Selamat
hari Natal sahabatku. Ada hadiah untuk Anda, tetapi…sedikit pahit. Dan, ah… mungkin Anda akan
terperangah, sebab hadiah ini sungguh tidak menarik, tidak lazim dan mungkin
juga tidak sopan. Yang namanya hadiah Natal, biasanya kan menarik, menyenangkan, dan serba baru.
Anak-anak, misalnya akan menuntut hadiah
berupa baju, sepatu, asesoris yang semuanya baru. (Kecuali Papa, tentu
tidak boleh minta istri baru).
Lho, ini sedang
membicarakan apa sih? Mungkin Anda bertanya-tanya penasaran. Maaf, saya memang
agak ngelantur, termangu-mangu melihat perilaku manusia masa kini yang
atas nama Natal bisa-bisanya meraup keuntungan yang tidak sah. Lihat saja,
sumbangan Natal untuk penduduk desa yang miskin, tetapi malah dibuat untuk
membeli bensin berikut mobilnya. Atau seseorang yang berdiri bersaksi
mengatakan betapa indah dan sucinya Natal ini, tetapi wanita yang di sampingnya
bukan istri, tetapi ‘piaraan’, eh maaf, ‘simpanan’, eh maaf lagi, maksud saya
teman fleksibel. (Karena wanita tersebut bisa sebagai teman, juga bisa sebagai
istri, atau peran lainnya. Pokoknya fleksibel-lah.)
Sampai di sini Anda mungkin berkata, “Usil
amat sih, itu kan HAM seseorang, pilihan hidup atau sekadar modernisasi hubungan
berbasis suka sama suka. Pokoknya Natal itu ya, happy happy , masa bodoh
bagaimana, di mana, atau dengan siapa saya merayakannya. Saya, secara pribadi
adalah mahluk merdeka, jadi tidak peduli apa kata orang-orang.”
Sebentar. Penulis
jeda sesaat. Soalnya penulis semakin hanyut dan semakin jauh dari maksud hati.
Begini lho, sahabat-sahabatku. Fakta sejarah tertulis dalam Injil Lukas 2:1-20.
(Silahkan Anda buka Alkitab, baca secara perlahan, bayangkan dan renungkan).
Itulah Natal pertama. Peristiwa itulah yang kita peringati setiap Desember,
dari tahun ke tahun, bahkan sekarang ini. Dalam Natal pertama itu, seluruh
hotel full booked. Orang-orang
berpunya asyik menikmati fasilitas hotel. Anak-anak bersendau gurau, sementara
papa dan mama bernostalgia tentang kampung halaman, dan kisah cinta di sekolah.
Malam
itu, yang dikenang sebagai malam kudus, adalah malam yang tragis. Mengapa
tidak? Tokoh sentral Natal, yaitu bayi Yesus, justru tidak mendapatkan satu
kamar pun. Tidak ada ruang yang tersisa bagi Dia. Dunia seakan tidak rela
berbagi tempat denganNya. Dunia tidak pernah tahu dan tidak mau tahu siapa
Yesus. “Dunia tidak mengenalnya,” kata Yohannes Pembaptis. Yang tersisa
bagi-Nya hanyalah sebuah tempat yang tidak pernah dicari orang, apalagi di-booking..
Nah, di tempat di mana orang tak sudi mampir itu, di situlah Yesus berada.
Apa makna yang
bisa ditangkap dari kejadian yang sebenarnya memilukan itu? Di sinilah, Sang
Penebus itu sedang mendemonstrasikan keberpihakanNya kepada orang-orang yang
tersisih, yang selalu terabaikan dari satu Natal ke Natal berikutnya. DIA rela
berhimpitan bersama mereka, rela berbagi rasa, bahkan berbagi kekekalan yang
mutlak milik pribadi-Nya. Itulah Natal yang sebenarnya, di mana hadiah ajaib
bukan saja singgah tetapi menjadi milik abadi orang yang percaya kepada-Nya.
Jadi, Natal yang pertama itu jelas
berbeda dengan Natal kita, di mana semangat berbagi hanya imitasi. Semangat berbagi itu hanya ada
pada hari ini (baca: bulan Desember),
dan segera luntur esok hari (baca: di luar bulan Desember). Yesus lahir
di malam Natal dengan fasilitas RSSS (baca: rasanya sangat-sangat sederhana).
Tetapi apakah Dia batal hadir dan menunda Natal karena fasilitas RSSS? Tidak.
Dia tidak menunda atau mengeluh atas apa pun. Dia mainkan peran-Nya sebagai
Mesias dengan sukacita dan sukarela yang tidak terbilang. Sungguh ajaib kasih
malam kudus. Kasih, kerelaan, kesukacitaan, itulah kekuatan utama Natal.
Dalam ukuran
fasilitas, Natal pertama sungguh tidak layak. Namum dalam ukuran kualitas, Natal
pertama sungguh sempurna luar biasa. Kualitas sempurna itu mampu menutup habis
segala kekurangan fasilitas. Suasana hati yang penuh sukacita mengubah
segalanya menjadi indah. Sungguh berbeda dengan Natal masa kini yang secara
fasilitas, wah, wow, ck-ck-ck, pokoknya serba ruarr biasa…,
tetapi secara kualitas sungguh menyedihkan. Jadi , apakah itu berarti kita
tidak perlu dan tidak boleh memanfaatkan fasilitas yang lengkap untuk Natal?
Tentu bukan itu maksudnya. Untuk menerbitkan tabloid REFORMATA misalnya,
diperlukan berbagai fasilitas, begitu juga untuk menyelenggarakan sebuah
perayaan Natal. Namun persoalannya bukan pada fasilitas, melainkan sikap hati
terhadap fasilitas dan Tuhan yang empunya segalanya. Harus jelas ke mana arah
yang Anda tuju: Tuhan atau fasilitasnya.
Jadi umat Kristen
jangan sampai terjebak hanya pada
asesoris Natal, dan kehilangan
kesejatian maknanya. Natal itu bukan di mana atau bagaimana
menyelenggarakannnya, namun bagaimana menyikapinya, memilikinya dan memberi
dampak positif pada kehidupan sekitarnya. Bagaimana Natal itu mampu menjangkau
jiwa-jiwa baru, menghibur yang susah, menguatkan yang lemah, itulah tujuan
utamanya. Bukankah syair lagu para malaikat di malam Natal pertama adalah: … damai
di bumi? (Bukan: meriah dibumi, toh?)
Merenung
ulang Natal pertama, turunnya kasih suci bagi umat berdosa, mengingatkan kita
untuk hidup tidak bergelimang dosa. Natal membuat kita tidak lagi
terkonsentrasi pada apa yang menjadi kenikmatan diri, tetapi belajar berani
untuk berbagi diri. Seperti Yesus yang senantiasa hadir dan memberi syalom
(damai sejahtera jasmani dan rohani) pada mereka yang tersisih, teraniaya,
tidak berdaya baik secara fisik , ekonomi bahkan yang utama, mati rohani.
Nah,
sahabat, Natal 2003 di bumi kita ini
diwarnai oleh berbagai tragedi dalam skala lokal maupun nasional, keributan
hingga bencana alam. Belum lagi warna-warni kepalsuan. Bukankah ini sebuah
momentum yang tepat untuk membangun ulang makna Natal yang yang sejati seperti
Natal yang pertama? Bukankah Kritus mau supaya kita melakukan seperti apa yang
telah dilakukan-Nya? Kalau ada kepalsuan, buanglah, kenakan jubah murni
kristiani. Gaya hidup yang salah, ubahlah dengan pengendalian diri dan
kerendahan hati. Banyak hal yang bisa
kita lakukan menuju kesejatian dan mendemonstrasikan kualitas Natal yang
pertama. Silahkan untuk menikmati limpahan berkat jasmani yang Tuhan berikan
pada Anda, tapi jangan lupa, Tuhan juga mau agar Anda berbagi, bukan? Jadi
sekali lagi bukan tak boleh menikmati tetapi jangan sampai mengabaikan yang
lainnya. Acara Natal dan berbagai asesoris lainnya hanyalah alat dan bukan
tujuan Natal. Tujuan Natal adalah bagaimana Tuhan dipermuliakan. Tuhan yang
telah rela menjadi manusia. Cukuplah sekali saja kita telah mengabiakn DIA pada
Natal pertama, jangan diulang lagi.
Aduh,
beruntung sekali saya, sebab akhirnya bisa menyampaikan kisah Natal yang
dimaksud, dan tidak terus-menerus hanyut dalam emosi yang meninggi melihat
realitas kehidupan manusia modern dan model Natal masa kini. Semoga kisah ini
bukan hanya untuk Anda tetapi juga untuk saya. Mat Natal. ***
0 comments:
Post a Comment