Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Tuesday, December 11, 2012

NATAL MINUS TIGA

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

Natal kembali lagi. Itulah tema rutin Desemberan. Berbagai kegiatan gerejawi maupun mall meninggi. Diselah semua kesibukan itu, mari kita menepi sejenak. Duduk merenungkan kedalaman makna Natal yang sesungguhnya. Natal minus tiga. Istilah apa ini? Itu pasti muncul dibenak kita. Maklum, Natal rasanya jauh dari warna minus, bahkan sebaliknya, Natal selalu bernuansa plus-plus. Inilah pentingnya kita menepi, meninggalkan sejenak semua kegiatan yang menyita energi. Berkontemplasi menggali kesejatian Natal itu.

Rasul Paulus, memberi catatan yang amat penting tentang Natal. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Rasul Paulus berkata; Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Melainkan mengosongkan diri Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati dikayu salib (Filipi 2:6-9).

Natal jelas merupakan jalan melawan arah, bahkan berlangsung ekstrim. Disemangat manusia untuk naik tinggi, bahkan usaha mengkudeta surga sangat terasa, Natal justru berlawan arah. Adam, nenek moyang manusia, tak rela berada dibawah bayang-bayang Allah. Fakta bahwa Allah adalah pencipta tak digubris. Bisikan setan, menjadi alasan pembenaran untuk mengkudeta surga. Kerjasama gila manusia dan setan, berakhir dalam tragedi ironi. Bukan menjadi sama dengan Allah, manusia justru terlempar dari singgasana kehormatannya. Ah, ironi Taman Eden.

Sangat berbeda dengan kota kecil Betlehem. Ditengah asyiknya manusia dengan sejuta mimpi, Yesus Anak Allah, Mesias yang dijanjikan, datang menggenapinya. Menyapa umat, namun apa yang didapat? Bukannya sambutan, malah sebaliknya penolakan. Betlehem memang kota kecil, tapi nyali penghuninya sangat besar, mereka tegas menolak bayi suci Natal. Sebaliknya, Yesus Anak Allah, Sang Besar, datang dari surga agung mulia, merendahkan diri dan memilih Betlehem kecil dibumi, untuk tempatnya singgah. Ah, miris sekali, manusia sungguh tak mengenal diri, Natal telah menelanjangi kemunafikannya. Manusia hidup beragama, tapi sarat dengan cela dan dosa. Menyebut nama Allah, namun tak pernah mengenal Nya.

Natal minus tiga, nyata disana. Minus pertama, Allah menjadi manusia, ketika manusia justru ingin menjadi sama dengan Allah. Itulah Natal sejati. Sebaliknya, Natal kini tak mencerminkan semangat minus ini. Natal kini sangat plus, berorientasi pada gairah diri, menjadi besar dalam berbagai aspek kehidupan. Kecintaan pada kekuasaan sangat menggila. Semua berlomba untuk menjadi penguasa yang tak terbatas. Tak peduli pada etika, semua ditabrak disana. Menjadi penguasa didunia adalah refleksi gairah menjadi sama dengan Allah. Tak ada yang salah dengan gairah maju, tapi menjadi penguasa dengan menghalalkan segala cara, melindas sesama, sangat tidak manusiawi. Tapi kekuasaan telah membuat manusia menjadi gila. Itu sebab, ketika seseorang menjadi umat Kristen, tak serta merta rela melepas kekuasaan. Bahkan dengan berbagai dalih rohani, coba terus mempertahankannya.  Hanya pertobatan sejati yang memungkinkannya.

Natal minus dua, mewarnai pilihan tak lazim. Ketika Allah menjadi manusia, Dia tak memilih terlahir sebagai raja, dan bukan pula diistana, atau bahkan sekedar rumah mewah. Dia memilih menjadi hamba, bahkan memulainya dari kelahiran di kehinaan. Ah Natal, sangat menusuk hati. Sungguh sulit untuk dipahami, mengapa Yesus terlahir sebagai hamba. Kehinaan yang menjadi pilihan Natal, sangat tak disukai manusia. Karna itu, tak heran jika kemewahan yang sangat berlebihan mewarnai Natal. Dan, celakanya, dikemewahan tak sedikitpun terlintas wajah-wajah pedih yang berjuang untuk sesuap nasi. Mereka tak ada dalam daftar untuk menerima hadiah Natal. Hadiah Natal bergulir dari dan diantara umat saja. Semua berlomba menjadi mulia. Tak disapa, atau tak didengar pendapatnya, kemarahan cepat tiba, dan tuan mulia bisa bereaksi yang tak terduga. Yang coba berbasa-basi merendahkan diri, ternyata juga tinggi hati, terbukti dengan tak rela menghargai yang lainnya. Hanya ingin benar sendiri. Ah Natal, betapa jauhnya engkau.

Natal minus tiga, adalah ujung perjalanan Yesus Kristus. Memilih mati tersalib, menjadi terkutuk, sungguh tak terbayangkan. Dari surga kebumi, dan dari Betlehem ke Golgota, tak satupun titik pilihan menyenangkan selepas surga mulia. Tapi itulah perjalanan Natal. Pasti kita tak ingin bukan. Tidak ada kesediaan untuk berkorban agar yang lain tertolong. Kalaupun ada pertolongan, itu tak berarti kita harus jadi korban. Pertolongan seringkali bernuansa sisa yang tersedia. Natal, berbeda, karena memberikan yang terbaik, itu sangat luar biasa. Itulah Natal dalam warna pengorbanannya. Perjalanan panjang Yesus Kristus dimulai dari Natal, bergerak dari minus satu, keminus dua, dan berakhir diminus tiga. Perjalanan yang tidak kita rindukan, dan tentu saja tak rela ada disana. Namun demi basa basi ritual keagamaan, Natal tetap ada. Tapi, ah, sangat berbeda. Semua berpusat pada diri, semua sangat berkelas, tak sempat untuk berbagi dengan rekan-rekan marjinal.

Natal minus tiga, mengajarkan banyak hal kepada umat, sekaligus memberi tolok ukur, untuk menguji diri. Apakah kita masih mencitai Natal itu dalam arti yang sejati? Natal yang bukan hanya bulan Desember, tapi semangat yang mewarnai diri setiap hari. Ini menuntut karya nyata dikeseharian umat. Ketika kami menetapkan diri untuk melayani Tuhan, dengan membangun sekolah unggulan dipedesaan, demi masa depan anak-anak desa, semakin hari semakin terasa betapa tak mudahnya. Terikat oleh perjalanan sekolah, semakin dekat dengan berbagai masalah (teknis dan materi), maka semakin sadarlah diri, betapa tak sederhananya melayani. Namun kita tak berhak lari. Banyak orang yang menjadi pengamat, sekalipun tak cermat, dan tak jelas kompetensinya, selalu saja mengumbar berbagai penilaian. Sayangnya, panjang kata yang diucapkan, namun tak terlihat apa yang dilakukan. Menjiwai Natal sejati memang tak mudah, tapi itu adalah panggilan surgawi yang harus dipenuhi. Mari terus setia melayani dengan menyangkal diri.

Natal, jangan lagi sekedar momentum tanggal, tapi jeritan hati, disetiap hari, untuk berani berbagi dengan sesama disekitar diri. Biarlah hadiah Natal sampai pada yang berhak. Ingatlah apa yang dikatakan Tuhan Yesus dalm injil Matius ; engkau memberi Aku makan ketika lapar, minum ketika haus, dan pakaian ketika telanjang. Bilakah ya Yesus Tuhanku? Ketika engkau memberikannya pada orang miskin, orang yang terpinggirkan, yang remuk redam hatinya. Betapa sederhananya menghidupi Natal sejati. Lakukan, dan jangan terlalu banyak bicara. Tapi juga jangan membesarkan diri, dengan menghabiskan biaya tinggi, namun hanya sedikit yang dibagi. Kita harus jujur menjalani Natal sejati, agar dimampukan menjalani jalan minus tiga. Selamat merenungkan, dan selamat ber Natal minus tiga, jika memang anda sudah mengerti. Semoga!        

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer