Sekilas, judul di
atas terasa sinis, dan sebagai pertanyaan tampak agak bodoh. Masak iya dipertanyakan
tentang apakah di gereja masih ada Natal. Jika kepada majelis jemaat, pengurus
gereja disuguhi pertanyaan ini, maka secara serentak mereka akan menjawab, “So
pasti, Natal selalu ada di gereja”. Pak Pendeta, apalagi, dia akan menjawab
lebih bersemangat, karena memang beliau yang bertugas menyampaikan khotbah
Natal.
Sementara, jemaat
yang sudah hafal tanggal dan waktu-waktu perayaan Natal di gereja, jauh-jauh
hari sudah bersiap-siap menyambut Natal. Anak sekolah Minggu, remaja dan pemuda
tak lupa dengan latihan-latihan seperti paduan suara, drama dan musik, dan
sebagainya. Pokoknya semua tampak jelas banget, khususnya dengan adanya
pohon natal dan aneka aksesorisnya. Yah, semua orang bergairah menyambut Natal.
Yang lebih “manis” lagi adalah adanya bazaar Natal atau pasar murah hingga christmas
carol.
Namun, di luar
suasana yang semarak itu, selalu tersisa ruang besar, di mana tampak banyak
orang yang terpojok dengan raut wajah bagai menanggung sejuta beban. Raut muka
keras, miskin senyum, nyaris tanpa ekspresi. Tak jelas apa yang terpendam di
dalam hati mereka, tapi yang pasti kemiskinan telah menjajah seluruh rasa
kemanusiaannya. Kerasnya pertarungan dalam hidup semakin menyempurnakan
kedukaan mereka. Ya, mereka terperangkap di sana.
Di sisi lain, di
bawah gemerlapnya lampu kristal mahal, dan nuansa yang supermewah, tampak juga
wajah layu dengan tatapan mata kosong. Entah apa yang terjadi dengan mereka,
tapi yang pasti suasana hatinya sangat
kontras dengan kegemerlapan yang ada di sekelilingnya. Para pemusik memainkan
instrumen dengan lincah dan penuh semangat. Begitu pula para penyanyi yang
membawakan lagu-lagu Natal dengan penuh penghayatan, sangat menggugah emosi.
Sayang, dalam kegirangan itu, hati mereka sebenarnya dilanda kegersangan. Semua
terpenjara oleh rasa yang berbeda, namun sama tak berdaya.
Lampu-lampu pohon
natal serta aneka aksesoris yang menghiasi gereja tidak mengubah gundahnya
perasaan. Orang miskin, orang kaya, para artis, pergi ke gereja dengan balutan
hati yang sama: berduka. Senyum dan tawa bukan milik hati mereka. Orang lain
melihatnya, mereka tak merasakannya.
Yang tampak unik
adalah filsuf. Dia kelihatan gelisah di antara keramaian Natal. Kegelisahan dia
bukan karena kekacauan hatinya, melainkan justru oleh tawa orang di sekitarnya.
Filsuf bingung dengan makna tawa orang banyak. Filsuf gelisah dalam
kebingungannya memikirkan Natal: Apakah betul Allah menjadi manusia? Apakah
betul Yesus, bayi Natal itu, juru selamat manusia? Apakah betul DIA bakal
menebus dosa manusia?
Ayunan pertanyaan
itu datang silih berganti, mampir di hati sang filsuf. Lalu, mengapa filsuf
harus gelisah? Kegelisahannya ternyata bermula dari rasa ingin tahu yang
berujung pada kebingungan. Filsuf melangkah ke gereja dengan harapan mendapat
secercah inspirasi untuk memecah misteri Natal. Namun, perilaku orang-orang
yang ada di gereja itu justru menimbulkan kebingungan bagi sang filsuf. Sebab,
tak ada seorang pun yang dia lihat
merenung, mengingat dan memikirkan, mengapa Yesus, anak Allah itu mau
meninggalkan surga dan lahir hina di dunia.
Di gereja, saat
merayakan Natal, semua orang tertawa. Tapi di mata filsuf, tawa itu lahir karena
“ekstasi” (perasaan senang yang berasal dari luar), bukan lahir dari dari
proses katarsis (perenungan yang memberi pembaharuan). Dengan kata lain,
sang filsuf melihat tawa peserta Natal itu didominasi suasana ekstasi. Bagi
sang filsuf, seharusnya tawa itu lahir melewati proses katarsis, yang timbul dari perenungan
yang dalam.
Ya, realita itulah
yang membuatnya gelisah dan bertanya, “Apakah masih ada Natal di gereja?”
Namun, dia masih beruntung, karena dalam kegelisahannya di tengah upayanya yang
berpikir keras, ada sesuatu yang dirasa menyentak dan sangat mengangetkannya.
Apa itu? Yang jelas bukan bom “kiriman” manusia biadab yang sudah kehilangan
rasa perikemanusiaan. Bukan pula sabetan golok dari manusia yang telah menjadi
budak setan, atau arogansi manusia yang tak tahu diri.
Lalu, apa yang
sangat mengangetkan sang filsuf? Ah, yang namanya filsuf, dia hanya akan
“kaget” dengan nilai kata dan nilai pikir. Dalam hal ini, khotbah yang
disampaikan oleh seorang pendeta tua dengan penampilan bersahaja, apa adanya,
telah menarik hatinya. Pendeta tua itu berkata,
Natal adalah suatu perjalanan terjauh dan tidak terukur: dari Surga ke
Bumi. Natal juga sebuah kerelaan terhina yang tak bisa dipahami akal manusia,
yaitu Allah yang suci menjadi manusia yang hina. Natal itu “turba” (turun ke
bawah) yang sejati, bukan “turba” model para pejabat tinggi yang penuh tipu
daya, serta promosi diri.
Selanjutnya,
pendeta tua itu menandaskan bahwa Natal itu membuat kita menangis karena Yesus
rela melepas keilahiannya untuk datang ke dunia. Tetapi, Natal juga membuat
kita tertawa karena Yesus bersama dan memeluk kita. Dengan demikian, Natal
adalah absolut paradoks, karena di sana ada tangis dan tawa sekaligus—bukan
hanya salah satunya.
“Ah,” kata sang
filsuf, “kini aku mengerti makna Natal”. Dia sangat gembira, tetapi juga sedih
karena terlalu banyak orang yang tidak mengerti tentang arti Natal. Itulah
sebabnya dia bertanya dalam hati, “Apakah masih ada Natal di gereja?”. Tapi,
untunglah, pendeta tua itu masih menghadirkannya. Semoga Anda ada dalam Natal
itu. Selamat hari Natal, selamat menemukan tawa di antara tangis, dan tangis di
antara tawa, tak bisa disatukan juga tak dapat dipisahkan.*
0 comments:
Post a Comment