Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Friday, December 6, 2013

MENGENALI KEPALSUAN DALAM KEROHANIAN

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================



MUNGKINKAH dalam dunia kerohanian ada kepalsuan? Ini sebuah pertanyaan yang patut diajukan karena dunia rohani selalu dinilai identik dengan yang suci, yang murni, yang berbeda dengan nilai-nilai umum. Ternyata kitab suci sejak dini justru telah menjadikan ini sebuah teriakan keras agar umat berhati-hati. Ya, berhati-hati, karena nilai rohani seringkali dijadikan bungkus kepalsuan. Bungkus kepalsuan karena memang sangat efektif untuk menipu, dari sejak dulu, bahkan sejak manusia pertama. Mereka tergiur pada bahasa rohani setan yang dibungkus dengan kata-kata, seolah-olah Tuhanlah yang bersabda. Hawa berdialog dengan setan seakan mendiskusikan kebenaran, padahal ujungnya hanyalah sebuah tipuan yang mematikan. Setan cerdik dan licik, dia punya sejuta cara untuk menjebak manusia. Sayangnya, manusia yang sejatinya diproteksi oleh kasih dan kuasa Allah ternyata mudah tergiur kepada godaan setan yang berbungkus rohani.

Bungkus rohani selalu datang silih berganti namun tetap sama berisi kepalsuan. Bungkus rohani bagaikan packaging dalam dunia industri. Cobalah lihat realita di dunia dagang, ada banyak barang dagangan yang tak laku di pasaran, ditarik dan dijual kembali. Ajaib! Sekarang barang yang sama bisa terjual bahkan dalam jumlah yang signifikan. Mengapa? Apa yang terjadi? Jangan kaget, karena ternyata barang yang sama telah berganti packing. Kini barang yang sama di-packing lebih menarik dengan penampilan yang total berbeda. Tapi ingat, barang tetap sama. Dalam era dagang masa kini packing memiliki peran yang cukup penting. Bangku kuliah untuk design industry semakin diminati karena dinilai semakin menjanjikan. Era kita memang era packaging.

Dalam kehidupan manusia juga berlaku hal yang sama. Lihat saja menjamurnya sekolah kepribadian. Tak ada yang salah untuk berkepribadian menarik. Tapi yang menjadi masalah besar adalah ketika kepribadian yang dibangun ternyata menjadi bungkus karakter yang buruk. Ya, kini banyak, dan dengan mudah kita bisa menemukan orang berkepribadian menarik, menyenangkan, namun itu tak lebih dari bungkus kepalsuan karakter yang tidak terpuji. Kepribadian berubah menjadi aksesoris perilaku. Ini menakutkan, karena semakin sulit Anda untuk menemukan originalitas karakter seseorang. Bahkan dalam dunia gereja, aksesoris kepribadian menjadi ujung tombak untuk menerima dan meningkatkan jumlah pengunjung. Semua tampak menyenangkan karena hanya bungkusnya saja. Itu sebab dalam perjalanan waktu kemudian terjadi ledakan kekecewaan karena umat menemukan yang sebenarnya. Berbagai peristiwa, situasi yang pelik, sangat efektif membongkar semua kepribadian menarik, dan kemudian memunculkan karakter sesunguhnya, yang mengerikan. Dan, sudah pasti nyanyian kekecewaanpun berkumandang. Namun lagi-lagi packing, ya sekali lagi packing dimunculkan. Packing yang dibungkus dengan kata “mengampuni” sehingga kesalahan yang ada langsung dilupakan tanpa pernah menjadi pelajaran, apalagi menguji pertobatan.

Gereja yang sejati seharusnya adalah pertobatan, bukan perbaikan. Perbaikan adalah buah dari pertobatan. Pertobatan pasti diikuti oleh perbaikan, tetapi perbaikan bisa terjadi tanpa pertobatan. Perbaikan mengikuti bukan yang utama. Tapi dalam kenyataan, perbaikanlah yang dominan, yang utama, yang didengungkan, inilah yang kita sebut sebagai repacking. Karena itu tidak heran jika gereja semakin kehilangan suara kenabian, berganti menjadi suara “pesanan”. Bukan pesan Tuhan melainkan pesan pendengar. Dan, harap maklum khotbah pun jadi aksesoris, karena khotbah aksesoris memiliki peminat yang tinggi. Sementara khotbah yang benar dan jujur semakin tidak disukai, karena dianggap menyakiti. Maklum, lagi-lagi harap maklum, ini adalah konsekuensi logis ketika gereja ikut terjebak bermain packing.

Pengkhotbah yang tak kuat iman, akan tergerus idealisme di bangku seminari, berganti dengan semangat kompetisi mendapakan fasilitas. Khotbah dimodifikasi, packing diganti, dan ah, hebat sekali penggemar terus memekar. Dan, tidaklah mengherankan jika generasi pengkhotbah berikutnya mengikuti model yang pertama. Sementara gereja semakin kehilangan identitas Injil yang murni, berubah menjadi “Injil packaging”, yang hanya penuh slogan, bukan lagi Injil yang penuh dan dikuasai oleh kebenaran yang seutuhnya.

Packaging dalam gereja terus bergerak, dari fenomena kebangunan yang tak jelas ukuranya, lalu mengarah ke mukjizat kesembuhan yang minus pemberitaan dan pengajaran Injil. Lalu muncul pula penawaran kemakmuran lewat doa penumpangan tangan, ayat Alkitab dipelintir dan tak lagi utuh. Kekayaan dikumandangkan sebagai wujud iman, tetapi melupakan pengujian apalagi penderitaan karena kebenaran. Dan, seturut dengan kecintaan dunia pada kekuasaan, gereja pun tak ketinggalan menawarkan kekuasaan atas nama Tuhan, tentunya. Penyangkalan diri, kehambaan, tak laku untuk dikhotbahkan, berita ini seakan masuk kotak. Ini kenyataan yang tak terbantahkan. Belum lagi fakta gaya hidup pendeta yang sangat wah. Pelayanan yang berhasil diukur dari berapa besar rumahnya, berapa mewah mobilnya, dan berapa tebal tumpukan dolarnya. Pelayan yang melayani, hidup berkecukupan, hidup berbagi, tak dikenal di sini. Apalagi semangat Rasul Paulus yang berkata: “Bagiku, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”, malah dinilai sebagai sebuah semangat yang ekstrim, “tak cocok lagi dengan dunia masa kini,” katanya. Ya, soalnya sudah harus repacking.

Bagaimana seharusnya umat menempatkan diri agar tak terjebak fenomena Kristen packaging ini? Tak ada jalan lain, kecuali kembali kepada ketetapan Alkitab yang sudah ditanamkan sejak dulu. Pertobatan adalah kata pertama yang patut diucapkan untuk menggugat diri. Semua umat harus mejalani kehidupan dalam pertobatan yang sejati, bukan aksesoris. Bukan sekadar pengakuan bertobat, juga bukan sekadar kegiatan beribadah, juga bukan sekadar doa, persembahan, dan ritual gereja lainnya. Tetapi soal buah hidup dalam keluarga, nilai hidup dalam bekerja, kemurnian dalam melayani. Minta, atau biarkan orang lain menilai diri Anda, jangan terbiasa memproklamirkan diri. Berdiskusilah dengan hati sendiri, dan temukan jawaban jujur dalam diri. Bacalah Alkitab berulangkali, kapan saja, di mana saja, agar Anda mengetahui, mengerti, mengimani, dan tentu saja melakukan semuanya dalam kehidupan ini.

Bukankah Alkitab berkata bahwa Firman Tuhan adalah pelita bagi kaki dan terang bagi jalan kita? Ukurlah segala sesuatu, termasuk diri sendiri, dari perspektif Alkitab, bukan perspektif diri. Dengan begitu kita belajar peka terhadap kehendak Allah, tujuan hidup yang Allah kehendaki, dan tentu saja nilai-nilai kehidupan yang sesungguhnya. Dalam mendengar khotbah, latih diri menyeleksi, apakah itu khotbah yang murni atau aksesoris. Kesukaan Anda membaca Alkitab akan sangat menolong. Apabila ada yang kurang pas, biasakan menyampaikan pendapat Anda secara lisan atau tulisan kepada pengkhotbah, dan tentunya dengan sikap yang hormat. Semakin hari Anda akan semakin mudah membedakan mana khotbah dari Injil yang murni dan mana yang aksesoris. Anda akan semakin peka kepada kepalsuan. Lalu Anda juga harus belajar melihat keseimbangan antara bunyi khotbah dan perilaku si pengkhotbah. Di sana akan semakin terasa kepalsuan yang ada.

Dalam perjalanan waktu, mau tidak mau Anda harus berani berkata yang benar sekalipun itu mungkin menyakitkan. Yang penting, lakukan itu dalam sikap santun. Anda tidak mungkin bersikap natral terhadap kepalsuan, apalagi pura-pura tidak tahu, dan yang paling parah Anda tidak pernah mau tahu. Kepalsuan harus ditelanjangi, dan jika Anda mencintai kebenaran, lakukanlah. Jangan biarkan diri terjebak dan ikut tenggelam dalam kepalsuan. Selamat menemukan kebenaran.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer