ENTAH mengapa Indonesia beruntun ditimpa bencana.
Beruntun tafsir datang silih berganti, mulai dari, politisi, ekolog, sosiolog,
hingga teolog. Semua coba menjelaskan dari sudut pandang masing-masing. Tulisan
ini tak hendak menambah tafsir yang ada, tapi coba mengajak kita melihat fakta.
Natal di bulan Desember kini membentang menanti kita umat Kristen. Tak kurang
orang yang menerawang tentang Natal yang akan tiba, khususnya saudara kita yang
ada di daerah bencana alam. Bagaimana mereka, atau kami, akan menghadapi Natal,
itu ungkapan yang paling umum. Ya, bencana alam seakan menjadi momok akan
mengurangi atau bahkan mungkin menghabisi gairah Natal. Sebuah bayangan yang
dapat dipahami, mengingat umat telah terbentuk memahami Natal adalah sebuah
kemeriahan pesta. Sebuah konsep salah yang dengan deras melanda umat, sehingga
umat kehilangan makna sejati akan Natal.
Konsep
ini telah menjadi bumerang bagi umat dalam memahami makna Natal. Bayangkan jika
bagi kita Natal adalah pesta, maka umat di daerah bencana sudah pasti
kehilangan Natal itu. Jika Natal adalah baju baru, sepatu baru, dan yang baru
lainnya, sudah pasti umat di daerah bencana akan berduka, karena mereka tidak
punya. Atau Natal adalah ibadah meriah yang diwarnai dekor yang ekstra wah,
mereka pasti tak bisa menikmati. Jangankan dekor, gedung gereja pun sudah rata
tanah, atau paling tidak, tidak layak pakai. Begitu pula dengan fasilitas
lainnya, termasuk bahan pangan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja terasa sulit,
apalagi jika harus untuk kebutuhan pesta.
Mari
kita coba kembali kepada Natal pertama. Ketika Bunda Maria melahirkan bayi
Natal, dia melahirkan di kota kecil Betlehem, bukan kota besar seperti
Yerusalem pada waktu itu. Atau bahkan Nazaret, kota tempat tinggal Maria saat
itu jauh lebih besar. Tak ada kemegahan kota metropolitan di Betlehem, tapi
itulah kota tempat Yesus dilahirkan, seperti nubuatan Nabi Mikha. “Hai Betlehem
Efrata, hai yang terkecil di antara Yehuda, dari padamulah akan bangkit bagiKu
seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala,
sejak dahulu kala” (Mikha 5:1).
Kecilnya
kota Betlehem di antara Yehuda, ternyata mengukir kisah besar, terbesar
sepanjang sejarah Yehuda bahkan sepanjang masa. Ya, kebesaran yang tak
terbilang, tak terukur. Natal telah mengubah Betlehem menjadi buah bibir
sepanjang sejarah. Bandingkan dengan Yesusalem kota besar, yang pada masa itu
adalah tempat raja bertakhta dan para imam melayani. Di sana terdapat istana
Herodes yang mewah, dan di sana pula berdiri Bait Allah nan megah. Namun,
Yerusalem kelak hanyalah kenangan. Ya, istana rubuh, bahkan Bait Allah
diratakan tanah oleh kebengisan Kaisar Titus, kaisar Roma di tahun 70.
Yesus sendiri menubuatkan
kesunyian Yerusalem, dan keterhilangannya seperti anak ayam yang kehilangan
induknya (Matius 23: 37-39). Betlehem memang kecil tapi dengan karya besar,
sementara Yerusalem memang kota besar dengan karya tak terpuji. Dari Yerusalem
keluar perintah dari mulut Herodes untuk mencari dan menghabisi bayi Yesus. Kelak
dari Yerusalem pula keluar perintah dari mulut para imam untuk menyalibkan
Yesus Kristus. Pikiran dan siasat busuk mengalir dari sana. Yerusalem pula
mengingatkan kita kisah Natal yang dikunjungi para Majus, atas informasi para
imam. Majus tiba di Betlehem sementara para imam lebih suka tinggal di
Yerusalem dalam kemegahan istana.
Natal
telah menujukkan kualitas yang sejati. Bukanlah Natal jika kita hanya
memikirkan fasilitas. Dan bukan jaminan bahwa imam yang selalu bericara suci,
bahkan menunjukkan tempat Natal sebagai orang yang hadir di Natal itu. Mereka
tahu, atau mungkin fisik mereka hadir, tetapi hati mereka tetap terikat pada
fasilitas yang ada. Karena itu dicelah bencana yang ada, umat jangan terjebak
pada situasi kota atau memikirka gedung tempat berkumpul.
Betlehem
bukan kota besar tapi bernatal sempurna. Kota yang ditimpa becana alam tak akan
menghilangkan makna Natal, bahkan sebaliknya menolong kita menemukan makna yang
sesungguhnya. Di kota bencana umat bisa kembali dengan khusuk merenung Natal,
terhindar dari hingar bingar pesta kota yang seringkali memerangkap. Jadi, kota
yang tertimpa bencana, bukan bencana bagi Natal, bahkan bisa menjadi berkah
tersendiri. Karena Natal bukan soal kota tapi soal hati. Yesus terlahir di kota
kecil sebagai simbol keberpihakan Natal pada umat di lapis terbawah sekalipun.
Dia bisa memilih kota mana pun, tapi Natal bukan itu.
Soal
fasilitas juga setali tiga uang. Kelahiran Yesus tidak ada penyambutan, yang
ada justru penolakan. Sebuah ketidakpedulian manusia akan kehadiran Sang Allah
yang menyapa. Tidak ada tempat bagi Yesus. Persis seperti sebuah kita yang
ditimpa bencana alam, tak ada bangunan yang tersisa, tapi di sanalah Natal yang
sejati itu ada. Tradisi gereja menggambarkan kandang hina sebagai pusat Natal
pertama. Berbeda jauh dengan semangan Natal di kekinian masa. Dengan jelas dan
lengkap lukisan Natal pertama, adalah kota kecil, tak berkamar, tak ada
fasilitas, tak ada penyambutan, dan penuh dengan penolakan, sikap masa bodoh
orang sekitar.
Karena itu bencana
yang menimpa sebuah kota tak mungkin bisa menghilangkan makna Natal. Karena
bencana yang sesungguhnya pada Natal, bukan bencana alam yang meluluhlantakkan
gedung gereja. Sebaliknya, bencana Natal justru kemegehan gedung gereja yang
kehilangan makan Natal yang sesungguhnya. Gereja yang pongah dengan
kemegahannya, lupa panggilan pelayanannya. Keunggulan fasilitas bukanlah
masalah jika hanya pelengkap saja. Tetapi adalah bencana ketika itu menjadi
penentu Natal itu sendiri. Di mana tempat kita berdiri memahami Natal sejati
menjadi pertanyaan yang tidak boleh berhenti sepanjang hayat dikandung badan.
Karena
itu, saudara seiman yang ada di daerah bencana, tak perlu risau dengan Natal,
jika itu soal tempat atau fasilitas. Yesus Kristus Natal sejati itu hadir di
hati yang sungguh, bukan di gedung, atau acara seperti apa pun.
Ada
sebuah cerita imajinasi tentang Natal yang cukup mengusik. Diceritakan di surga
rasul Petrus bertanya pada orang percaya yang masuk surga, di manakah gerangan
Yesus akan hadir dan bernatal. Berbagai jawaban meluncur, mulai di gereja
hingga di kemiskinan. Petrus berkata, Yesus tidak akan hadir di gereja karena
tidak ada yang perduli dengan Dia. Semua hanya menyebut nama-Nya tetapi tidak
mengenal-Nya. Di penjara juga tidak, karena para napi hanya sibuk dan asyik
dengan berbagai acara Natal yang langka bagi mereka. Begitu juga dengan orang
miskin yang sibuk dengan hadiah yang diberikan oleh dermawan Kristen tahunan,
yang berderma setahun sekali. “Yesus tidak hadir di sana,” kata Petrus. Semua
orang percaya terdiam dan hanya mampu saling memandang. Petrus memecah
kesunyian dan berkata : Yesus akan hadir di hati yang menangis, hati yang
jujur, yang selalu menantikan Dia. Tempat, fasilitas tak penting bagi Yesus,
tapi hati.
Karena
itu, di celah bencana ada terbuka sebuah celah yang indah, di mana umat bisa
masuk. Celah di kedukaan, kehilangan, ketiadaan, di sana juga ada celah
permohonan, kerendahan, dan pengharapan yang kuat akan Yesus Kristus bayi Natal
yang sejati. Celah itu memang tak disuka umat manusia yang selalu cenderung
serakah, tetapi itulah celah yang sangat menolong kita menemukan diri.
Semoga
umat di daerah bencana tak kehilangan celah itu. Karena kehilangan celah itu
sama saja bencana susulan yang mematikan. Sudah banyak orang Kristen yang mati
nurani, dan memandang Natal sekadar seremonial belaka. Semoga saudara di daerah
bencana bangkit dari kematian rohani, dan menikmati berkat Natal di reruntuhan
materi. Ingat di ketiadaan kita, Tuhan ada. Dia ada karena kita belajar
menyangkal diri dan memikul salib hingga tiada aku lagi. Semoga celah bencana menjadi berkat Natal bagi
saudaraku. Dan, kita yang tak terkena bencana, hati hati, jangan jangan kitalah
korban bencana yang sesungguhnya.
0 comments:
Post a Comment