Tak terasa, kini kita tiba lagi pada
Natal dengan tahun yang berbeda. Entah sudah berapa kali, anda dan saya
bernatalan dengan berbagai acara dan kenangan. Namun yang pasto Desember selalu
menjadi bulan yang special. Jika dulu kita sibuk memilih kartu Natal, dan
memborong perangko sebanyak mungkin, kini kita belanja pulsa untuk mengirim sms
yang juga sebanyak mungkin. Atau anda akan berchating ria dengan kenalan
didunia maya. Yah, sekalipun pada malam Natal anda sedang sendiri, teknologi
memungkinkan anda berkomunikasi dengan orang yang belum anda kenal sekalipun.
Kemajuan teknologi memang berhasil membuat suasana Natal terasa berubah dari
tahun ke tahun. Anda juga bisa menikmati Natal diberbagai pelosok negeri,
bahkan sudut dunia sekalipun, lewat TV, atau berbagai media lainnya. Sangat
menyenangkan karena penuh fasilitas dan aneka kemudahan. Namun disisi lain,
secara paradox, kemudahan-kemudahan yang ada ternyata mencipta kesulitan yang
luar biasa. Betapa tidak, disaat begitu mudahnya kita merealisasikan Natal
sekarang ini, semakin sulit kita membayangkan Natal yang pertama.
Natal yang
dulu penuh kesederhanaan, yang amat sangat kontras dengan gemerlapnya Natal
produk masa kini. Lagu malam kudus memang tetap sama, baik nada maupun kata-katanya,
dan kesyahduan yang dilahirkannya. Tetapi ada yang sangat berbeda. Di Natal
yang pertama, Maria dan Yusuf, tak sibuk mempersiapkan asesoris yang memang
mereka tak punya. Tak juga bingung mengatur jadwal perjalanan liburan,
khususnya anggarannya, karena mereka juga tak punya. Juga tak bingung dengan
penganan Natal, atau apapun yang menyibukkan kita ketika Natal. Namun, Maria
yang hamil tua bukan karena benih manusia melainkan Roh Kudus, dan Yusuf suaminya
yang setia, harus melakukan perjalan panjang. Bukan liburan, bahkan bukan pula
karena keinginan mereka, melainkan tuntutan politik kaisar Augustus yang
membuat mereka harus kembali kekampung halamannya, yaitu Betlehem. Perjalanan
berat bagi seorang Maria yang hamil tua, khususnya jalan berbukit yang tak
pernah bersahabat. Natal itu tampaknya sangat berat, tapi herannya mereka tetap
taat untuk tetap terlibat. Kekuatan mereka tampak nyata, bukan karena tenaga
tapi sukacita yang diliputi misteri.
Yah, misteri akan seperti apa Bayi Kudus
natal itu. Tiba di Betlehem, sekalipun tak tersedia kamar, apalagi sambutan
khusus bagi Maria ibu kudus, dia tak berkeluh kesah. Begitu pula Yusuf, tak
kecewa, bahkan sebaliknya mereka mampu sehati menikmati tempat sisa yang ada.
Tempat sisa, karena tak ada yang rela tinggal disitu, tempat barang bekas,
termasuk palungan bekas yang tak lagi dibutuhkan binatang domba. Maria dan
Yusuf memakai barang bekas yang ada, sekalipun itu bekas binatang yang tak pas
buat manusia, apalagi Sang Bayi Kudus, Allah yang menjadi manusia. Lagi-lagi,
tak terdengar keluh kesah, kecuali persiapan-persiapan yang memang harus
dilakukan. Hanya berdua, merekalah saksi mata natal pertama itu. Ya, sepasang
suami istri yang sejati, suami istri yang menjadi saksi bahwa Natal itu bukan
fasilitasnya, melainkan kesejatian nilainya. Suami istri yang berbahagia,
karena Bayi Kudus ditengah mereka. Tamu pertama tiba disana, bukan bangsawan
apalagi raja, melainkan kumpulan gembala. Tak ada gengsinya, tak ingin
menyambutnya, bahkan terasa menggangu karena bau domba yang tak sedap
mengikutinya. Natal terus berlanjut, penuh kebahagian sekalipun tanpa penganan,
tanpa hiasan, melainkan sengatan angin malam. Tapi semua gangguan seakan tak
berarti, karena kesukaan bathin melampauinya. Ah, betul-betul malam yang kudus,
betul-betul surga tiba didunia orang yang percaya kepada Sang bayi Kudus.
Tampaknya Natal itu konyol, karena pusatnya hanyalah Seorang Bayi, tapi
disitulah letak keunggulan iman karena mampu menembusnya. Luar biasa, Natal itu
hebat justru dalam kesederhanaannya, penghayatannya. Maria dan Yusuf utuh
memilikinya.
Kini ribuan tahun sudah, dimana jalan
kaki tak lagi biasa, kecuali untuk olahraga. Aneh memang hidup ini, tak mau
jalan kaki karena itu menurunkan gengsi, tapi untuk sehat rela berjalan kaki
bahkan dianggap bergengsi. Padahal sehat bisa didapat sambil bekerja.
Dikekinian masa, ketika semua serba ada, penghayatan natal menjadi terasa
susah. Yang ada hanya asesoris natal, tawa hambar, atau kesenangan yang
bersifat katarsis, kelegaan setelah melewati ketegangan emosional. Natal kini,
kitalah yang mencipta kesenangan lewat berbagai atraksi atau hiburan music
hingga lawakan natal. Kesenangan Natal lah yang kita milki, bukan kesukacitaan.
Kesenangan bisa kita ciptakan, sementara sukacita adalah pemberian Allah. Di
Natal pertama, Maria dan Yusuf mendapatkan sukacita dari Allah, sementara kita
seakan memperolehnya dalam ritual agama. Seringkali bukan lagi iman yang
bekerja melainkan sugesti. Bukan pula spritualitas melainkan hanya ritualitas.
Kita terjebak pada kata-kata jangan terjebak. Kita telah rutin mengatakan agar
Natal janganlah rutinitas belaka. Basa-basi agama, membuat kita kurang berani,
atau bahkan kehilangan nyali untuk memeriksa diri. Agar tampak benar dalam
usaha menyembunyikan diri, kita membicarakan keburukan orang lain menurut kita,
yang belum tentu buruk dalam kenyataannya. Dalam Natal, kita saling memaafkan,
namun itupun kata-kata yang nyaris tak tampak dalam tindakan. Maklum, semua
terbungkus dalam acara yang diatur bukan panggilan hati oleh Roh Tuhan.
Seharusnya panggilan hati ini yang utama, maka acara akan bernilai. Sayangnya
bukan itu yang terjadi. Lalu, yang tadi, yaitu kemajuan teknologi, semakin
memiskinkan penghayatan kita. Kemudahan-kenudahan yang seharusnya bagian dari
kemurahan Tuhan, ternyata berbalik, karena kita anggap sebagai keberhasilan
pencarian manusia. Tak ada rasa syukur pada Tuhan disana, melainkan rasa bangga
atas diri.
Natal yang didominasi teknologi telah kehilangan perenungannya.
Natal telah diletakkan pada koridor waktu perayaan kristiani yang jatuhnya pada
tanggal 25 Desember. Untuk ini saja (soal waktu) banyak gereja tak konsisten
menjalankannya, karena belum tanggal 25 banyak gereja telah menyelesaikan acara
natalnya. Alasanya sederhana saja, sebagian besar umat sudah keluar kota atau
negeri, dan dibalik itu tentu ada alas an materi. Padahal, diluar kota atau
luar negeri juga ada gereja, ada Natal bukan? Ini fakta, namun banyak yang
menyangkalnya, termasuk alasan memberi umat kesempatan untuk berliburan.
Padahal yang pasti mengajar umat tak lagi mampu menghargai apa yang telah
ditetapkan, lagi-lagi korban perubahan jaman. Disisi lain, nilai Natal yang
baik adalah keberhasilan kuantitatifnya, jumlah orang yang datang, acaranya,
dan tentu saja peralatannya. Menjadi terlupakan kebenaran Firman yang
diberitakan, dan respon umat terhadap Firman itu. Sungguh mengkuatirkan, jika
Natal terus berjalan, namun kesejatiannya telah berhenti. Ah, tampaknya Natal
hampir batal, bukan acaranya tapi kesejatian nilainya.
Tidakkah anda prihatin
dengan apa yang sedang terjadi? Atau jangan jangan anda sendiri telah terjebak
didalamnya, bahkan mampu menikmatinya. Jika masih ada tersisa kegalauan pada
nilai Natal masa kini, maka asah tumbuhkanlah itu. Semoga, kepekaan kita yang
masih tersisa dapat mencegah batalnya Natal justru pada saat natal itu sedang
dirayakan. Akhirnya selamat hari Natal, bukan sekedar tanggalnya saja, tapi
juga kesejatiaan nilainya. Tak ada sedih didalam Natal, karena Yesus Kristus
memberi sukacita yang mampu melamapui situasi apa saja. Semoga ini bukan hanya
basa-basi.
0 comments:
Post a Comment