Natal kembali lagi. Itulah tema rutin Desemberan. Berbagai
kegiatan gerejawi maupun mall meninggi. Diselah semua kesibukan itu, mari kita
menepi sejenak. Duduk merenungkan kedalaman makna Natal yang sesungguhnya.
Natal minus tiga. Istilah apa ini? Itu pasti muncul dibenak kita. Maklum, Natal
rasanya jauh dari warna minus, bahkan sebaliknya, Natal selalu bernuansa
plus-plus. Inilah pentingnya kita menepi, meninggalkan sejenak semua kegiatan
yang menyita energi. Berkontemplasi menggali kesejatian Natal itu.
Rasul Paulus, memberi catatan yang amat penting tentang
Natal. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Rasul Paulus berkata; Yesus,
yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai
milik yang harus dipertahankan. Melainkan mengosongkan diri Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan
sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri Nya dan taat sampai mati, bahkan
sampai mati dikayu salib (Filipi 2:6-9).
Natal jelas merupakan jalan melawan arah, bahkan berlangsung
ekstrim. Disemangat manusia untuk naik tinggi, bahkan usaha mengkudeta surga
sangat terasa, Natal justru berlawan arah. Adam, nenek moyang manusia, tak rela
berada dibawah bayang-bayang Allah. Fakta bahwa Allah adalah pencipta tak
digubris. Bisikan setan, menjadi alasan pembenaran untuk mengkudeta surga.
Kerjasama gila manusia dan setan, berakhir dalam tragedi ironi. Bukan menjadi
sama dengan Allah, manusia justru terlempar dari singgasana kehormatannya. Ah,
ironi Taman Eden.
Sangat berbeda dengan kota kecil Betlehem. Ditengah asyiknya
manusia dengan sejuta mimpi, Yesus Anak Allah, Mesias yang dijanjikan, datang
menggenapinya. Menyapa umat, namun apa yang didapat? Bukannya sambutan, malah
sebaliknya penolakan. Betlehem memang kota kecil, tapi nyali penghuninya sangat
besar, mereka tegas menolak bayi suci Natal. Sebaliknya, Yesus Anak Allah, Sang
Besar, datang dari surga agung mulia, merendahkan diri dan memilih Betlehem
kecil dibumi, untuk tempatnya singgah. Ah, miris sekali, manusia sungguh tak
mengenal diri, Natal telah menelanjangi kemunafikannya. Manusia hidup beragama,
tapi sarat dengan cela dan dosa. Menyebut nama Allah, namun tak pernah mengenal
Nya.
Natal minus tiga, nyata disana. Minus pertama, Allah menjadi
manusia, ketika manusia justru ingin menjadi sama dengan Allah. Itulah Natal
sejati. Sebaliknya, Natal kini tak mencerminkan semangat minus ini. Natal kini
sangat plus, berorientasi pada gairah diri, menjadi besar dalam berbagai aspek
kehidupan. Kecintaan pada kekuasaan sangat menggila. Semua berlomba untuk menjadi
penguasa yang tak terbatas. Tak peduli pada etika, semua ditabrak disana.
Menjadi penguasa didunia adalah refleksi gairah menjadi sama dengan Allah. Tak
ada yang salah dengan gairah maju, tapi menjadi penguasa dengan menghalalkan
segala cara, melindas sesama, sangat tidak manusiawi. Tapi kekuasaan telah
membuat manusia menjadi gila. Itu sebab, ketika seseorang menjadi umat Kristen,
tak serta merta rela melepas kekuasaan. Bahkan dengan berbagai dalih rohani,
coba terus mempertahankannya. Hanya
pertobatan sejati yang memungkinkannya.
Natal minus dua, mewarnai pilihan tak lazim. Ketika Allah
menjadi manusia, Dia tak memilih terlahir sebagai raja, dan bukan pula
diistana, atau bahkan sekedar rumah mewah. Dia memilih menjadi hamba, bahkan
memulainya dari kelahiran di kehinaan. Ah Natal, sangat menusuk hati. Sungguh
sulit untuk dipahami, mengapa Yesus terlahir sebagai hamba. Kehinaan yang
menjadi pilihan Natal, sangat tak disukai manusia. Karna itu, tak heran jika
kemewahan yang sangat berlebihan mewarnai Natal. Dan, celakanya, dikemewahan
tak sedikitpun terlintas wajah-wajah pedih yang berjuang untuk sesuap nasi.
Mereka tak ada dalam daftar untuk menerima hadiah Natal. Hadiah Natal bergulir
dari dan diantara umat saja. Semua berlomba menjadi mulia. Tak disapa, atau tak
didengar pendapatnya, kemarahan cepat tiba, dan tuan mulia bisa bereaksi yang
tak terduga. Yang coba berbasa-basi merendahkan diri, ternyata juga tinggi
hati, terbukti dengan tak rela menghargai yang lainnya. Hanya ingin benar
sendiri. Ah Natal, betapa jauhnya engkau.
Natal minus tiga, adalah ujung perjalanan Yesus Kristus.
Memilih mati tersalib, menjadi terkutuk, sungguh tak terbayangkan. Dari surga
kebumi, dan dari Betlehem ke Golgota, tak satupun titik pilihan menyenangkan
selepas surga mulia. Tapi itulah perjalanan Natal. Pasti kita tak ingin bukan. Tidak
ada kesediaan untuk berkorban agar yang lain tertolong. Kalaupun ada
pertolongan, itu tak berarti kita harus jadi korban. Pertolongan seringkali
bernuansa sisa yang tersedia. Natal, berbeda, karena memberikan yang terbaik,
itu sangat luar biasa. Itulah Natal dalam warna pengorbanannya. Perjalanan
panjang Yesus Kristus dimulai dari Natal, bergerak dari minus satu, keminus
dua, dan berakhir diminus tiga. Perjalanan yang tidak kita rindukan, dan tentu
saja tak rela ada disana. Namun demi basa basi ritual keagamaan, Natal tetap
ada. Tapi, ah, sangat berbeda. Semua berpusat pada diri, semua sangat berkelas,
tak sempat untuk berbagi dengan rekan-rekan marjinal.
Natal minus tiga, mengajarkan banyak hal kepada umat,
sekaligus memberi tolok ukur, untuk menguji diri. Apakah kita masih mencitai
Natal itu dalam arti yang sejati? Natal yang bukan hanya bulan Desember, tapi semangat
yang mewarnai diri setiap hari. Ini menuntut karya nyata dikeseharian umat.
Ketika kami menetapkan diri untuk melayani Tuhan, dengan membangun sekolah unggulan
dipedesaan, demi masa depan anak-anak desa, semakin hari semakin terasa betapa
tak mudahnya. Terikat oleh perjalanan sekolah, semakin dekat dengan berbagai
masalah (teknis dan materi), maka semakin sadarlah diri, betapa tak sederhananya
melayani. Namun kita tak berhak lari. Banyak orang yang menjadi pengamat,
sekalipun tak cermat, dan tak jelas kompetensinya, selalu saja mengumbar
berbagai penilaian. Sayangnya, panjang kata yang diucapkan, namun tak terlihat
apa yang dilakukan. Menjiwai Natal sejati memang tak mudah, tapi itu adalah
panggilan surgawi yang harus dipenuhi. Mari terus setia melayani dengan
menyangkal diri.
Natal, jangan lagi sekedar momentum tanggal, tapi jeritan
hati, disetiap hari, untuk berani berbagi dengan sesama disekitar diri. Biarlah
hadiah Natal sampai pada yang berhak. Ingatlah apa yang dikatakan Tuhan Yesus
dalm injil Matius ; engkau memberi Aku makan ketika lapar, minum ketika haus,
dan pakaian ketika telanjang. Bilakah ya Yesus Tuhanku? Ketika engkau memberikannya
pada orang miskin, orang yang terpinggirkan, yang remuk redam hatinya. Betapa
sederhananya menghidupi Natal sejati. Lakukan, dan jangan terlalu banyak
bicara. Tapi juga jangan membesarkan diri, dengan menghabiskan biaya tinggi,
namun hanya sedikit yang dibagi. Kita harus jujur menjalani Natal sejati, agar
dimampukan menjalani jalan minus tiga. Selamat merenungkan, dan selamat ber
Natal minus tiga, jika memang anda sudah mengerti. Semoga!
0 comments:
Post a Comment