Ah, apa iya kasih
diobral? Pasti itu menjadi tanya dibenak kita membaca judul yang ada. Namun,
judul ini tak berlebihan, jika melihat trend yang ada. Cobalah simak diskusi
Chris dan Natal, dua remaja Kristen. Chris membuka pembicaraan mereka, dan
berkata; Tiap Natal pasti diwarnai berbagai obral. Natal menimpali sembari
senyum; ah, jangan mengejek aku, katanya. Bukan! Ganti Chris menebar senyum.
Soal nama, kita kan sama. Maksudku, fashion, restoran, hotel, hingga liburan. Semua
berlomba memberi “harga kasih”. Harga kasih? Natal mengerutkan kening sesaat.
Lalu dia tersenyum setelah mengerti maksud Chris, dan menjawab; Itu sih biasa,
warna bisnis, kesempatan setahun sekali.
Coba kamu pikir kata Chris; Sebetulnya
yang untung dengan harga kasih itu siapa? Pembeli atau penjualnya? Ya,
sama-sama untunglah, kata Natal. Lalu, apakah itu berarti penjualnya sedang
berbaik hati kepada para pembeli? Wah, soal itu, siapa yang tahu. Yang pasti,
mereka untung besar, sahut Natal! Obrolan mereka berlanjut, dan Chris berkata;
Apa pendapatmu dengan obral kasih kepada sesama? Obral kasih? Natal bertanya
keheranan dengan ucapan Chris. Ya, obral kasih, Chris memastikan, bahwa
pertanyaannya memeng benar. Mana bisa kasih diobral, sergah Natal! Chris tersenyum
dan berkata, coba pikirkan. Bukankah setiap kali bulan Natal tiba, selalu ada
kunjungan kepenjara dengan membagikan bingkisan Natal. Juga ke tunawisma, panti
asuhan, dan lain-lain. Padahal masih ada 11 bulan lainnya, tapi tidak ada
bagi-bagi bingkisan. Tidak ada kunjungan.
Bukankah ini juga bisa dikatakan
sebagai obral, tapi bukan barang, melainkan kasih? Karena hanya terjadi setahun
sekali. Belum lagi obral khotbah! Semua khotbah Natal terdengar indah, penuh
kasih, sangat inspiratif, tapi jauh dari kenyataan keseharian. Semuanya
bagaikan tataran teori, tapi tanpa pengujian praktek. Tampak Natal mengangguk-angguk;
Betul juga ya, dia menggumam. Suaranya semakin keras dan jelas, ketika dia
melanjutkan ucapannya; jika memang kasih, harusnya bukan hanya bulan natal,
tapi setiap waktu. Apalagi soal khotbah, yang seringkali bagai angin surga, namun
tak membumi. Ah, aku kurang menyadarinya selama ini, kata Natal seakan
menyesali diri. Oh!! Jangan-jangan, kita juga terjebak ditempat yang sama, kata
Natal. Chris memandang Natal dengan serius, dan bertanya; Maksudmu? Natal
berkata; Ya, kita! Kita mengamati semuanya, menemukannya salah, tapi kita juga
hanya pengamat saja. Kita membicarakannya, tapi tanpa tindakan yang nyata
sebagai solusinya. Chris terdiam sesaat, lalu mengucap lirih; Ya, betul juga.
Pembicaraan mereka hanyut dalam kesunyian, karena dari mengamati, mereka
menyadari mereka juga terlibat disana. Ternyata mereka juga hanya pengamat,
bukan pelaku.
Dari diskusi
pendek diatas, tampak jelas betapa kusutnya situasi asli dari Natal demi Natal
yang kita jalani. Kebanyakan kita terjebak pada seremonial kegiatan Natal yang
berjudul berbagi kasih, tapi terbukti setahun sekali. Atau menjadi pengamat
yang kritis pada situasi yang terjadi, tapi tak berdaya untuk mengkritisi diri.
Ah, semua ada dalam tataran ironi. Natal, seharusnya tak terjebak pada sebuah
tanggal atau bulan, melainkan semangat Natal yang menghidupi kehidupan kita
dari hari-kehari. Hidup dalam kasih sejati yang tak mengenal hari atau situasi.
Sudut pandang kita harus direformasi dan berani mengikat diri kepada kebenaran
yang sejati. Mari memacu diri dan berlomba untuk hidup benar, khususnya dalam
menjiwai makna Natal itu. Paling tidak, tahun ini kita mulai untuk tidak
terjebak.
Bagaimana dengan rencana
kita Natal ini? Jangan-jangan sudah terjebak pada ikatan seremonial, dan
liburan dengan target melepas diri dari kepenatan kerja. Jika sekedar itu,
bukankah itu berarti kita telah kehilangan Natal lagi. Jangan sampai. Masih ada
waktu merekonstruksi ulang rencana Natal kita. Buat Natal kali ini lebih sarat
makna, lebih dari sekedar liburan dipenghujung tahun. Nikmati kebenaran natal
bersama seluruh keluarga, bukan dalam obral kasih tapi kesatuan keluarga untuk
selalu mendemonstrasikan kasih. Ya, kasih Natal yang sejati, yang telah didemonstrasikan
oleh Tuhan Yesus Kristus dengan turun dari surga mulia kedunia hina, demi
menebus kita dari murka Allah yang menyala-nyala. Kita yang telah menikam Nya,
bukankah sudah semestinya semangat Natal menguasai kita.
Selamat Natal, dan
jangan “mengobral kasih” lagi.
0 comments:
Post a Comment