Tak pelak ucapan selamat ini akan meluncur
deras pada penghujung tahun. Spanduk, sms, bb, hingga email, akan ramai lalu
lintas ucapan selamat hari natal dan tahun baru. Natal, adalah momentum
peringatan akan hari kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, sekaligus menjadi
momentum perenungan kita yang mendalam. Cobalah ingat peristiwa natal yang
melibatkan banyak hal yang mengagumkan. Kisah Maria yang mendapat berita
Malaikat (Lukas 1:26-38), akan kita jadikan sebuah contoh perenungan. Maria
seorang gadis sederhana, perawan dengan moral yang terhormat. Dikenal santun, dan
telah bertunangan dengan Yusuf yang juga bermoral tinggi, dan seorang yang baik
hati.
Kisah pertunangan mereka seakan diintervensi oleh berita malaikat bahwa
Maria akan mengandung. Perawan mengandung? Tentu saja berita yang amat sangat
mengejutkan, bagaikan petir yang menggelegar disiang bolong. Pasangan Yusuf dan
Maria ada dalam kebingungan yang teramat sangat. Yusuf diberitahu malaikat agar
menerima Maria sepenuhnya, dan tidak memikirkan ide perpisahan. Sementara
Maria, tentu lebih berat lagi, karena harus menerima kenyataan mengandung dalam
keperawanannya. Menolak perintah Tuhan yang disampaikan lewat malaikat tak ada
dalam kamus iman Maria. Sebaliknya, mengiyakan juga bukan perkara yang mudah.
Mereka seakan terjepit diantara ketaatan kepada Tuhan, dengan realita yang tak
terbayangkan. Karena itu, jawaban Maria; jadilah padaku seperti apa yang Tuhan
mau, karena aku ini hanyalah seorang hamba, terasa amat mengagumkan. Itu Maria,
itu bukan kita. Dalam situasi seperti ini, adakah kita yang ingin terlibat
dalam natal itu.
Entah sebagai Yusuf yang harus menerima realita yang
membingungkan. Atau, lebih-lebih seperti Maria dengan peristiwa yang tak pernah
tercatat dalam sejarah. Perawan mengandung. Natal begitu kuat menggugat iman.
Yang menjadi pertanyaan, apakah iman kita cukup tangguh untuk menerima fakta
yang berlawanan dengan akal sehat ini. Apakah kita menyukai natal, dan senang
karenanya. Sebuah perenungan yang menuntut keseriusan tinggi. Itu sebabnya,
tiap kali natal, kosentrasi kita bertumpu pada kesibukan yang juga tinggi,
namun untuk hal-hal teknis belaka. Sementara perenungan yang perlu dalam
memaknai natal justru terabaikan. Selamat hari natal, seharusnya diterjemahkan
sebagai selamat merenungkan makna natal yang sesungguhnya. Ini yang hilang
dalam natal. Dan ini perlu dicari, karena kehilangan ini amat sangat berarti,
bahkan sangat menentukan kualitas keimanan kita sebagai orang percaya.
Kehilangan mutiara mahal buah iman yang sejati. Perlu disikapi dengan teliti
setiap apa yang masuk dalam agenda pribadi setiap natal itu mendekat. Sediakan
waktu secara sungguh untuk menjadi momentum perenungan. Natal menjadi
kesempatan besar untuk mengukur diri. Mulai dengan pertanyaan apakah kita sudah
benar menempatkan diri? Ya, menempatkan diri sehingga tidak terlindas kesibukan
yang tak terhingga namun tak memiliki waktu untuk merenung suci. Lalu bertanya
pada hati dengan jujur, apakah aku bisa menerima makna natal yang sesungguhnya,
seperti sikap Yusuf, terlebih lagi Maria. Apakah aku menyukai natal itu, ketika
tahu makna yang sesungguhnya. Dan, tentu saja tidak kalah pentingnya, adalah,
apakah aku telah dihidupi oleh semangat natal itu. Ini menjadi sangat penting agar
kita tak hanya menjalani natal dalam rutinitas yang menyesatkan. Selamat hari
natal, seharusnya menjadi selamat memperbaharui diri dengan mengevaluasi diri,
sejauh mana kesejalanan diri dengan semangat natal.
Akhirnya selamat hari
natal, apakah itu memang milik kita? Atau hanya sekedar ucapan sebagaimana
umumnya. Dan selamat tahun baru, karena semangat dan arah hidup yang telah
diperbaharui oleh semangat natal. Atau, selamat tahun baru juga sama nasibnya,
hanya sekedar ucapan sebagaimana yang lainnya. Jika ternyata setiap ucapan kita
hanyalah ucapan biasa saja, seperti kebanyakan orang mengucapkannya, itu
berarti ada sesuatu yang salah yang perlu diperbaiki. Jadi yang terpenting
adalah, selamat merenungkan, makna selamat hari natal dan tahun baru.
0 comments:
Post a Comment