuat Hizkia menyempatkan diri untuk mendemonstrasikan kekayaan kerajaan yang adalah anugerah Tuhan. Dengan penuh kebanggaan Hizkia mempertontonkan semua kekayaan istana kepada utusan kerajaan Babel. Nah, Hizkia berbuat salah lagi.
Nabi Yesaya datang dan bertanya, “Siapa yang datang dan apa yang telah dilakukannya”. Mendengar bahwa itu adalah utusan Babel, dan bahwa Hizkia menunjukkan semua isi istana, maka Yesaya menyampaikan berita yang mengejutkan. Dengan tegas Yesaya berkata, bahwa semua isi istana, termasuk warisan berharga dari para nenek moyangnya akan hilang lenyap. Semua isi istana akan dijarah dan diangkut ke Babel. Sebuah nubuatan yang bukan karangan, yang kelak memang menjadi kenyataan. Hizkia terdiam, lalu menjawab, sungguh baik firman Tuhan yang diucapkan Yesaya itu. Namun, di dalam hatinya Hizkia berucap, tak mengapa seluruh harta istana dijarah, asal bukan pada jamannya.
Ah, bagimana mungkin, Hizkia yang hampir mati tetapi hidup lima belas tahun lagi berucap seperti itu? Hizkia tampak sangat egois, merasa nyaman pada dirinya, bodoh amat dengan keturunannya. Bukankah Hizkia telah mengalami mukjizat Allah? Ya, lagi-lagi ingatlah, mukjizat yang terjadi dalam hidup ini tak sama dengan sikap hidup benar di hadapan Allah. Dalam kitab Injil, kita membaca kisah janda miskin yang tak mengalami mukjizat menjadi kaya, tapi sangat pemurah dalam memberi. Atau kisah perempuan Samaria yang malah ditelanjangi dosanya, tetapi kemudian menjadi pekabar Injil yang luar biasa.
Kembali ke Hizkia, umur yang diperpanjang justru menjadi waktu bagi Hizkia berbuat salah. Apakah Allah tidak tahu kemungkinan ini? Jawabannya sangat jelas: Allah sudah pasti tahu. Lalu mengapa Dia membiarkannya dengan memperpanjang usia Hizkia? Sederhana saja, itu menjadi pembelajaran bagi setiap orang percaya agar bertanggung jawab dalam setiap tindakannya, dan belajar memahami tidak semua yang baik menurut diri akan menjadi baik di kemudian hari. Lihatlah Paulus sebagai rasul, yang dinubuatkan Agabus sebagai nabi; bahwa dia akan tertangkap apabila kembali ke Yerusalem. Namun Paulus tetap kembali dengan kalimat yang sangat jelas: “Memang untuk itulah aku dipanggil” (Kisah 21:10-14). Paulus menikmati hari kematian yang akan tiba dengan ketenangan yang hebat. Sebuah pengenalan akan Tuhan yang sangat terpuji. Hizkia tak jadi mati, tapi salah mengisi hidup ekstra yang telah diberikan Allah. Jadi, bukan soal doa supaya penyakit tak membawa kematian, melainkan bertanya untuk apa jika ada kehidupan. Umat seringkali berdalih, “Ya untuk melayani Tuhan?” Tapi apa iya? Perlu sebuah kejujuran. Karena kebanyakan manusia ingin sembuh karena tak ingin sakit. Sakit pasti menyusahkan diri. Dan, ingin sembuh supaya nyaman diri, bukan supaya terus melayani Tuhan. Selera kemanusiaan kita sangat self oriented, bukan God oriented.
Berbagai ajaran berkembang subur untuk bernegosiasi dengan Tuhan, seperti Hizkia, kata sang pengkhotbah. Tetapi sang pengkhotbah hanya membaca sepotong cerita Hizkia, dan sudah tentu potongan yang menyenangkan rasa kemanusiaan. Pesan kisah Hizkia bukan soal beriman untuk umur panjangnya, melainkan beriman tentang kualitas kehidupannya. Kisah Hizkia memang banyak dipelintir, bahkan disebut sebagai kekuatan doa yang bisa mengubah keputusan Tuhan. Rupanya orang beragama sudah melupakan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat dan selalu “maha” dalam hakekat-Nya. Jika Dia bisa berubah karena manusia, betapa hebatnya manusia, dan betapa kasihannya Tuhan karena harus mengikuti keinginan manusia.
Kasus Hizkia memperlihatkan Tuhan berdaulat penuh, Dia melakukannya dalam kemahatahuan-Nya. Sebelum Hizkia meminta Tuhan sudah tahu apa yang harus dilakukan-Nya (band. Matius 6: 8). Ironis memang, kisah Hizkia yang penuh pembelajaran ini, dipelintir menjadi penuh penuh keserakahan, sampai Tuhan pun digugat untuk berubah dan mengikuti selera diri. Adalah fakta mukjizat yang tak terbantah, bahwa Hizkia telah diberi umur panjang dengan sembuh dari penyakit yang bisa membawa kematian. Tetapi juga fakta yang mencengangkan bahwa Hizkia telah menjadi sangat egois dan mempersiapkan kehancuran kerajaannya.
Akhirnya Yehuda memang dibuang ke Babel, dan semua yang dipertontonkan Hizkia diangkut termasuk peralatan bermutu dan mahal yang ada di bait Allah. Belajarlah dari Hizkia, belajarlah terhadap keinginan diri, dan belajarlah untuk memahami untuk apa mukjizat di dalam kehidupan ini, jika memang Tuhan memberikan. Semoga Anda tak salah menerjemahkan, dan mengulang kisah mukjizat umur panjang yang malah menciptakan persoalan yang mengerikan. Berhentilah memelintir kebenaran Alkitab, bacalah dengan teliti dan lengkap, karena kebenaran tak bisa muncul hanya dari sepotong atau sepenggalan saja, melainkan sebuah keutuhan.
0 comments:
Post a Comment