Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Wednesday, December 4, 2013

MENEMUKAN MUKJIZAT DALAM KEBUTAAN

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

KISAH anak yang lahir dalam kebutaan pastilah sangat mengenaskan. Orang tua mana yang tak hancur hatinya menghadapi kenyataan seperti ini. Namun ini adalah realita yang tak terhindarkan. Toh, kita tak pernah bisa memilih suasana atau kisah kelahiran diri. Semua terjadi dalam kendali dan kedaulatan Sang Pencipta. Lahir dalam kebutaan juga selalu menghadirkan teka-teki dan misteri. Ya, sebuah tanya yang terus menggema: siapa yang salah dalam peristiwa ini. Begitu pula dengan para murid Tuhan Yesus, mereka berusaha menduga, dosa siapa penyebab semua ini. Dosa orang tuanyakah, atau bahkan dosa anak itu? Sebuah usaha memecah misteri dengan menimbulkan misteri yang baru, tapi misteri yang sudah pasti salah. Ada banyak kemungkinan di sana yang bisa diperdebatkan.

Agama memang selalu mencari jalan pintas jawaban yang seringkali tak dapat dipertangunggungjawabkan. Sakit, miskin, bencana alam, atau apa pun yang tak nikmat, itu pasti karena kutuk. Sementara sehat, kaya, atau pesta disebut berkat, sekalipun di balik semuanya tampak jelas dosa yang besar. Agama memang seringkali “berselingkuh” dengan kebenaran semu, bersifat manipulatif, dan, kesucian pun hanya ritual saja.

Kembali ke kisah sianak yang buta sejak lahir. Ternyata semua murid salah menduga. Bukan saja salah, bahkan mereka tersentak dengan kenyataan yang diucapkan Tuhan Yesus. Bukan dosa orang tuanya, bukan pula dosa anak itu, kata Tuhan Yesus. Lantas, mengapa? Karena pekerjaan Tuhan harus dinyatakan di dalam anak yang buta itu.

Ah, proyek kemuliaan Tuhan dinyatakan dalam penderitaan? Ironis sekali, teriak hati yang penuh dosa. Ya, bagaimana mungkin Tuhan tega mencari kemuliaan bagi diri-Nya lewat penderitaan orang lain, bahkan seorang anak, dan sejak kelahirannya. Tak ada manusia yang sanggup menerima realita seperti ini, mengingat manusia sangat mencitai dirinya dan merasa tak pantas untuk mengalami penderitaan apa pun. Hanya manusia yang menyadari anugerah Allah, dan mau menyangkal diri dan memikul salib, yang bisa menerima realita sepahit apa pun. Manusia yang memahami kebenaran secara utuh, dan sadar sepenuhnya bahwa hidup memang dalam keberdosaan, di dunia yang berdosa, yang selalu melahirkan masalah yang tak kunjung usai. Si anak yang lahir buta, yang tak dapat menikmati keindahan dunia ciptaan Allah, tampaknya sangat menderita. Tapi ajaib, kisah yang berjalan mendebarkan ini berakhir dalam sebuah klimaks yang mencengangkan.

Kitab Yohanes 9 mengungkapkan bagimana kesembuhannya dari kebutaan ternyata merupakan bagian dari perjalanan pertemuannya dengan Tuhan Yesus. Kebutaan yang dialaminya bukanlah malapetaka sebagaimana yang dilihat manusia pada umumnya. Kebutaan itu adalah bagian dari anugerah yang diterimanya. Kebutaan itulah yang membuat dia bertemu dan mengenal Tuhan Yesus secara pribadi. Kebutaannya yang disebut sebagai peluang melihat Tuhan Yesus, sementara meleknya orang Farisi ternyata menjadi kebutaan rohani yang parah.

Nah, jika begini, bukankah lebih menyenangkan buta kemudian dapat mengenal Tuhan Yesus, ketimbang melek namun harus terpisah dan tidak pernah mengenal Tuhan Yesus? Tapi, sekalipun itu kenyataannya, siapakah yang ingin buta, bahkan sejak lahir, dan baru sembuh setelah dewasa? Si buta mengalami mukjizat kesembuhan, namun ternyata ada mukjizat yang lebih besar, yaitu kebutaan itu sendiri. Ya, kebutaan yang membawanya bertemu dan mengenal Tuhan Yesus.

Pada 1820-1915, ada sebuah kisah yang sangat menggugah hati, kisah tentang iman Fanny J. Crosby. Ketika dia masih bayi berusia enam minggu dia mengalami permasalah dengan penglihatannya, sebagai akibat dari demam panjang yang menimpanya. Seorang dokter menawarkan diri untuk mengobatinya. Namun apa yang hendak dikata, bukannya kesembuhan malah sebaliknya kebutaan, itulah yang didapat Fanny. Ternyata si dokter adalah dokter gadungan, dia hanya seorang mahasiswa kedokteran yang drop out dari bangku kuliah. Sebuah malpraktek. Namun lagi-lagi, kenyataan tak dapat dihindari, Fanny yang dilahirkan 24 Maret 1820 itu akhirnya hidup dalam kebutaan sepanjang hidupnya. Namun Fanny beruntung memiliki orang tua yang mendukungnya sepenuh hati dengan kasih sayang. Fanny terus bertumbuh dan menjadi seorang komposer lagu rohani Kristen yang sangat terkenal. Dia menggubah tidak kurang dari 8.000 lagu, 6.000 di antaranya sangat familiar, termasuk lagu “Ku berbahagia yakin teguh”, atau “Sudahkah yang terbaik kuberikan”.

Yang membuat Fanny luar biasa bukanlah cuma karena menggubah ribuan lagu, melainkan sikap imannya. Satu kali waktu dalam sebuah wawancara, seorang reporter bertanya pada Fanny, apakah yang diinginkannya jika Tuhan memberikan dia satu kali lagi kehidupan. Dengan lugas, tanpa keraguan sedikit pun, Fanny menjawab tegas, “Aku ingin terlahir buta, namun dicintai dan mencitai Tuhan Yesus Kristus”. Ah, Fanny merasa tak penting meminta kesembuhan, apalagi sebagai sebuah upah melayani Tuhan dengan menggubah ribuan lagu. Fanny merasa hidupnya amat sangat beruntung bukan karena apa yang dimilikinya, melainkan ketika Tuhan mau mengangkat Fanny sebagai anak-Nya.

Bagi Fanny kasih Tuhan lebih dari segalanya, termasuk sembuh dari kebutaan pun terlupakan oleh dia. Bukankah kisah Fanny ini merupakan mukjizat dalam kebutaan? Jadi, mukjizat itu bukan sekadar bisa melihat alam raya ciptaan Tuhan yang indah, melainkan melihat kasih Tuhan yang besar di dalam kebutaan mata. Sebuah sikap yang sudah pasti amat sangat langka di abad kita, di mana manusia hanya berpusat pada diri, dan bercita-cita hanya untuk mendapatkan segala apa yang diingininya. Mukjizat bagi makhluk beragama masa kini adalah terpenuhinya setiap permintaannya, tanpa pernah mau tahu apa yang Tuhan mau.

Kisah si buta dalam Injil Yohanes memang agak berbeda dengan kisah Fanny Crosby. Si buta dalam kitab injil Yohanes kemudian hari melihat, sementara Fanny tidak pernah melihat hingga akhir hayatnya. Tapi ada persamaan yang jelas di sana, yaitu bahwa keduanya dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Ah, alangkah indahnya hidup yang memuliakan Tuhan. Si buta dalam Injil Yohanes, menjadi batu sandungan bagi Farisi yang sarat dengan perilaku agama yang imitasi, yang berseru dalam doa tapi sombong dalam hati. Kini ketidakpercayaan mereka kepada Tuhan Yesus, dipermalukan oleh seorang buta sejak lahir, yang kini melihat oleh kuasa Tuhan Yesus.

Begitu pula dengan Fanny, dia menyentil kita, menjadi batu sandungan bagi siapa saja yang hanya cinta diri. Siapa saja yang hanya ingin mukjizat terjadi untuk memuaskan diri dan bukan kehendak Allah. Menemukan mukjizat di kebutaan hanyalah mungkin dalam kedewasaan iman, apakah kita memiliki iman yang dewasa. Mukjizat, karena di kebutaan seorang Fanny dia sangat tegar menghadapi kehidupan dan sangat sarat dengan karya yang tak terbilang. Mukjizat, karena di kebutaan seorang pengemis dia bisa menjadi saksi, padahal di masa itu buta dan mengemis pula, adalah pendosa besar. Tetapi kedua orang buta ini, yang hidup di dua jaman dan situasi yang berbeda, sama hebatnya dipakai oleh Tuhan.

Semoga Anda dan saya tergugah dan belajar mengenal diri, jika saja kita yang buta, akankah kita tetap memuliakan DIA, melayani dengan ketulusan dan keteguhan iman yang hebat, dan bukan sekadar melayani karena terjebak pada situasi yang tak dapat diatasi. Mari terus menggali, dalam dan lebih dalam lagi, sampai kita menemukan mukjizat di balik mukjizat. Bukan sekadar kesembuhannya tapi pemaknaan iman kita.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer