ALKITAB penuh dengan hal yang paradoks, sehingga menuntut umat mampu berpikir paradoks pula. Sebagai istilah, mungkin banyak umat tak memahaminya, namun secara esensial mereka sudah menjalaninya. Lihatlah kisah-kisah Alkitab, tentang seorang janda miskin, yang seharusnya mengasihani diri dalam kekurangan, malah memberi dengan kelimpahan. Lihat pula kisah penyaliban Yesus Kristus. Di perjalanan DIA memikul salib yang berat, bukan saja sebagai beban fisik tetapi juga suasana batin yang sendiri dan terpojok. Dia layak dikasihani. Perempuan-perempuan Yerusalem bisa merasakan hal itu, mereka bersimpati dan menangis buat DIA, namun Yesus memandang mereka dan berkata, “Jangan tangisi AKU tetapi tangisilah dirimu”. Ah, totalitas paradoks.
Paradoks adalah dua hal yang bertolak belakang namun benar. Si janda miskin tapi memberi bagaikan janda kaya. Yesus yang memikul salib tapi mengasihani mereka yang tak memikul salib. Si janda memang miskin materi namun dia sangat kaya rohani, tindakannya itulah yang disebut paradoks. Mestinya sebagai seorang miskin dia meminta ke sana ke mari, namun hebat, bukannya meminta malah dia memberi. Begitu pula dengan Yesus Kristus, DIA sangat layak menerima belas kasihan perempuan-perempuan Yerusalem, namun DIA sedang merasakan “kenikmatan” menjalankan tugas dalam penderitaan penebusan, dan justru mengasihini mereka yang tak terlibat di dalamnya.
Di dalam keparadoksan itu ada kebenaran yang mutlak, namun naluri kemanusiaan kita sebagai orang berdosa tak menyukainya. Mengikut Yesus selalu diterjemahkan mendapatkan apa yang kita inginkan, walaupun dengan jelas, Yesus berkata jika mau mengikut DIA: “Sangkal dirimu, pikul salibmu, ikulah AKU”. Dan, herannya, umat lebih percaya dan menikmati sepenuhnya khotbah-khotbah yang menjanjikan kesuksesan tanpa batas, dan dengan sadar menghindari khotbah-khotbah tentang salib itu.
Dunia memang sangat menawan dengan untaian kenikmatan hidup. Beberapa pengkhotbah, dengan jeli menangkap peluang dan membungkus kenikmatan atas nama berkat Tuhan. Menawarkannya kepada umat, dan, gayung bersambut, umat berebut. Ironis, tapi itulah lukisan kehidupan masa kini. Kebenaran makin dipinggirkan, umat makin menyukai kepalsuan. Secara umum, inilah kondisi kerohanian umat masa kini. Maka kesuksesan kepalsuan semakin menggila, ya si penyesat semakin menghebat.
Semua ini memang tercipta dari kondisi kehidupan manusia modern yang selalu suka jalan pintas. Mental baja, moral permata, semakin sulit ditemukan. Kecengengan dalam menjalani kehidupan, tampak nyata dengan semakin getolnya umat mencari peruntungan ramalan ke paranormal. Acara-acara televisi mampu menyedot keuntungan dari program ini, khususnya dengan kecanggihan sistem komunikasi, sehingga cukup dengan telepon atau media elektronik lainnya.
Yang berbau agama pun semakin marak diperjualbelikan, dengan dalih pelayanan. Semua serba bertopeng, dan, ayat-ayat suci diluncurkan menjadi produk penangkal masalah kehidupan. Serba instan dan serba semu. Semakin maraklah pengkhotbah yang tak lagi mengkhotbahkan Injil sebagai yang terpenting (1 Korintus 15), melainkan demonstrasi mukjizat dan janji kelepasan dari semua persoalan kehidupan. Tak ada yang salah dengan mukjizat sebagai karunia Roh, tapi menjadi masalah ketika itu yang ditekankan sementara ajaran diabaikan (band. Matius 7: 22-23 dan 2 Yohanes 1). Umat hanya terobsesi dengan mukjizat tapi kehilangan pemahaman yang sehat tentang kebenaran Injil. Umat termakan janji jalan pintas lepas dari masalah, cukup dengan doa tumpang tangan dan berbagai ritual saja. Inilah jalan licin yang mudah membuat umat tergelincir.
Rasul Paulus terus mengkritik mereka yang berkajang dengan penglihatan, seakan-akan Alkitab tak cukup sebagai jalan kebenaran (Kolose 2:18). Begitu hebatnya kebenaran Alkitab, sangat presisi, teruji, dan sering coba dihancurkan oleh mereka yang anti pada kekristenan, namun waktu membuktikan Alkitab tak terbantahkan. Tapi kini, orang Kristen sendiri menodai, memodifikasi ayat-ayat suci untuk kepentingan diri. “Tak boleh ini, tak boleh itu, lihat ini, lihat itu, inilah jalan keluar dari permasalahan, cukup dengan ini dan itu!” teriak sang pengkhotbah yang sering menyebut diri penuh karunia dan urapan. Semuanya ditampilkan sangat rohani, padahal seperti kata Paulus, penuh kepalsuan. Sebuah pembohongan, dan di sinilah penyesatan bertumbuh subur.
Pengkhotbah-pengkhotbah karbitan, yang tak rela menginvestasi waktu untuk belajar, tapi selalu mau berkhotbah, mereka menjadi agen percepatan kesesatan. Mereka sangat cepat merekam berbagai khotbah tanpa mampu menyaringnya. Mereka meneruskan khotbah itu tanpa menyadari kesalahannya. Dan, akhirnya mereka terlibat menjadi agen kesalahan, dan jangan heran jika kesesatan semakin menggila. Semua orang masuk dalam barisan menjadi pendoa, penglihat, penubuat. Sayangnya, lagi-lagi tak ada waktu untuk menjadi pembelajar Injil. Semua berkajang pada opini diri, bukan kebenaran.
Alangkah indahnya seorang yang berdoa, mendoakan banyak hal, karena mengerti kebenaran, dan rindu semua orang mengenal kebenaran. Bukannya berdoa untuk mendapat petunjuk ini dan itu, yang mirip dengan tradisi peramal, hanya saja berbaju kristiani. Alangkah indahnya para pengkhotbah yang memberitakan kebenaran seutuhnya, mereka adalah utusan pemberita kabar baik. Mereka tak pernah berhenti untuk belajar kebenaran, tak terjebak dalam situasi semu kerohanian, dan yang lebih penting, buah kehidupan mereka tampak nyata, terukur dan bisa dirasakan. Namun barisan seperti ini semakin langka, inilah realita yang menyedihkan dalam kekristenan.
Di sisi lain, umat makin enggan menggali kebenaran Firman. Tak pernah bergairah memakai akal budi yang Tuhan berikan, yang untuk itu Alkitab berkata: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Ya, dengan segenap akal budimu, untuk berpikir mengerti Alkitab dan menguji segala sesuatu (1 Tesalonika 5: 21). Umat malah diajar tak kritis, tak menguji, bahkan diajar untuk mengabaikan akal budi. Sungguh ini sebuah pelecehan terhadap anugerah Allah, yang memberikan akal budi kepada manusia untuk berpikir. Penekanan pengabaian akal budi memang merupakan jurus dan siasat si penyesat, agar umat tak lagi waspada, tak lagi menguji, sehingga mudah untuk disesatkan.
Situasi hidup yang memang terasa semakin berat, menjadi sebuah kondisi yang rentan terhadap sikap kritis umat. Umat terjebak kepada jalan pintas, tak rela bergumul. Dan, yang lebih berat lagi adalah umat cenderung menikmati berbagai kegiatan rohani sebagai wadah melarikan diri dari persoalan hidup yang sesungguhnya. Di situasi ini tak heran jika tempat kegiatan rohani yang menawarkan acara yang emosional, ritual pelepasan, menjadi daya tarik tersendiri. Doa tak ubahnya mantera, penumpangan tangan bagaikan pengaliran tenaga dalam, yang prakteknya mudah ditemukan di berbagai acara ritual lainnya. Yang beda, yang ini bungkus Kristen, yang lain bukan, tapi esensinya sama. Si penyesat pun semakin hebat karena panen besar menggarap umat yang kehilangan arah.
Semoga kita yang masih mencintai kebenaran yang seutuhnya terpanggil membuat barisan, merebut, atau paling tidak menolong umat agar tak terperangkap. Atau Anda akan berkata, “Ah itu bukan urusan saya, terserah masing-masing mau pilih yang mana”. Namun yang pasti Alkitab tak pernah memberi pilihan, kecuali taat dan hidup sesuai ketetapan Firman (Mazmur 119:105). Selamat bijak, dan tak terjebak oleh tipu si penyesat.
Paradoks adalah dua hal yang bertolak belakang namun benar. Si janda miskin tapi memberi bagaikan janda kaya. Yesus yang memikul salib tapi mengasihani mereka yang tak memikul salib. Si janda memang miskin materi namun dia sangat kaya rohani, tindakannya itulah yang disebut paradoks. Mestinya sebagai seorang miskin dia meminta ke sana ke mari, namun hebat, bukannya meminta malah dia memberi. Begitu pula dengan Yesus Kristus, DIA sangat layak menerima belas kasihan perempuan-perempuan Yerusalem, namun DIA sedang merasakan “kenikmatan” menjalankan tugas dalam penderitaan penebusan, dan justru mengasihini mereka yang tak terlibat di dalamnya.
Di dalam keparadoksan itu ada kebenaran yang mutlak, namun naluri kemanusiaan kita sebagai orang berdosa tak menyukainya. Mengikut Yesus selalu diterjemahkan mendapatkan apa yang kita inginkan, walaupun dengan jelas, Yesus berkata jika mau mengikut DIA: “Sangkal dirimu, pikul salibmu, ikulah AKU”. Dan, herannya, umat lebih percaya dan menikmati sepenuhnya khotbah-khotbah yang menjanjikan kesuksesan tanpa batas, dan dengan sadar menghindari khotbah-khotbah tentang salib itu.
Dunia memang sangat menawan dengan untaian kenikmatan hidup. Beberapa pengkhotbah, dengan jeli menangkap peluang dan membungkus kenikmatan atas nama berkat Tuhan. Menawarkannya kepada umat, dan, gayung bersambut, umat berebut. Ironis, tapi itulah lukisan kehidupan masa kini. Kebenaran makin dipinggirkan, umat makin menyukai kepalsuan. Secara umum, inilah kondisi kerohanian umat masa kini. Maka kesuksesan kepalsuan semakin menggila, ya si penyesat semakin menghebat.
Semua ini memang tercipta dari kondisi kehidupan manusia modern yang selalu suka jalan pintas. Mental baja, moral permata, semakin sulit ditemukan. Kecengengan dalam menjalani kehidupan, tampak nyata dengan semakin getolnya umat mencari peruntungan ramalan ke paranormal. Acara-acara televisi mampu menyedot keuntungan dari program ini, khususnya dengan kecanggihan sistem komunikasi, sehingga cukup dengan telepon atau media elektronik lainnya.
Yang berbau agama pun semakin marak diperjualbelikan, dengan dalih pelayanan. Semua serba bertopeng, dan, ayat-ayat suci diluncurkan menjadi produk penangkal masalah kehidupan. Serba instan dan serba semu. Semakin maraklah pengkhotbah yang tak lagi mengkhotbahkan Injil sebagai yang terpenting (1 Korintus 15), melainkan demonstrasi mukjizat dan janji kelepasan dari semua persoalan kehidupan. Tak ada yang salah dengan mukjizat sebagai karunia Roh, tapi menjadi masalah ketika itu yang ditekankan sementara ajaran diabaikan (band. Matius 7: 22-23 dan 2 Yohanes 1). Umat hanya terobsesi dengan mukjizat tapi kehilangan pemahaman yang sehat tentang kebenaran Injil. Umat termakan janji jalan pintas lepas dari masalah, cukup dengan doa tumpang tangan dan berbagai ritual saja. Inilah jalan licin yang mudah membuat umat tergelincir.
Rasul Paulus terus mengkritik mereka yang berkajang dengan penglihatan, seakan-akan Alkitab tak cukup sebagai jalan kebenaran (Kolose 2:18). Begitu hebatnya kebenaran Alkitab, sangat presisi, teruji, dan sering coba dihancurkan oleh mereka yang anti pada kekristenan, namun waktu membuktikan Alkitab tak terbantahkan. Tapi kini, orang Kristen sendiri menodai, memodifikasi ayat-ayat suci untuk kepentingan diri. “Tak boleh ini, tak boleh itu, lihat ini, lihat itu, inilah jalan keluar dari permasalahan, cukup dengan ini dan itu!” teriak sang pengkhotbah yang sering menyebut diri penuh karunia dan urapan. Semuanya ditampilkan sangat rohani, padahal seperti kata Paulus, penuh kepalsuan. Sebuah pembohongan, dan di sinilah penyesatan bertumbuh subur.
Pengkhotbah-pengkhotbah karbitan, yang tak rela menginvestasi waktu untuk belajar, tapi selalu mau berkhotbah, mereka menjadi agen percepatan kesesatan. Mereka sangat cepat merekam berbagai khotbah tanpa mampu menyaringnya. Mereka meneruskan khotbah itu tanpa menyadari kesalahannya. Dan, akhirnya mereka terlibat menjadi agen kesalahan, dan jangan heran jika kesesatan semakin menggila. Semua orang masuk dalam barisan menjadi pendoa, penglihat, penubuat. Sayangnya, lagi-lagi tak ada waktu untuk menjadi pembelajar Injil. Semua berkajang pada opini diri, bukan kebenaran.
Alangkah indahnya seorang yang berdoa, mendoakan banyak hal, karena mengerti kebenaran, dan rindu semua orang mengenal kebenaran. Bukannya berdoa untuk mendapat petunjuk ini dan itu, yang mirip dengan tradisi peramal, hanya saja berbaju kristiani. Alangkah indahnya para pengkhotbah yang memberitakan kebenaran seutuhnya, mereka adalah utusan pemberita kabar baik. Mereka tak pernah berhenti untuk belajar kebenaran, tak terjebak dalam situasi semu kerohanian, dan yang lebih penting, buah kehidupan mereka tampak nyata, terukur dan bisa dirasakan. Namun barisan seperti ini semakin langka, inilah realita yang menyedihkan dalam kekristenan.
Di sisi lain, umat makin enggan menggali kebenaran Firman. Tak pernah bergairah memakai akal budi yang Tuhan berikan, yang untuk itu Alkitab berkata: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Ya, dengan segenap akal budimu, untuk berpikir mengerti Alkitab dan menguji segala sesuatu (1 Tesalonika 5: 21). Umat malah diajar tak kritis, tak menguji, bahkan diajar untuk mengabaikan akal budi. Sungguh ini sebuah pelecehan terhadap anugerah Allah, yang memberikan akal budi kepada manusia untuk berpikir. Penekanan pengabaian akal budi memang merupakan jurus dan siasat si penyesat, agar umat tak lagi waspada, tak lagi menguji, sehingga mudah untuk disesatkan.
Situasi hidup yang memang terasa semakin berat, menjadi sebuah kondisi yang rentan terhadap sikap kritis umat. Umat terjebak kepada jalan pintas, tak rela bergumul. Dan, yang lebih berat lagi adalah umat cenderung menikmati berbagai kegiatan rohani sebagai wadah melarikan diri dari persoalan hidup yang sesungguhnya. Di situasi ini tak heran jika tempat kegiatan rohani yang menawarkan acara yang emosional, ritual pelepasan, menjadi daya tarik tersendiri. Doa tak ubahnya mantera, penumpangan tangan bagaikan pengaliran tenaga dalam, yang prakteknya mudah ditemukan di berbagai acara ritual lainnya. Yang beda, yang ini bungkus Kristen, yang lain bukan, tapi esensinya sama. Si penyesat pun semakin hebat karena panen besar menggarap umat yang kehilangan arah.
Semoga kita yang masih mencintai kebenaran yang seutuhnya terpanggil membuat barisan, merebut, atau paling tidak menolong umat agar tak terperangkap. Atau Anda akan berkata, “Ah itu bukan urusan saya, terserah masing-masing mau pilih yang mana”. Namun yang pasti Alkitab tak pernah memberi pilihan, kecuali taat dan hidup sesuai ketetapan Firman (Mazmur 119:105). Selamat bijak, dan tak terjebak oleh tipu si penyesat.
0 comments:
Post a Comment